27 September 2009

» Home » Media Indonesia » UU BHP dan Prospek Pengelolaan Pendidikan Tinggi

UU BHP dan Prospek Pengelolaan Pendidikan Tinggi

DAYA saing nasional sangat ditentukan oleh kemampuan mengembangkan ilmu pengetahuan, melakukan inovasi teknologi, dan mendorong program penelitian dan pengembangan untuk melahirkan penemuan-penemuan baru yang bermanfaat bagi pengembangan ekonomi berbasis pengetahuan. Dalam konteks ini, lembaga pendidikan tinggi menempati posisi sangat penting dan strategis karena berperan dalam (1) melahirkan tenaga kerja terlatih, kompetitif, dan profesional, (2) mengembangkan iptek sebagai instrumen pokok di era globalisasi ekonomi, dan (3) meningkatkan kemampuan mengakses perkembangan ilmu pengetahuan di tingkat global dan mengadaptasinya menurut konteks lokal (World Bank 2002).

Menurut World Competitiveness Report, berdasarkan growth competitiveness index (GCI) yang mencakup tiga indikator (teknologi, lembaga-lembaga publik, dan lingkungan makroekonomi), posisi Indonesia bertengger di peringkat ke-69 pada 2004 dan membaik di 2007 menjadi peringkat ke-54. Malaysia semakin menanjak dari nomor 31 pada 2004 menjadi nomor 21 pada 2007.

Merujuk laporan yang sama, berdasarkan business competitiveness index (BCI) yang mencakup dua indikator (strategi dan operasi perusahaan serta lingkungan bisnis nasional), menempatkan Indonesia pada urutan ke-19 di antara negara-negara anggota APEC, jauh di bawah Singapura yang berada di posisi ke-2, Taiwan ke-6, Korea Selatan ke-9, dan Malaysia ke-10.

Sementara itu, Thailand menempati urutan ke-11, China ke-13, Vietnam ke-16, dan Filipina ke-17.

Dengan posisi peta kekuatan persaingan di tingkat dunia seperti ini, tidak ada pilihan lain bagi bangsa Indonesia untuk mempercepat peningkatan daya saing nasional melalui penyelenggaraan pendidikan tinggi yang berkualitas.

Potret pengelolaan pendidikan tinggi
Kerangka Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka Panjang (2003-2010) difokuskan untuk menjawab tiga isu strategis yaitu (1) daya saing nasional melalui keunggulan (excellence) serta equity dan social responsibility, (2) otonomi perguruan tinggi melalui reformasi peraturan (legal reform) dan struktur pendanaan (funding structure), serta (3) kesehatan organisasi dengan meningkatkan pengembangan kapasitas dan kerja sama kelembagaan (capacity building and institutional cooperation).

Berbagai upaya pemerintah dan masyarakat dalam membangun pendidikan tinggi telah menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan yang ditunjukkan dengan semakin meningkatnya angka partisipasi kasar (APK) pada jenjang pendidikan tinggi yang pada 2007 telah mencapai 17,26% atau sekitar 4,375 juta mahasiswa telah tertampung dalam sistem pendidikan tinggi nasional (Depdiknas, 2007). Meskipun demikian, keberhasilan tersebut tampaknya belum mampu melampaui APK PT di negara ASEAN lainnya, seperti Thailand 42,7%, Malaysia 32,5%, dan Filipina 28,1%. Bila ditilik dari sisi kualitas, sudah menunjukkan peningkatan yang ditandai dengan adanya tujuh PTN yang masuk World Top Universities versi The Times Higher Education Supplement รข€“ QS World University Rankings (2005-2008), yaitu UGM, ITB, UI, Undip, Unair, IPB, serta Unibraw.

Relevansi pendidikan tinggi juga belum menunjukkan hasil yang signifikan yang ditandai adanya kecenderungan peningkatan pengangguran lulusan PT, dari sekitar 183.629 pada 2006 menjadi 409.890 pada 2007. Demikian halnya dengan perolehan paten dan publikasi internasional yang belum menunjukkan peningkatan signifikan jika dibandingkan dengan jumlah penduduk Indonesia yang demikian besar. Pada 2006, perolehan paten sebanyak 11 paten dan mengalami sedikit peningkatan menjadi 15 paten pada 2007. Adapun publikasi internasional baru mencapai 21 artikel pada 2006 dan 30 artikel pada 2007 (Ditjen Dikti Depdiknas, 2007).

Seiring dengan terjadinya perubahan dalam ketatanegaraan, otonomi PT kembali menjadi pilihan terbaik untuk mengembangkan perguruan tinggi salah satunya melalui PP nomor 61/1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum Milik Negara (PT-BHMN). Dalam pelaksanaannya, otonomi PT bukan tanpa masalah, apalagi di era transisi saat ini dengan setiap perubahan senantiasa melahirkan berbagai ekses dan berbagai ketidakakuratan penafsiran yang pada akhirnya berdampak menciptakan biaya sosial yang cukup tinggi.

