Robi Cahyadi
Dosen FISIP Universitas Lampung
Istilah korporatokrasi digunakan John Perkins untuk menggambarkan betapa dalam rangka membangun imperium global, korporasi, international finance institutions, dan pemerintah bergabung menyatukan kekuatan finansial dan politiknya untuk memaksa masyarakat dunia mengikuti kehendak mereka (John Perkins, Confessions of an Economic Hit Man, 2004)
Istilah korporatokrasi dalam dunia ilmu sosial belum digunakan secara meluas dan relatif baru. Korporatokrasi dilukiskan sebagai sistem kekuasaan yang dikontrol berbagai korporasi besar, bank-bank internasional, dan pemerintah. (Amien Rais, Selamatkan Indonesia!, 2008)
Kuasa korporasi yang sangat besar di Indonesia diawali oleh peraturan perundangan yang dikeluarkan pemerintah sejak ujung kekuasaan Soekarno, diperbesar oleh Rezim Soeharto dan berlangsung hingga saat ini. Diawali UU No. 1/1967 tentang Penanaman Modal Asing, UU No. 5/67 tentang Kehutanan, UU No. 11/67 tentang Pertambangan, Kontrak Karya Pertambangan Generasi I dan II
Kegentingan politik dan ekonomi di Indonesia sejak Orde Lama hingga kini selalu digunakan dengan sempurna oleh kuasa korporasi untuk mendorong lahirnya beragam peraturan perundangan yang melegitimasi dominasi mereka di Indonesia. Di ujung kuasa Soeharto ditandai dengan ditandatangani LoI dengan IMF, dan mengantar Indonesia untuk masuk secara sempurna dalam sistem ekonomi neoliberal. Pada tahap selanjutnya, beragam perundangan pun dikeluarkan, mulai dari liberalisasi fiskal dan moneter hingga pada dominasi penguasaan aset-aset alam.
Kini hampir setiap jengkal tanah di Indonesia dikuasai korporasi, baik dalam bentuk hak penguasaan hutan, hutan tanaman industri, kontrak karya pertambangan, perkebunan besar kelapa sawit, kontrak bagi hasil batu bara, kontrak bagi hasil minyak dan gas, kuasa pertambangan, dll.
Data Walhi dan Jatam (2005) menunjukkan sekitar 35,1 juta hektare kawasan hutan telah dikuasai perusahan pemegang HPH, 15 juta hektare untuk hak guna usaha, 8,8 juta hektare untuk hutan tanaman industeri, 35% daratan Indonesia dikuasai 1.194 pemegang kuasa pertambangan, 341 kontrak karya pertambangan, dan 257 kontrak pertambangan batu bara (PKP2B)
Contohnya daerah Riau, sekitar 35% kawasan daratannya dikuasai sekitar 17 grup perusahaan yang bergerak di bidang kehutanan dan perkebunan skala besar .
Sebagian perundangan yang menyokong kuasa korporasi, antara lain UU Minyak dan Gas, UU 41/99 tentang Kehutanan, Perpu No. 1/2004 yang telah menjadi UU No. 19.2004 tentang Pertambangan di Kawasan Lindung, UU No. 7/2004 tentang Sumber Daya Air, UU 25/2007 tentang Penanaman Modal, UU No. 26/2007 tentang Tata Ruang, UU No. 27/2007 tentang Pengelolaan Pesisir dan Pulau-Pulau kecil, Pepres 36/2005 jo Pepres 65/2005 tentang Pengadaan Tanah untuk Infrastruktur, dll.
Zaman Orde Baru berkuasa, korporasi mendapat perlindungan langsung dari kekuatan tentara dan polisi, seperti yang terjadi di Freeport, Kelian, Indo Muro. Pasca-1998, jumlah pengerahan langsung kekuatan militer dan polisi untuk mendukung operasi pengerukan alam mengalami penurunan, tetapi masih tetap digunakan, seperti Freeport, RAPP, dan Lapindo.
Stigma gerakan separatis terhadap penentang ketidaadilan dalam pengerukan alam, seperti GPK, GAM, OPM yang pada masa Orde Baru begitu kuat digunakan. Saat ini masih digunakan untuk meredam aksi-aksi menentang ketidakadilan yang dilakukan Freeport. Contoh aksi mahasiswa tahun 2005 di Jawa dan Papua dalam menentang Freeport di kategorikan sebagai bagian dari gerakan OPM. .
Cara yang sering dipakai korporasi dalam memperbesar pengaruhnya di masa Orde Baru adalah Engagement dengan kekuasaan formal dan militer di Pusat, kini hal serupa digunakan dengan pemerintah daerah dan aparatur keamanan negara di wilayah.
Anehnya, lembaga-lembaga keuangan internasional dan negara-negara donor utama menggunakan standar berbeda dalam merespons pelanggaran hak politik dan ekonomi, sosial serta budaya. Pengaruh dan intervensi juga digunakan. Saat ini korporasi terus melakukan intervensi dalam proses legislasi. Buktinya, munculnya PP No. 2 tahun 2008 dan Kepres tentang Lapindo adalah contoh yang mudah untuk dilihat.
Korporasi kini menemukan cara baru untuk menghindari dari tuduhan pelanggaran HAM, yaitu menggunakan justivikasi para ahli yang di pekerjakan dan memanfaatkan buruknya sistem peradilan (Mafia peradilan) yang dapat memenangkan sengketa hukum sebagai tameng untuk membela diri. (Chalid Muhammad, 2010)
Beberapa pemerintahan menyerupai bentuk korporatisme dalam tingkatan global karena mereka memasukkan wakilnya dalam pemerintah (contoh World Bank), dan IMF. Indonesia dipandang sebagian pengamat dipengaruhi kehadiran “Mafia Berkeley“ dalam setiap kabinet dalam pemerintahan presidensial, berperan dalam kebijakan-kebijakan ekonomi, keuangan, neraca perdagangan, dan barang.
Dengan masuknya globalisasi, penambahan aktor-aktor multinasional dan jaringan transnasional melemahkan kewenangan dari negara. Isu utama dari teori ini adalah efisiensi output bagaimana membuat negara bangsa tunduk dan mengikuti aturan internasional dan bagaimana menemukan solusi terbaik untuk masalah-masalah global.
Ekonomi neoliberal mengarahkan negara seharusnya menyediakan dan memungkinkan kerangka untuk pasar bebas, tanpa adanya intervensi dari negara. Perdagangan global akan memimpin pertumbuhan ekonomi dan menjamin kesejahteraan umum, itulah yang ditawarkan.
Pemunculan isu neoliberalisme yang notabene mengarah kepada faham berpikir asing yang cenderung global mengisyaratkan Indonesia masih menggantungkan sebelah tangannya pada prinsip-prinsip global, baik secara ekonomi dan politik. Bangsa ini, saat ini membutuhkan keberanian untuk terlepask dari jebakan global yang terpola rapi oleh bangsa asing. Hanya pemimpin pemberani dan punya misi dan visi berdikarilah yang mampu mewujudkannya.
Opini Lampung Post 23 September 2010