27 September 2009

» Home » Seputar Indonesia » Jalan Kontroversial Penanganan KPK

Jalan Kontroversial Penanganan KPK

Kepastian Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undangundang (Perppu) No 4/2009 tentang Perubahan atas UU No 30/2002 tentang KPK telah menegaskan keberpihakan SBY di tengah elemen institusi negara lainnya yang telah sejak awal berupaya mendelegitimasi KPK dengan berbagai cara.

SBY sebagai kepala negara menunjukkan sikap yang sama dengan institusi lainnya melakukan delegitimasi atas KPK.DPR RI secara keliru menafsirkan Putusan Mahkamah Konstitusi atas uji materiil UU No 30/ 2002 tentang KPK dan menindaklanjutinya dengan memproduksi UU KPK baru yang hingga kini belum selesai dengan kewenangan yang terbatas.Pengikisan kewenangan KPK juga dilakukan oleh institusi-institusi hukum: Polri, Jaksa, dan Mahkamah Agung yang dalam pembahasan perubahan UU KPK mendesakkan berbagai agendanya.

Pada saat yang bersamaan,Kejaksaan Agung dan Polri secara terus menerus menyoal kewenangan KPK dan berupaya melemahkannya dengan berbagai cara: baik rencana penarikan Jaksa KPK ke institusinya maupun cara lain yang sulit dibuktikan,seperti terlampau aktif dalam menangani kasus Antasari Azhar dan mencampuri penyidikan sejumlah kasus korupsi yang sedang ditangani KPK. Sedangkan Polri,setelah perseteruan “buaya versus cicak” dalam kasus Bank Century, “memanfaatkan” pengakuan Antasari untuk mengusik pimpinan KPK lainnya.

Yang paling mutakhir adalah melakukan kriminalisasi kewenangan KPK dengan menetapkan dua pimpinan KPK sebagai tersangka. Semua rangkaian peristiwa di atas merupakan klimaks kegelisahan institusi-institusi negara, sejumlah pejabat atas sepak terjang KPK yang secara legal mendapat mandat pemberantasan korupsi.

Pembajakan Independensi

Pasca-penetapan dua pimpinan KPK sebagai tersangka, segera muncul wacana bahwa Presiden harus mengambil terobosan menyelamatkan KPK. Sayangnya jalan yang dipilih oleh Presiden adalah jalan kontroversial dengan mengakui langkah Polri menyoal kewenangan KPK,lalu mengeluarkan Perppu untuk mengisi kekosongan jabatan di tubuh KPK.

Padahal, jika Presiden konsisten dengan komitmennya memberantas korupsi, Presiden bisa memerintahkan Kapolri untuk mengeluarkan Surat Penghentian Penyidikan Perkara (SP3) mengingat ihwal kewenangan KPK bukan domain kerja Polri. Atau setidaknya Presiden memerintahkan percepatan penyidikan hingga diperoleh kejelasan duduk perkara penetapan dua pimpinan KPK sebagai tersangka.

Namun semua jalan “keliru” telanjur dipilih presiden dan terlanjur menimbulkan kontroversi yang destruktif bagi independensi KPK Keluarnya perppu yang menjadi dasar Presiden melakukan penunjukan Plt Pimpinan KPK adalah langkah keliru menyelamatkan KPK. Di samping secara yuridis UU KPK telah ditafsirkan secara bebas oleh Presiden, khususnya Pasal 33 UU No 30/2002 yang mengatur perihal “kekosongan pimpinan KPK”, yang paling dipertaruhkan dari keluarnya perppu adalah independensi KPK dan perwujudan Indonesia yang bebas dari korupsi.

Hampir dipastikan, desain kinerja KPK yang selama ini independen akan melemah mengingat penunjukan pimpinan KPK tidak akan lepas dari bias kepentingan penguasa. Prinsip separation of power telah dicampur aduk oleh kepentingan politik penguasa. Apalagi pilihan landasan hukum dalam bentuk perppu juga menyisakan kontroversi perihal kegentingan memaksa. Penerbitan perppu sekalipun dibenarkan dalam konteks politik perundangundangan, penerapannya yang tidak seksama, kontekstual, dan tanpa argumen kegentingan memaksa yang kuat hanya akan menampilkan wajah politik dan kepemimpinan presiden sebagai otoritarian.

Dengan penerbitan perppu, SBY telah menunjukkan sikap soft authoritarian. Pilihan SBY akan berdampak buruk bagi perpolitikan Indonesia, setidaknya lima tahun ke depan.Apalagi konstelasi politik lima tahun ke depan hampir dipastikan tidak akan ada oposisi yang signifikan dan efektif. Debat hukum dalam soal ini tidak akan cukup menjelaskan duduk perkaranya, karena penanganan “kisruh” KPK lebih didominasi oleh persinggungan politik bukan soal hukum yang bisa diurai.

Alhasil, argumen hukum apapun yang dikemukakan tetap tidak akan menyelesaikan persoalan, mengingat kehendak politik jauh lebih dominan dibanding itikad mulia menyelamatkan KPK. Jalan berputar SBY menjawab kritik masyarakat atas perppu,termasuk dengan mengubah rencana penunjukan Plt Pimpinan KPK dengan membentuk Tim Perumus yang secara simbolik menyerupai seleksi pimpinan KPK sebagaimana ditetapkan UU KPK, semakin menunjukkan bahwa landasan hukum yang dipilih dan mekanisme penanganan“ krisis”KPK kehilangan rasionalitas dan justifikasi yuridisnya.

Jalan Lurus

Di tengah kontroversi keluarnya perppu, siapa pun yang ditunjuk presiden untuk mengisi pimpinan KPK, tidak akan mampu menjawab keraguan publik tentang independensi dan integritas KPK yang akan datang.Jalan yang sudah dipilih SBY jelas sudah tidak bisa dibendung. Harapan tersisa hanya pada DPR RI yang baru akan dilantik 1 Oktober mendatang untuk menguji perppu itu.

Jika perppu itu ditolak DPR maka, seluruh produk turunan dari perppu batal demi hukum. Jalan lurus penyelamatan KPK yang masih tersisa adalah percepatan proses hukum atas dua pimpinan KPK yang saat ini masih tersendat. Presiden harus segera memerintahkan Kapolri mengeluarkan SP3 atau mempercepat penyidikan, sehingga dua pimpinan KPK bisa segera mendapat jalan terang atas tuduhan yang selama ini menimpanya. DPR RI harus kritis menelisik semua langkah presiden menerbitkan perppu untuk memperoleh argumen kuat menolak perppu yang diajukan presiden kelak.

Dengan demikian, seluruh proses penyelamatan krisis KPK bisa dikembalikan dalam kerangka UU KPK. Mengingat revisi UU KPK saat ini hampir dipastikan tidak akan selesai,DPR juga berkewajiban menuntaskan pembahasan UU itu hingga Desember 2009,waktu yang telah ditentukan oleh Mahkamah Konstitusi RI dalam diktum putusan uji materiil UU KPK. Di atas segalanya kontrol publik harus terus dilancarkan demi perwujudan Indonesia yang bersih.(*)


Opini Seputar Indonesia 28 September 2009
Hendardi
Ketua Badan Pengurus SETARA Institute, Jakarta