24 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » Relasi UN dan Dunia Industri

Relasi UN dan Dunia Industri

Siswa dari desa terpencil dengan fasilitas sekolah yang seadanya akan merasa berat jika diharuskan lulus dengan standar yang terasa berat pula

TAHUN ini, sekali lagi masalah ujian nasional (UN) kembali menjadi bahan diskusi yang menarik menjelang pelaksanaannya. Pro dan kontra juga mewarnai pelaksanan ujian kali ini. Bahkan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono turut memberikan komentar tentang rencana pelaksanaannya.
Mendiknas Muh Nuh kembali menegaskan bahwa UN tetap akan dipakai sebagai alat untuk memetakan mutu pendidikan di Tanah Air yang juga sekaligus sebagai standar untuk kelulusan siswa.


Sebenarnya apa mutu itu sendiri? Terutama mutu dalam dunia pendidikan. Ketika kita berbicara tentang mutu atau kualitas terutama pada dunia industri atau jasa, maka pikiran kita akan mengarah kepada karakteristik suatu produk atau pelayanan yang dapat memenuhi kepuasan pengguna produk atau layanan itu sendiri.

Kualitas dalam suatu industri merupakan tanggung jawab seluruh manusia yang ada dalam industri tersebut, mulai dari operator hingga presiden direktur. Masing-masing bagian atau departemen memiliki peran dalam menentukan mutu produk atau layanan yang diha-silkan.

Pengontrolan proses, dari mulai proses pembelian bahan baku, proses produksi, proses inspeksi hingga proses pengiriman produk juga sangat menentukan mutu produk yang dihasilkan. Jadi bisa dikatakan mutu adalah suatu hasil proses yang panjang dan berkesinambungan.

Sementara apa yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal ini Departemen Pendidikan Nasional yang ingin melihat mutu pendidikan suatu sekolah dari hasil pelaksanaan UN sama halnya dengan melihat mutu suatu produk hanya dari hasil pengujian atau pengukuran produk yang sudah jadi. Hasil dari suatu pengujian atau pengukuran produk yang sudah jadi hanya ada dua kemungkinan, lolos inspeksi dan tidak lolos inspeksi.

Produk yang lolos inspeksi dapat langsung dikirim ke pelanggan, sementara produk yang tidak lolos inspeksi akan dibuang atau didaur ulang menjadi bahan baku kembali. Sehingga mutu tidak dapat diinspeksi ke dalam suatu produk tetapi harus dibangun ke dalam suatu produk. Jadi jika kita menginginkan mutu yang baik dari suatu lulusan atau siswa bukan  melalui pelaksanaan UN akan tetapi dengan cara menggali dan membangun segala potensi unggul yang ada pada setiap siswa untuk kemudian dapat dikembangkan di masa yang datang.

Bagaimana menggali dan membangun potensi unggul yang ada pada diri siswa inilah yang seharusnya menjadi fokus perhatian pemerintah. Sama halnya dalam dunia industri di mana proses desain dan manufakturing merupakan proses yang bertanggung jawab dalam menghasilkan kualitas produk, maka proses belajar mengajar juga yang paling bertanggung jawab terhadap mutu lulusan suatu sekolah.

Tanpa adanya proses belajar mengajar yang baik sangat sulit dihasilkan mutu lulusan yang baik. Sehingga sangatlah aneh ketika pemerintah ingin menerapkan standar kelulusan siswa hanya dari proses UN yang bisa disamakan dengan proses inspeksi dalam dunia industri tanpa pernah mencoba membuat standar minimal fasilitas yang harus dimiliki oleh setiap sekolah serta tanpa pernah membuat standard operating procedure (SOP) yang baku untuk proses belajar mengajar pada setiap jenjang pendidikan mulai dari SD hingga SMA di seluruh Tanah Air.

Jadi adalah sangat wajar jika banyak kalangan (terutama siswa dari sekolah dengan fasilitas seadanya) yang begitu khawatir dengan syarat kelulusan yang ditetapkan sepihak oleh pemerintah tanpa pemerintah pernah mau tahu bagaimana kondisi sarana di setiap sekolah serta bagaimana proses belajar mengajar di setiap sekolah dilakukan.

Ini bisa dianalogikan seperti ini: industri kecil dan menengah (IKM) yang memproduksi komponen otomotif harus bersaing dengan industri besar seperti Toyota, dan untuk dapat dipasarkan di pasar global, produk harus memenuhi suatu standar yang telah ditentukan misalnya standar internasional.

Jelas produk dari IKM tidak akan memenuhi standar tersebut jika dari sisi fasilitas dan proses produksinya kalah modern. Siswa dari desa terpencil dengan fasilitas seadanya diharuskan lulus dengan standar yang terasa berat oleh mereka. Sementara siswa di daerah perkotaan dengan segala fasilitas dan akses belajar yang sangat lengkap akan mudah memenuhi standar kelulusan tersebut.

Jadi apa yang seharusnya terlebih dahulu pemerintah lakukan adalah membuat standar minimal fasilitas yang harus dimiliki oleh setiap sekolah, standar baku proses belajar mengajar serta standar kualitas guru-gurunya untuk melihat mutu lulusan suatu sekolah sebelum menetapkan standar lulusan melalui pelaksanaan UN.

Bukankan ketika kita ingin meningkatkan kualitas suatu produk, hal pertama yang mesti kita pikirkan dan lakukan adalah membenahi fasilitas produksi, memperbaiki proses produksi dan meningkatkan keterampilan manusia yang terlibat dalam proses produksi. Bukan dengan membuat standar hasil inspeksi terlebih dahulu.(10)

— Rusnaldy PhD, doktor manufakturing lulusan Yeungnam University Korsel, dosen Jurusan Mesin Fakultas Teknik Universitas Diponegoro
Wacana Suara Merdeka 25 Januari 2010