Kesan inilah yang menguat ketika Undang-Undang No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (UU BHP) ditetapkan pada 17 Desember 2008. Sejatinya undang-undang itu ditujukan untuk memperkuat otonomi penyelenggaraan pendidikan, tetapi dalam ranah publik dimaknai sebagai usaha lepas tangan pemerintah sehingga menjadi kontroversi yang berkelanjutan. Pada jenjang pendidikan dasar dan menengah, UU tersebut merupakan kelanjutan dari manajemen berbasis sekolah/madrasah (school based management) yang merupakan bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan.

Sementara itu, pada jenjang perguruan tinggi, UU tersebut menjadi landasan otonomi perguruan tinggi yang merupakan kemandirian perguruan tinggi untuk mengelola sendiri lembaganya.

Kelahiran UU BHP sejalan dengan perkembangan masyarakat yang semakin menuntut layanan yang lebih baik dan responsif dengan pengelolaan perguruan tinggi dituntut untuk meningkatkan kualitas layanannya. Hal itu semakin dirasakan dengan semakin terbukanya persaingan dalam penyediaan jasa pendidikan tinggi. Setidaknya ada tiga model pengelolaan perguruan tinggi negeri yang berkembang saat ini. Pertama pola PTN konvensional yang selama ini dilakukan PTN dengan mengacu pada UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan PP No 60/1999 tentang Pendidikan Tinggi. Kedua, pola BHMN dengan mengacu pada UU No 2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional, PP No 61/1999 tentang Perguruan Tinggi Badan Hukum, dan PP 152-155/2000 untuk empat PTN, yaitu Universitas Indonesia (UI), Institut Teknologi Bandung (ITB), Universitas Gadjah Mada (UGM), dan Institut Pertanian Bogor (IPB). Pada tahap selanjutnya Universitas Sumatera Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (Unair) menyusul menjadi PT BHMN. Ketiga, pola badan layanan umum yang bersandar pada UU No 2/1989 dan UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan UU No 1/2004 tentang Perbendaharaan Negara serta PP No 60/1999 dan PP No 23/2005 tentang Pengelolaan Keuangan BLU. Universitas Diponegoro (Undip) dan Universitas Padjadjaran (Unpad) adalah penganut model BLU ini.

Keanekaragaman model pengelolaan perguruan tinggi di Indonesia merupakan sebuah respons perguruan tinggi terhadap perkembangan di dalam masyarakat. Keberagaman respons perguruan tinggi juga terjadi di berbagai negara. Setidaknya ada empat model perguruan tinggi yang berkembang saat ini yaitu (1) model corporatisation universities seperti yang terjadi di Australia, Malaysia, dan Jepang, (2) model entrepreneurial universities seperti di Singapura, (3) model autonomous universities seperti yang dicoba dilakukan Indonesia dan Thailand, dan (4) model people-founded universities sebagaimana yang diterapkan di China dan Vietnam. Keempat model tersebut memiliki keunggulan dan kekurangan masing-masing sehingga sangat tergantung dengan konteks dan dinamika stakeholder-nya.

Dalam upaya memfasilitasi pengaturan pengelolaan pendidikan, termasuk pendidikan tinggi sebagaimana tersurat dalam UU No 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 53 ayat (1) dan (2), di penghujung 2008 pemerintah bersama DPR menetapkan UU No 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP) yang secara bertahap menuntut konvergensi pengelolaan perguruan tinggi.

Kehadiran UU BHP sejatinya bisa menjadi instrumen untuk memperkuat otonomi PT sehingga kemandirian pengelolaan PT benar-benar dilaksanakan secara transparan dan akuntabel. Pengelolaan PT yang transparan dan akuntabel akan mampu memperkuat kepercayaan (trust) stakeholder terhadap PT sehingga civitas academica dapat fokus memperkuat kualitas layanannya.

Seperti halnya otonomi dan desentralisasi pemerintah daerah, otonomi PT melalui BHP juga bisa menimbulkan keruwetan baru apabila pemerintah, dalam hal ini Departemen Pembina PTN tetap ambigu dalam memetakan antara tugas, kewenangan, dan pembiayaan. Salah satu keruwetan desentralisasi kepemerintahan adalah karena pemerintah pusat menyerahkan tanggung jawab dan kewenangannya kepada pemerintah daerah, sedangkan pembiayaannya tetap dipegang pemerintah pusat sehingga muncul adagium 'melepas kepala sambil memegang buntut'. Jika pelimpahan tersebut benar-benar dilaksanakan dan diberikan dukungan sumber daya dan supervisi yang memadai, penguatan pengelolaan satuan penyelenggara pendidikan benar-benar akan menjadi kenyataan. Satuan penyelenggara pendidikan yang kokoh akan menjadi prasyarat (qonditio sine quanon) untuk menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas.

Opini Media Indonesia 28 September 2009
Oleh Tatang Muttaqin Alumnus Curtin University-Australia, Staf Direktorat Agama dan Pendidikan Bappenas