27 September 2009

» Home » Seputar Indonesia » QuoVadis Pemberantasan Korupsi

QuoVadis Pemberantasan Korupsi

Ketika RUU tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPTPK) yang merupakan cikal bakal Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) disusun setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 oleh pemerintah, sejumlah ahli hukum pidana, praktisi,dan advokat hukum pidana dikumpulkan dalam satu tim.

Mereka berkumpul untuk mulai mendiskusikan bentuk lembaga macam apa yang akan dibentuk di Indonesia untuk memberantas korupsi. Mulailah disusun rancangan undang-undang KPK dengan membandingkan komisi-komisi sejenis di negara-negara lain dan bagaimana cara negara yang berhasil dan tidak berhasil memberantas korupsi dijadikan perbandingan. Dilanjutkan pembahasan RUU KPK yang seperti apa yang cocok bagi pemberantasan korupsi di Indonesia.

Pada waktu itu Prof Romli Atmasasmita adalah Dirjen Perundang-undangan Departemen Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Republik Indonesia.Sebagai salah satu pihak yang memprakarsai RUU KPK beliau sekarang dijatuhi hukuman dua tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Apabila penghukuman Prof Romli dan pelemahan KPK ada kaitannya tentu perlu pengkajian lebih lanjut.

Waktu itu dalam pertimbangan kenapa sampai KPK perlu dibentuk adalah antara lain karena pemberantasan korupsi selama beberapa dekade gagal dan tidak dapat bertahan lama gerakannya.Indikasinya entah karena masyarakat belum siap atau karena sudah begitu sistematik dan endemiknya budaya korupsi sampai ada adagium korupsi tidak mungkin diberantas di Indonesia. Masyarakat menjadi apatis dan tidak berharap banyak ketika komisi-komisi semacam KPK dibentuk dari tahun 1960-an sampai 1990-an gagal dalam upayanya memberantas korupsi.

Lembaga- lembaga penegak hukum seperti Polri dan Kejaksaan sudah lama tidak berdaya menghadapi korupsi.Tidak kurang upaya Kolonel AH Nasution, disusul jaman Orde Baru dipimpin Pangkopkamtib waktu itu Laksamana Soedomo, Kemudian Bung Hatta dan Arief Budiman dkk pernah memprakarsai semacam komisi pemberantasan korupsi, tetapi semua gagal karena berbagai sebab dan alasan.

KPK sebagai Superbody

Karena alasan-alasan itulah dan perbandingan dengan negaranegara yang berhasil memberantas korupsi,dalam situasi korupsi yang telah merasuk secara sistematis dan endemik di Indonesia dipikirkan tentang pembentukan suatu ”superbody” yang dapat menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi di Indonesia.

Dengan otoritas kekuasaan yang besar KPK diharapkan dapat menjadi ujung tombak pemberantasan korupsi dan menggairahkan masyarakat untuk mendukung agenda pemberantasan korupsi. Dalam menjalankan tugasnya KPK diberikan perangkat hak untuk menyidik,menuntut, menangkap, menahan,menyadap dan juga dilengkapi pembuktian terbalik, sehingga diharapkan KPK dapat menjadi contoh bagi lembaga-lembaga penegak hukum lain untuk memberantas korupsi yang selama ini dianggap mustahil.Hasil sadapan, fotokopi dokumen, rekaman dan electronic banking dapat dijadikan bukti.

Semua itu melengkapi kekuasaan luar biasa dari KPK. Dengan perangkat hukum seperti itu diharapkan korupsi sebagai kejahatan luar biasa (extra-ordinary crime),yang juga dinyatakan demikian oleh United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) harus dihadapi dengan upaya dan perangkat hukum yang luar biasa pula. Undang-Undang No 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi inilah yang mempertegas otoritas dan kekuasaan KPK sebagai ”superbody”.

Tetapi gebrakan-gebrakannya sangat mengkhawatirkan lembagalembaga penegak hukum lain dan merasa tersingkir dengan upaya pemberantasan korupsi oleh KPK. KPK diperlukan sampai lembagalembaga penegak hukum lain dapat berfungsi normal,baru KPK dapat dibubarkan.

KPK dalam Perjalanan Memberantas Korupsi

Pengurus KPK pertama terbentuk pada tahun 2003 yang bekerja dalam jangka waktu empat tahun dari tahun 2003 sampai tahun 2007 Kinerja pengurus KPK yang dipimpin Taufiequrrahman Ruki bekerja dengan cukup hatihati dan cukup berhasil dalam menghadapi korupsi tingkat besar tetapi tidak berukuran mammoth dan tidak bernuansa politik yang kental. Kasus yang dipilih cukup dilakukan secara hati-hati dengan takaran kesanggupan dan kekuatannya, sehingga tidak ada kejutan besar selama masa tugas mereka dan tentunya masyarakat belum puas dengan prestasi seperti itu.

