27 September 2009

» Home » Jawa Pos » Selamatkan Nyawa di Jalan Raya

Selamatkan Nyawa di Jalan Raya

STATISTIK kecelakaan di jalan raya yang terdeteksi Direktorat Lalu Lintas Mabes Polri beberapa waktu lalu sungguh mencengangkan publik. Tengok saja, dalam sepuluh hari terakhir (H-7 sampai H+3 Lebaran), sebanyak 472 pemudik tewas sia-sia. Tiga teratas jumlah kasus kecelakaan diduduki Jatim (145 kasus), Jakarta (109 kasus), dan Jateng (92 kasus).


Statistik kecelakaan itu mengindikasikan bahwa ada sesuatu yang tidak beres dalam berlalu lintas dan berkendara. Banyaknya korban yang tewas bukan sekadar kasuistik, melainkan pantas disebut tragedi masal. Itu berarti masih banyak pihak yang lalai akan budaya keselamatan berkendara di jalan raya.

Keselamatan berkendara pada dasarnya sudah diatur dalam norma-norma lalu lintas. Norma tertulis itu akan bermakna apabila para pengendara tersebut memiliki budaya disiplin, kepatuhan, dan kepatutan saat di jalan raya. Aspek kecepatan, misalnya, sudah memiliki standar dan batas kepatutan. Di sejumlah jalan, sudah terpampang jelas hal tersebut. Melebihi batas kecepatan akan berakibat fatal terhadap diri sendiri dan merenggut hak kenyamanan pengguna jalan lainnya.

Tidak henti-henti pula aparat hukum serius menegakkan aturan di jalan raya. Polda Jatim, misalnya, memiliki program bagus menyosialisasikan norma dan budaya kedisiplinan berkendara di jalan raya. Yakni, bekerja sama dengan media massa (Jawa Pos) untuk menggalakkan safety riding (keselamatan berkendara).

Teori sosiolog Skinner yang bersifat stimulus-responsif dipraktikkan sebagai model yang dinilai efektif dalam menerapkan kaidah rambu lalu lintas. Lantas, lahirlah aspek punishment dan reward bagi pengguna jalan. Yang berkendara sesuai dengan aturan diberi hadiah dan yang melanggar dihukum seperti ditilang, dikurung, atau didenda.

Hanya, di lapangan, itu mengalami antitesis. Tak sedikit para pengendara yang berusaha mencari celah guna mengabaikan kepatuhan dalam menggunakan jalan raya. Mereka seolah tak peduli dengan keselamatan (diri sendiri dan orang lain). Di sana-sini masih terlihat pengendara yang memacu kendaraannya melebihi standar batas kecepatan.

Tak sedikit pula yang mengabaikan lampu merah agar tiba di tempat tujuan secara instan. Ketika sang pelanggar itu ditanya kenapa melanggar rambu lalu lintas, mereka menjawab tidak ada aparat keamanan yang menjaga lampu merah. Bahkan, demi menghindar dari hukuman, ada juga yang menjawab bahwa dirinya buta warna.

Ada semacam psikologi sosial yang dipraktikkan di jalanan dengan perspektif yang "sesat". Mereka menganggap bahwa mendahului kendaraan lain melebihi standar kecepatan normal adalah kebanggaan yang patut ditunjukkan di hadapan orang lain. Jika mendahului seseorang dalam hal kebajikan, itu tidak masalah. Sebab, itu bermakna kemaslahatan dan kemanusiaan. Tapi, di jalanan, aksi ugal-ugalan seperti itu bernilai kezaliman karena bersikap tidak adil dan membahayakan nyawa.

Saya sepakat dengan Manuel Castells dalam Network Society (2000) bahwa kemajuan teknologi pada akhirnya melahirkan keterbelakangan simbolis (disparity symbolic). Fenomena tersebut ditandai krisis pemahaman akan simbol-simbol konvensional dalam kehidupan sosial. Itu lantas mengurangi karakteristik masyarakat modern yang dikenal rasional dan berperadaban tingkat tinggi (high culture). Akhirnya, aktivitas sosial berpacu dengan sistem mekanis yang hiperealitas dan semu.

Kondisi itulah yang tampaknya sedang menempa para pengendara kita. Mereka berkendara hanyalah berkompetisi dengan waktu. Kecepatan berkendara pertanda bahwa kendaraan yang dikemudikannya lebih baik daripada kendaraan lainnya.

Di abad modern -berbagai sarana pendidikan dan media informasi sudah tumbuh subur- idealnya akan terlahir masyarakat cerdas dan paham terhadap simbol sosial, termasuk simbol lalu lintas. Para pengendara seharusnya sadar bahwa korban kecelakaan di masa lalu merupakan efek egois pengendaranya. Museum kecelakaan yang dibuat Polres Lamongan, Jatim, dengan cara memajang motor tabrakan merupakan sinyal peringatan bagi pengguna jalan supaya waspada, sabar, serta paham terhadap rambu serta markah jalan.

***

Pada era globalisasi dan kapitalisme seperti saat ini, pertumbuhan industri dan teknologi mekanis seperti motor dan mobil tidak bisa dihindari. Karena itu, tak heran jika jalanan yang dulu lengang kini penuh sesak dengan ribuan kendaraan. Hal itulah yang kemudian mengakibatkan pelebaran jalan kurang maksimal dalam mengantisipasi membeludaknya para pengguna kendaraan.

Dengan demikian, ada tiga hal yang harus kita upayakan demi menekan dan mengantisipasi kecelakaan di jalan. Pertama, merekayasa suhu udara. Belakangan ini, kita merasa suhu udara sangat panas menyengat tubuh. Itu adalah efek dari pemanasan global yang diakibatkan industri dan efek rumah kaca. Suhu panas tersebut membuat para pengendara tidak betah berlama-lama di jalan dan ingin cepat-cepat tiba di tempat tujuan. Jadi, agar pengendara nyaman di jalan, pohon perlu ditanam di pinggir jalan agar udara terasa sejuk.

Kedua, menekan aspek emosi dan egoisme personal. Hal tersebut bisa dilakukan melalui jalur-jalur edukasi, baik di tingkat sekolah, rumah, masyarakat, negara, maupun media massa. Caranya, antara lain, menyosialisasikan dan mengamalkan nilai budaya "pelan asal selamat". Kalau perlu, kita "haramkan" mengedepankan emosi di tengah jalan.

Ketiga, meningkatkan pengawasan dan evaluasi. Di negara-negara maju, di jalan raya sudah banyak dipasang kamera pengawas seperti CCTV yang dikontrol oleh polisi. Dengan begitu, pengendara jalan akan merasa di bawah pantauan hukum meski tidak ada polisi yang berjaga di jalan. Tapi, itu butuh dana besar. Negeri ini pun, tampaknya, masih belum bisa mewujudkannya.

Nah, alternatif yang lain adalah menerapkan model one man one road. Yakni, tiap jalan yang sepi dan jauh dari akses keamanan harus dijaga oleh penegak hukum, misalnya, polisi atau petugas DLLAJ. Sehingga, tidak ada para pengendara yang berbuat tidak adil dengan sikap mengabaikan simbol dan budaya lalu lintas yang telah ajek maknanya.

Mari sayangi nyawa Anda saat di jalan raya!

Opini Jawa Pos 26 September 2009
*) Ardhie Raditya MA, sosiolog dari FIS Universitas Negeri Surabaya (Unesa)