27 September 2009

» Home » Seputar Indonesia » Menyempurnakan Sistem Proporsional

Menyempurnakan Sistem Proporsional

Pesta demokrasi itu kini telah sampai pada pesta penutupan. Anggota DPR,DPD,dan DPRD serta Presiden akan segera dilantik untuk masa jabatan lima tahun mendatang (2009–2014).

Di tengah gempitanya demokrasi itu, ternyata masih menyisakan sejumlah kecacatan secara sistemik. Salah satu akar dari “cacat”pemilu 2009, baik yang terjadi pada Pemilu legislatif maupun pilpres, adalah distorsi dan bias politik sistem proporsional yang kita anut. Sistem proporsional telah “terselewengkan” oleh oligarki parlemen dalam menyusun UU No 10/2008. Beragam tafsir, kualitas penyelenggaraan dan banyaknya kepentingan menyebabkan kualitas Pemilu 2009 diragukan oleh banyak pihak. Setelah semua pesta itu usai,agenda apa yang akan menanti para anggota DPR terpilih mendatang, khususnya komisi dua.
Merevisi Kekacauan Substansial Pemilu 2009

UU paket politik yang meliputi hampir enam UU, tampaknya memang memiliki kekacauan substansial yang sistemik. Seperti diketahui, UU paket politik itu adalah UU No 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilu, UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol,UU No 10 Tahun 2008 tentang Pemilu Legislatif, UU No 42 Tahun 2008 tentang Pilpres,UU No 32 Tahun 2004 dan UU No 12 Tahun 2008 tentang Pemda,serta UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD.

Satu di antaranya dari kekacauan itu adalah tidak saling sinkron antara satu UU dengan UU yang lain. Bahkan ada gejala saling menegasikan dan tidak saling menunjang. Sebagai contoh,prinsip multipartai yang menjadi inti dari UU No 2 Tahun 2008 tentang Parpol, seakan-akan berdiri sendiri sebagai suatu undang-undang,tanpa terkait dengan UU Pemilu. Upaya penyederhanaan partai yang dianut pada sejumlah pasal pada UU No 10/2008 ternyata tidak ditunjang oleh UU kepartaian, yang justru memberikan keleluasaan orang untuk mendirikan partai politik.

Demikian pula dengan masalah pilpres dan bahkan UU tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD yang baru saja disahkan oleh DPR. Dari segi prinsip, yang paling parah secara substansial adalah UU No 10/2008 tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD dan DPRD. UU ini mengandung beberapa kelemahan mendasar,karena UU tersebut telah menisbikan sebagian prinsip sistem proporsional. Kelemahan itu terletak pada dan di antaranya ialah bertingkatnya koefisien bilangan untuk penentuan kursi bagi anggota DPR.

Tiga tahap dalam penentuan kursi bukanlah suatu kewajaran, tetapi merupakan penyimpangan substansial dari sistem proporsional. Hadirnya Pasal 205 dapat dianggap sebagai “akal-akalan” politik partai. Dalam sistem proporsional sejatinya jika suatu suara tidak sebanding dengan koefisien nilai kursi, maka suara tersebut disebut sebagai sisa. UU No 10/2008 tidak mengenal dan tidak menjelaskan sama sekali tentang istilah sisa suara tersebut. Dengan kata lain, Pasal 205 adalah pasal karet yang bukan saja multitafsir, tapi sekaligus tidak memiliki dasar secara teoritik.

Dampaknya, terdapat perbedaan nilai satu kursi dalam suatu daerah pemilihan, antara tahap pertama, kedua dan ketiga dalam penghitungan kursi partai. Sistem proporsional yang “hibrida”, suatu perkawinan antara sebagian sistem distrik dengan sistem proporsional, idealnya pengawinan substansi itu tidak mengacaukan sistem utamanya.Indonesia sebenarnya terjebak pada sistem proporsional hibrida yang kacau balau. Kekacauan itu terletak pada inkonsisten prinsip-prinsip utama sistem proporsional yang digunakan.

Padahal, jika kita mau jujur, teknis pembagian kursi yang dianut pada Pemilu 2004 justru lebih bagus ketimbang Pemilu 2009. Pembagian kursi yang hanya pada dua tahap (tahap pertama dan tahap sisa) lebih mencerminkan keadilan substansial—meminjam istilah MK—ketimbang tiga tahap seperti yang berlaku saat ini. Kekacauan lainnya terletak pada desain UU yang dirancang setengah proporsional terbuka, menjadi terbuka penuh.Ini terjadi karena keputusan MK yang mengabulkan permohonan suara terbanyak dalam penentuan calon terpilih anggota DPR dan DPRD.

Padahal, UU No 10/2008 tidak dirancang untuk proporsional terbuka penuh, hanya setengahnya.Kenapa setengah? Karena adanya percampuran antara peran partai dan peran pemilih pada saat penentuan calon terpilih. Percampuran itu berimbas pada beberapa teknis lainnya,khususnya cara memilih dan sah tidaknya sebuah pilihan rakyat. Dalam sistem proporsional dengan daftar tertutup pemilih akan memilih gambar partai. Sementara dalam sistem proporsional “setengah terbuka” seperti yang berlaku pada Pemilu 2004, pemilih dapat memilih partai dan/atau nama calon.

Dalam sistem proporsional yang benar-benar terbuka penuh, idealnya pemilih hanya memilih nama calon. Akan tetapi, lagi-lagi terjadi kekacauan ketika UU No 27 Tahun 2009 tentang MPR,DPR,DPD,dan DPRD meletakkan fungsi dan peran anggota DPRD terpilih justru di bawah bayang-bayang peran dan oligarki partai politik.

Perlu Revisi

Sebuah UU Pemilu tidaklah berdiri sendirian.UU Pemilu akan melandasi tiga hal secara mendasar, pertama sistem kepartaian yang kita anut, dan kedua susunan dan kedudukan DPR, DPD dan DPRD, serta ketiga adalah pihak penyelenggara dan pengawasnya. Meletakkan hubungan yang saling berhubungan antara satu UU dengan UU lainnya merupakan keniscayaan.

Sayang, prinsip tersebut relatif diabaikan dalam penyusunan paket UU Politik (UU Pemilu,Kepartaian, Susunan DPR, DPD dan DPRD serta penyelenggara pemilu). Upaya para akademisi yang tergabung dalam tim perancang Paket UU Politik usulan pemerintah— yang mencoba merangkai kaitan paket UU Politik diacakacak pada saat pembahasan RUU di DPR. Berbagai kerancuan yang telah disebut di atas adalah contoh dari proses pembahasan RUU Politik yang kental kepentingan politik.

Akibatnya paket UU Politik yang dilahirkan menjadi amburadul dengan kualitas yang rendah. Pengalaman Pemilu 2009 harusnya akan menjadi pelajaran bagi DPR jika mereka akan merevisi paket UU Politik.Pertanyaannya kemudian, akankah partaipartai politik dan anggota DPR yang baru tersebut memiliki semangat untuk menyempurnakan sistem proporsional yang kacau balau pada Pemilu 2009 yang lalu?

Ataukah justru nuansa perubahan paket UU Politik yang mengemuka, termasuk wacana mengganti anggota KPU, lebih karena kekecewaan atas penyelenggaraan pemilu yang kurang profesional seperti disinyalir MK? Ataukah revisi itu akan kembali kental dengan kompromi-kompromi politik yang justru menyelewengkan kembali sistem proporsional menjadi sistem gado-gado?(*)
 
Opini Seputar Indonesia 28 September 2009

Moch Nurhasim
Peneliti pada Pusat Penelitian Politik LIPI di Jakarta