24 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Benang Kusut Kemacetan Semarang

Benang Kusut Kemacetan Semarang

MASALAH kemacetan lalu lintas sering melanda ibu kota wilayah, tak terkecuali Semarang sebagai ibu kota Jawa Tengah. Hampir tiap hari wajah ibu kota provinsi ini disesaki oleh lalu lalang kendaraan yang kian tahun kian terjadi peningkatan kuantitasnya, terlebih untuk kendaraan pribadi.

Hal ini ditandai dengan makin padatnya arus lalu lintas kendaraan bermotor, baik roda dua maupun empat, yang melintas di jalan-jalan protokol dalam kota. Seperti halnya di Jalan Majapahit, Jalan  Setiabudi (Jatingaleh), dan Jalan Jenderal Soedirman (menuju Bundaran Kalibanteng) merupakan daerah rawan macet, terutama pada jam-jam sibuk.


Peningkatan jumlah kendaraan bermotor di Kota ATLAS ini antara lain disebabkan makin mudahnya memperoleh kendaraan bermotor, baik lewat pembelian secara tunai atau kredit (mengangsur).

Hanya dengan uang muka Rp 300 ribu dan angsuran hanya Rp 500 ribu per bulannya, seseorang bisa membawa pulang sepeda motor baru. Sedangkan bagi mobil setengah pakai, cukup berbekal Rp 25 juta sampai Rp 50 juta seseorang sudah bisa untuk memilikinya.

Dengan dimilikinya kendaraan bermotor, tentu saja masyarakat cenderung memilih menggunakannya untuk membantu mempermudah aktivitas sehari-harinya.

Hal ini dengan pertimbangan lebih hemat, langsung sampai tempat tujuan dan tak perlu oper (pindah) angkutan umum lain untuk menuju tempat tujuan, seperti yang lazim dilakukan pengguna angkutan umum massal lainnya. Akibatnya, angkutan umum sepi penumpang dan kemacetan pun kian parah.

Di sisi lain, kehadiran unit bus rapid transit (BRT) sebagai salah satu moda transportasi juga belum mampu memberikan kontribusinya dalam mengatasi masalah kemacetan di kota Lunpia ini.

Padahal anggaran yang dikeluarkan tak sedikit, karena bus ini selain dilengkapi dengan pendingin ruang (AC), juga memiliki kapasitas besar dalam mengangkut penumpang serta memberikan kemudahan dan kenyamanan bagi penggunanya.

Namun toh nyatanya belum mampu menarik minat masyarakat untuk menggunakan sarana transportasi yang terbilang baru ini.  Padahal jika ditelisik lagi lebih lanjut, niat awal dihadirkan BRT untuk mengatasi masalah kemacetan yang sering melanda kota-kota besar.
Penumpukan Sebagai kota metropolitan, Semarang tergolong kota yang padat akan hiruk pikuk masyarakatnya. Terlebih pada jam-jam sibuk, antara pukul 07.00 dan 16.00 saat anak-anak berangkat sekolah, mahasiswa ke kampus, pegawai negeri dan karyawan ke kantor, maupun para buruh ke pabrik-pabrik.

Jika sebagian besar orang melakukan aktivitas tersebut pada jam yang hampir bersamaan, maka dapat dipastikan akan terjadi penumpukan jumlah kendaraan di jalan-jalan protokol dan kemacetan pun tak dapat dielakkan.

Contohnya di Bundaran Kalibanteng (simpul dari Jalan Jenderal Soedirman, Siliwangi, Pamularsih, ke Bandara A Yani, dan Arteri Utara Semarang).

Setiap pagi dan sore selalu terjadi antrean panjang kendaraan bermotor roda dua, empat maupun lebih yang pastinya menjengkelkan pengguna jalan tersebut, karena mereka dituntut untuk sampai tempat tujuan tepat waktu, namun situasi malah tidak mendukung.

Terlebih durasi traffic light saat menyala merah cukup lama yakni hampir tiga menit, sedangkan saat menyala hijau kurang lebih 80 detik. Hal inilah yang menjadi salah satu faktor pemicu tingkat ketegangan (stres) yang melanda masyarakat ibu kota, yaitu kemacetan.

Seringnya kita mendengar anjuran bike to work yang dicanangkan perusahaan-perusahaan bahkan pejabat teras agar menggunakan sepeda saat berangkat kerja, hingga kini belum membuahkan hasil.

Ada pun maksud dari anjuran tersebut selain mengurangi polusi juga diharapkan mampu mengatasi masalah kemacetan. Faktanya anjuran tersebut menguap begitu saja, hangat-hangat tahi ayam, cuma in di awal dan nglokro di-ending-nya.

Untuk mengatasi masalah kemacetan di Kota Semarang, perlu dipikirkan solusi jitu agar tepat sasaran. Dengan demikian anggaran yang telah dikeluarkan nantinya tidak sia-sia. Perlunya menerapkan aturan yang membatasi jumlah kendaraan pribadi melintas di jalan-jalan protokol pada jam-jam sibuk. Dengan maksud, agar masyarakat memilih angkutan umum atau BRT sebagai alternatifnya.

Dengan begitu selain mampu meningkatkan omset pengusaha angkutan umum yang sempat tidak bergairah, juga mampu mengurangi kemacetan.

Perlunya kita mencontoh masyarakat Jepang yang memiliki kebudayaan tinggi dalam mengoptimalkan angkutan umum seperti bus, kereta api dan sejenisnya dalam beraktivitas yang terbukti efektif untuk mengatasi masalah kemacetan di Negeri Sakura tersebut. (10)

— Tafrida Tsurayya, penulis, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 25 Januari 2010