24 Januari 2010

» Home » Kompas » Mosi Tak Percaya? Tidaklah!

Mosi Tak Percaya? Tidaklah!

Istana Bogor memang tempat yang amat bersejarah. Pada 11 Maret 1966, empat puluh empat tahun lalu, tiga perwira tinggi Angkatan Darat—Basuki Rachmat, Amir Machmud, dan M Jusuf—menerima titipan ”Surat Perintah” dari Presiden Soekarno kepada Mayor Jenderal (TNI) Soeharto.
Isinya agar Soeharto mengambil langkah-langkah untuk memulihkan keamanan, dan kemudian mengembalikan mandat itu kepada Presiden Soekarno setelah situasi gawat pasca-Gerakan 30 September 1965 dapat dipulihkan kembali. Surat Perintah 11 Maret (Supersemar) itu tidak pernah dikembalikan. Soekarno malah jatuh melalui dua kali Sidang Istimewa Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia (MPRS-RI) pada 1967 setelah pembelaannya, Nawaksara (delapan hal), ditolak MPRS pada sidang kedua. Soeharto lalu diangkat oleh MPRS menggantikan Soekarno.


Kamis (21/1), Istana Bogor kembali menjadi tempat bersejarah kala Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengundang tujuh pemimpin lembaga tinggi negara ke sana untuk bersepakat bahwa sistem atau kultur mosi tidak percaya terhadap presiden dan wakil presiden, sebagaimana dalam sistem parlementer, tidak berlaku.
Pertemuan antara SBY serta pemimpin MPR, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY itu paling tidak merupakan senjata pamungkas Presiden SBY untuk mencegah terjadinya pemakzulan terhadap Wakil Presiden dan Presiden. Pertanyaannya, benarkah ada kesepakatan antara Presiden dan para pemimpin lembaga negara itu soal tidak berlakunya lagi mosi tidak percaya (dalam sistem parlementer) atau pemakzulan/impeachment (dalam sistem presidensial)? Kedua, benarkah akan ada pemakzulan? Jika pun ada, akan berhasilkah pemakzulan itu?
Kegelisahan SBY
Hari-hari belakangan ini Presiden SBY benar-benar tampak amat sangat gelisah. Pasalnya, dalam sepuluh hari terakhir ini tekanan politik terhadap dirinya bertubi-tubi datang silih berganti. Contoh paling konkret dan mungkin menakutkan dirinya adalah imbauan dari mantan anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres), Adnan Buyung Nasution, agar ”Presiden berani memikul tanggung jawab kebijakan bail out Bank Century sebagai kebijakan pemerintah jika memang murni dan bersih untuk mencegah krisis perbankan dan mengganggu sistem perekonomian…ini untuk mewujudkan masyarakat yang tertib dan berbudaya”. Namun, kata Buyung pula, ”…itu harus disertai penegasan Yudhoyono, dirinya sebagai pribadi atau Ketua Dewan Pembina Partai Demokrat tidak mendapatkan sepeser pun dana dari kebijakan menalangi Bank Century itu” (Kompas, 17/1/2010).
Komentar Buyung itu memang sangat telak dan tepat sasaran walau sayang diungkapkan setelah ia tak lagi menjadi anggota Wantimpres. Jika SBY dan para pemimpin Partai Demokrat berang dan atau gelisah dapat dimaklumi karena Buyung sebelumnya menjadi tokoh di Wantimpres dan juga Ketua Tim 8 (soal kasus kriminalisasi dua pemimpin KPK Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah). Kalangan masyarakat madani juga mengimbau SBY agar mau bertanggung jawab dan jangan menjadikan Wakil Presiden Boediono dan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sebagai ”tumbal” dan ”sasaran tembak” sebagian besar anggota Panitia Khusus (Pansus) Hak Angket DPR atas kasus dana talangan (bail out) terhadap Bank Century.
Presiden SBY telah pula menggunakan senjata pamungkasnya terhadap partai- partai anggota koalisi yang ”berkhianat” dan bersikap independen soal Bank Century, antara lain dengan mengganti anggota Pansus dan ancaman untuk meninjau kembali koalisi politiknya dengan mengganti kabinet. Namun, sebagian partai koalisinya tampaknya tetap saja ”keras” dan ”independen” di Pansus Bank Century walau tak mustahil ada keuntungan politik yang ingin mereka aih.
Untuk mendapatkan simpati atau rasa iba dari masyarakat, SBY untuk kesekian kali kembali menyatakan bahwa rencana pembunuhan terhadap dirinya adalah ancaman nyata (Kompas, 23/1/2010). Ucapan SBY di Markas Komando Pasukan Pengawal Presiden ini terasa absurd! Gaya komunikasi politik yang melankolis ini sungguh tak pantas dilontarkan oleh seorang presiden kepada rakyatnya, terlebih lagi ia adalah mantan perwira tinggi TNI dan diucapkan di Marko Paspampres!
Terlalu muskil
Jika benar ada kesepakatan pandangan antara Presiden dan tujuh pemimpin lembaga tinggi negara bahwa pemakzulan tidak berlaku lagi di dalam sistem presidensial, kita perlu bertanya, apakah para elite politik itu sudah benar-benar memahami isi UUD 1945 (hasil amandemen), khususnya Pasal 7A dan Pasal 7B (beserta ayat-ayatnya). Dua pasal itu mengatur secara gamblang soal pemakzulan terhadap Presiden dan Wakil Presiden atau salah satu dari keduanya.
SBY tampaknya mulai gerah dan gelisah kalau-kalau Pansus Bank Century mulai membicarakan adakah uang Bank Century mengalir ke Partai Demokrat atau pengurus partai itu, apalagi jika George Junus Aditjondro sampai diundang Pansus sebagai narasumber ahli. Jika ternyata ada, sesuai dengan Pasal 7A dan 7B dengan dalih telah melakukan ”perbuatan tercela”, Presiden, Wakil Presiden, atau keduanya sekaligus dapat dimakzulkan.
Pemakzulan ada dasar hukumnya dalam konstitusi negara kita. Namun, sesuai dengan Pasal 7B, pengajuan pemberhentian Presiden/Wakil Presiden harus didukung 2/3 anggota DPR yang hadir dalam sidang paripurna yang dihadiri 2/3 dari jumlah anggota DPR. Menghitung jumlah anggota koalisi pendukung SBY-Boediono, pemakzulan terlalu muskil untuk terjadi. Jadi, tak usah panik Jenderal!
Ikrar Nusa Bhakti Profesor Riset Bidang Intermestic Affairs-LIPI
Opini Kompas 25 Januari 2010