Lain halnya dengan pengurus KPK kedua yang masa baktinya dari tahun 2007 sampai tahun 2011 di bawah Ketua KPK Antasari Azhar. Mereka memulai tugasnya dengan gebrakan-gebrakan spektakuler dengan mengobrak-abrik kasus korupsi di Kejaksaan Agung, Kepolisian dan DPR. Masyarakat puas, para LSM memujinya dan harapan pemberantasan korupsi mulai hidup lagi.

Tetapi tiba-tiba terbetik berita Antasari Azhar ditangkap dengan tuduhan merencanakan pembunuhan Nasrudin Zulkarnain karena cinta segi tiga yang kemudian berkembang menjadi dugaan oknum KPK menerima suap dari pengusaha Anggoro Widjojo dan dua pimpinan KPK lainnya khususnya diduga melakukan penyalahgunaan wewenang (Pasal 23 UU No 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU No 31/1999”) jo Pasal 421 Kitab Undang-undang Hukum Pidana dan/atau pasal 12 huruf E UU No 31/1999 jo Pasal 15 UU No 31/99).

Belum kasus ini reda dan dibawa ke pengadilan terbetik berita Kabareskrim Susno Duadji dituduh terlibat kasus dugaan suap Bank Century dan akan diperiksa oleh KPK. Walaupun Mabes Polri mempersilakan KPK memeriksa Susno Duadji tetapi perseteruan KPK vs Polri ini sangat mengkhawatirkan semua pihak karena akan berpengaruh negatif terhadap agenda pemberantasan korupsi yang terancam gagal dan korupsi akan marak kembali di seluruh negeri.

Utamakan Kepentingan Nasional

Tidak kurang Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) mengakui adanya upaya pelemahan KPK. Anehnya sampai sekarang belum kelihatan upaya presiden untuk mengakhiri perseteruan antara KPK dengan Polri yang membahayakan agenda pemberantasan korupsi yang dijanjikan SBY sewaktu Pemilu 2004 dan “dilanjutkan” dalam Pemilu 2009.

Yang ada hanyalah perppu untuk seleksi pelaksana tugas (plt) pimpinan KPK yang menuai kontroversi. Padahal apa pun bentuk perseteruan itu tidaklah boleh sampai menghancurkan KPK sebagai suatu lembaga yang khusus dibentuk untuk memberantas korupsi khususnya yang berukuran mammoth. Presiden SBY layak mengingatkan kedua belah pihak untuk mengakhiri perseteruan ini demi kepentingan nasional dan upaya pemberantasan korupsi.

Agenda pemberantasan korupsi ini terlalu penting bagi bangsa Indonesia sehingga tidak bisa dipungkiri peran KPK adalah maha penting dalam perjalanan bangsa Indonesia menuju negara hukum yang adil dan makmur.Perumpamaan perseteruan KPK vs Polri sebagai cicak vs buaya adalah bukti bagaimana KPK dicemburui sedemikian rupa sehingga dianggap cicak.Sikap itu pula membuktikan ketidakpahaman kenapa KPK perlu dibentuk dalam agenda pemberantasan korupsi. Karena lemahnya upaya pemberantasan korupsi diperlukan “superbody” untuk membangkitkan lagi semangat dan hasrat memberantas korupsi di Indonesia.

Kalau saja DPR “mempreteli” KPK dengan antara lain menghapus hak menuntut KPK maka konsekuensinya akan jauh dan bisa menggagalkan agenda pemberantasan korupsi pemerintahan SBY kedua. Padahal kita mempunyai musuh bersama yaitu koruptor. Perseteruan KPK VS Polri tentu saja disambut baik para koruptor dan hasil akhirnya adalah kegagalan agenda pemberantasan korupsi pemerintahan SBY.Oleh karena itu Presiden SBY harus cepat bertindak untuk menyelamatkan KPK.

Kalau perlu isi KPK dengan pengurus baru sebelum lembaga ini hancur karena dijatuhkan martabatnya karena tuduhan korupsi dan menyalahgunakan wewenang (abuse of power) terhadap beberapa pengurusnya.(*)

Opini Seputar Indonesia 27 September 2009

Frans H Winarta
Advokat dan Anggota Pengurus Komisi Hukum Nasional