27 September 2009

» Home » Media Indonesia » Gusti Allah Ora Sare

Gusti Allah Ora Sare

Ucapan Bapak Yusuf Kalla, "Gusti Allah ora sare," dalam acara buka puasa di Gedung Istana Wapres Minggu (13/9) malam yang disebut sebagai yang terakhir bagi JK mengundang komentar. Ungkapan bernada kepasrahan itu sesuai untuk bulan Ramadan, ketika umat Islam berserah diri dan memohon sebesar-besarnya berkah maupun pengampunan dari Tuhannya. Apakah dalam ucapan itu ada nada kecewa? Mungkin saja. Seperti kata JK, dalam pilpres dia dan tim suksesnya sudah berupaya. Senja itu hadir pula Pak Wiranto serta tim sukses dari dua partai yang mengusung mereka. Memang siapa pun akan mengalami perubahan status dari waktu ke waktu, suatu proses yang tidak terelakkan. Status baru menuntut penyandangnya menyesuaikan diri dengan perspektif baru dalam hidupnya. Bagi JK, ikon sukses sejauh ini, penyesuaian itu hanya akan berlangsung sejenak. Dinamika kehidupan politik di Indonesia yang begitu menarik selanjutnya akan banyak menyerap perhatiannya. Pikiran dan perasaan tidak akan sempat berkubang pada yang sudah berlalu. Itu yang rasanya juga dipikirkan para kader partai.

Ada harapan itu karena partai-partai politik di mana pun dianggap sarana penting menciptakan demokrasi. Maka perlu selalu diwaspadai bagaimana partai itu diorganisasi, bagaimana pendanaannya, bagaimana dia menjalankan fungsinya, bagaimana dia merekrut para pimpinannya, dan bagaimana dia mengambil keputusan. Latar belakang dan sikap para kader utama akan selalu diikuti. Begitu juga bagaimana kecenderungan partai dalam rasa kebangsaan, kesukuan/etnis, agama maupun ekonomi. Para tokoh lama partai, seandainya mereka tidak lagi mengoperasikan mesin partai, pastilah diharapkan masih akan terlibat. Paling tidak, gagasan mereka diperlukan. Sebab pengalaman mereka mengajarkan, dalam proses politik ada sistem give-and-take yang mewajibkan masing-masing saling memberi kelonggaran kepada pesaing. Masalahnya, kemenangan tidak pernah bisa mutlak dan utuh. Bukan zamannya lagi orang bisa menang sendiri. Lagi pula, demi kestabilan politik, perlu ada keseimbangan sikap yang menyerah dan pasif dengan sikap yang aktif dan menuntut.

Kelengahan adalah sifat hakiki manusia
Gusti Allah ora sare. Itu keyakinan kita. Namun, manusia suka ber-siesta. Berlengah-lengah itulah yang membawa petaka, apakah itu lewat partai atau tidak. Tujuan partai politik membantu pengaturan kehidupan manusia. Agar asas itu terjaga, dituntut pengawasan. Namun, kenyataannya, partai politik ada kalanya terkesan kurang perhatian bahkan terhadap hal-hal yang mengancam kenyamanan dan/atau kelangsungan hidup manusia. Platform partai, misalnya, apakah pernah secara rinci mengedepankan persoalan kependudukan dan lingkungan hidup yang makin menghimpit?

Menurut ramalan tiga dasawarsa yang lalu, penduduk dunia yang waktu itu berjumlah sekitar 4 miliar akan meningkat menjadi satu setengah kalinya pada waktu ini. Ternyata benar. Sekarang penduduk bumi sudah 6,7 miliar, dan dua dasawarsa lagi akan menjadi sekitar 8 miliar lebih. Penduduk Indonesia dalam dua dasawarsa telah meningkat sekitar 70 juta lebih, sekarang menjadi kurang lebih 238 juta--yang keempat terbesar di dunia setelah China, India, dan Amerika. Gerakan Keluarga Berencana, yang giat dilaksanakan di masa Orde Baru, rupanya malahan terbengkalai di masa reformasi. Apa lagi alasannya kalau bukan kelengahan.
Kemerosotan tanah yang terus-menerus dengan kecepatan seperti yang berlangsung selama dua dasawarsa ini mengakibatkan hampir sepertiga tanah yang bisa ditanami di bumi rusak, sedangkan hutan tropis yang masih perawan hanya tinggal sekitar separuhnya. Padahal usaha pelestarian memerlukan waktu. Misalnya, diperlukan waktu 50 tahun sampai 150 tahun untuk meremajakan hutan. Kemungkinan yang menyeramkan adalah bahwa jumlah manusia yang semakin banyak akan membutuhkan sumber-sumber yang semakin langka. Situasinya diperburuk lagi karena laju konsumsi di negara-negara maju tidak sebanding dengan yang terjadi di negara-negara berkembang. Tetapi gelagatnya, tanggung jawab kerusakan lingkungan harus dipikul bersama, yang berarti negara-negara berkembang harus berhemat-hemat sekalipun untuk mengentaskan ratusan juta rakyat dari kemiskinan itu mereka terpaksa merusak sumber-sumber yang justru mereka perlukan nantinya untuk meningkatkan kesejahteraan. Ini dilema yang tidak berkesudahan. Diminta kewaspadaan semua pihak, termasuk partai-partai politik.

Yang diharapkan dari partai politik
Kita sudah lelah dengan asumsi bahwa organisasi politik, termasuk partai-partai politik, hanya mengutamakan persaingan meraih kekuasaan. Semua aktivis politik dianggap penganut Machiavelli. Apa yang dilakukan setelah kekuasaan ada di tangan, selalu dipertanyakan dan menjadi persoalan. Tesis lingkungan hidup yang dipaparkan hanya sekadar contoh bahwa banyak masalah kemanusiaan meminta perhatian. Apa kendala organisasi-organisasi politik dalam usaha menjaga aspek-aspek kemanusiaan?
Daisaku Ikeda (1928- ), filosof dan pemuka ajaran Buddha, ketika berbicara tentang nilai-nilai organisasi sosial mengatakan salah satu yang selalu menggelitik tentang kultur modern adalah masalah organisasi. Bersama dengan teknologi dan komunikasi, organisasi adalah pilar penting bagi peradaban. Dengan demikian, organisasi adalah suatu berkah bagi umat manusia. Namun, sebaliknya organisasi juga merupakan ancaman. Masyarakat, yang juga suatu organisasi bentukan manusia, mencerminkan apa maksud dan tujuan manusia. Namun, mekanisme sosial kadang-kadang menjalankan fungsi yang sama sekali tidak diharapkan. Salah satu tragedi yang kita hadapi adalah bahwa tindakan otonom suatu kelompok yang terorganisasi kadang-kadang menekan dan bahkan menolak kemanusiaan.

Memang kadang-kadang organisasi memberikan hasil yang berlawanan dengan ide-ide para pendirinya. Seakan-akan organisasi memiliki kemauan sendiri dengan sasaran-sasaran sendiri, yang berbeda dari yang bahkan diinginkan anggota-anggotanya. Tentu bukan karena organisasi itu menjadi satuan yang otonom, melainkan orang-orang yang menguasai dan mengurusnya yang merasa bertanggung jawab atas kelangsungan hidup organisasi. Orang-orang itulah yang kadang-kadang menentukan tujuan jangka pendek dan sempit, tanpa mempertimbangkan efek dan konsekuensinya secara luas.

Maka Daisaku Ikeda menyarankan, organisasi memerlukan dasar spiritual yang berakar pada nilai-nilai masyarakat. Nilai-nilai kemanusiaan tidak boleh sempit. Jangan pernah berorientasi pada keinginan untuk memuaskan kehendak individu, kelompok, suku, ras bahkan ideologi tertentu. Nilai-nilai kemanusiaan harus bersifat universal. Di masa lalu, nilai-nilai sempit telah menimbulkan tragedi. Nilai-nilai yang dianut harus luas dan mendalam.

Penyebutan yang bersifat spiritual
Di luar organisasi agama, umumnya sebagian besar perhatian organisasi, termasuk partai politik, hanya dicurahkan pada aspek-aspek sosial manusia, salah satu faset dari eksistensinya. Dengan demikian, ucapan, "Gusti Allah ora sare," tidak biasa terdengar untuk urusan kegiatan partai. Namun, kapasitas spiritual memang ada pada tiap manusia, dengan kualitas dan intensitas yang berbeda-beda.

Apakah unsur-unsur spiritual berkaitan dengan moralitas? Faktanya, semua agama mempunyai ajaran moral. Studi mendalam tentang kehidupan spiritual mengungkapkan bahwa ada keinginan manusia untuk mengetahui nilai-nilai kehidupan, untuk mencari keyakinan bahwa hidup bukan suatu kebetulan, bahwa hidup memiliki tujuan. Ada elemen intelektual dalam usaha spiritual untuk menemukan tujuan dan nilai kehidupan, dan ada elemen emosional dalam ketergantungannya pada kekuasaan yang menciptakan atau menjamin nilai-nilai itu. Elemen-elemen intelektual dan emosional ini memengaruhi sikap manusia. Maka kalau kita mengatakan, "Gusti Allah ora sare," berarti elemen-elemen intelektual dan emosional sedang bekerja dalam diri kita. Dalam mencari kebenaran, kita berserah diri kepada Tuhan.
Bagi yang berpuasa, "Selamat menjalani Ramadan."

Opini Media Indonesia 18 September 2009

Oleh Toeti Adhitama, Anggota Dewan Redaksi Media Group