22 September 2010

» Home » Lampung Post » Bandar Lampung Kota Macet

Bandar Lampung Kota Macet

Adam Muakhor
Staf Bidang Fisik Bappeda Kota Metro
Masalah kemacetan, sejatinya bukanlah permasalahan sektoral lagi, melainkan menjadi bagian dari beragam permasalahan kota yang saling terkait satu dengan lainnya. Banyak faktor yang menjadi penyebab timbulnya kemacetan di Bandar Lampung.
Beberapa faktor penyebab kemacetan di Bandar Lampung, di antaranya pertama daya tampung ruas jalan yang overload dengan jumlah kendaraan yang lewat. Beberapa jalan di Bandar Lampung sebenarnya tidak mampu lagi menampung aktivitas kendaraan pada jam-jam puncak. Hal ini bisa dilihat pada Jalan Arif Rahman Hakim dan Urip Sumoharjo. Kondisi jalan tersebut kini kontras sekali dengan kondisi 1—2 tahun sebelumnya. Pada ruas jalan ini mulai pukul 07.00—18.00 semakin macet. Selain dikedua ruas jalan tersebut, jika dilihat dalam konteks kota secara keseluruhan, ada beberapa ruas jalan di Bandar Lampung yang rutin mengalami kemacetan ketika jam-jam sibuk, seperti Jalan Kartini, Jalan Raden Intan, Jalan Teuku Umar, Jalan Z.A. Pagaralam, Jalan Soekarno-Hatta (by pass), Jalan Gajahmada, Jalan Hayam Wuruk, dan beberapa ruas jalan lainnya di Bandar Lampung meskipun intensitas kemacetannya tidak sama pada pusat kota.


Selain daya tampung ruas jalan, kedua, beberapa traffic light yang sudah tidak akurat lagi (kurang berfungsi) turut menjadi penyebab meningkatnya angka kemacetan di Bandar Lampung. Ketiga, angkot dan perilaku pengguna jalan, perilaku sopir angkot yang berhenti sembarangan untuk menaikkan dan menurunkan penumpang, serta perilaku pengguna jalan bahkan mungkin kita sendiri menjadi faktor penyumbang bertambahnya angka kemacetan. Keempat, tata guna lahan, pengembangan sarana publik seperti pusat perbelanjaan yang masih berkonsentrasi di pusat kota berimplikasi pada terpusatnya pergerakan kendaraan dan orientasi masyarakat untuk selalu menuju pusat kota untuk berbelanja atau untuk menikmati sarana publik yang memiliki kesan metropolis.
Kelima, bertambahnya penggunaan kendaraan pribadi, keinginan untuk memperoleh kenyamanan, prestise, dan kurang representatifnya transportasi massal mungkin mendorong orang-orang yang mampu secara ekonomi untuk membeli dan menggunakan kendaraan pribadi, khususnya roda empat. Bayangkan jika ternyata rata-rata kendaraan roda empat di kota ini ternyata hanya mengangkut 1—2 orang pada setiap kali perjalanannya, tak dapat dihindari lagi pertambahan volume kendaraan dan meningkatnya beban jalan.
Keenam, pedagang kaki lima (PKL), tak bisa dielakkan aktivitas PKL, khususnya yang ada di sekitar Jalan Kartini dan Raden Intan (jalan-jalan di pusat kota) yang menggunakan badan jalan ikut menyumbang kemacetan. Kemacetan terjadi di Jalan Kartini, Jalan Bukittinggi, Jalan Batusangkar, dan Jalan Imam Bonjol. Keempat jalan itu dipenuhi pedagang kaki lima (PKL), pejalan kaki, becak, dan sepeda motor. Kemacetan tersebut disebabkan banyaknya kendaraan pribadi yang menuju ke pasar tradisional paling populer di Bandar Lampung tersebut secara bersamaan.
Tidak Mengacu Tata Ruang Kota
Tata ruang kota yang menjadi acuan untuk pembangunan sistem tranportasi perkotaan jarang dijadikan sebagai bahan rujukan bersama. Penyusunan rencana kota cenderung tak banyak melibatkan masyarakat atau kurang aspiratif sehingga kota kehilangan visi pengembangannya.
Kota Bandar Lampung dibangun cenderung bagaimana kepentingan kepala daerahnya, baik Wali kotanya maupun gubernurnya. Akibatnya, kota sangat rentan terhadap tekanan kepentingan modal (kapital). Faktor lain yang harus dibenahi adalah lemahnya kesiapan kelembagaan dan tumpang tindihnya kepentingan masing-masing instansi. Selain itu, kepemimpinan dalam pengelolaan sistem transportasi perkotaan menajdi sangat penting untuk mencegah terjadinya kasus korupsi. Biaya pembangunan transportasi perkotaan yang di korupsi sudah “jamak” dilakukan di negeri ini sehingga kualitas dan kuantitasnya sangat jauh dari yang diharapkan.
Kata kunci untuk membangun sistem tarnsportasi perkotaan yang baik sehingga tidak menimbulkan masalah kemacetan adalah apakah pembangunannya akan membantu memecahkan persoalan sosial ekonomi masyarakat hingga masalah hak asasi manusianya, atau hanya menambah beban baru dengan cara meminggirkan mereka. Harapan kita bersama semoga kelemahan-kelamahan tersebut tidak menjadi celah untuk memunculkan pola tindak pragmatis guna kepentingan sekelompok orang atau atas nama kepentingan umum.
Pembenahan Sarana Angkutan Umum
Pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 membuka kewenangan Pemerintah Kota Bandar Lampung untuk menentukan sistem transportasi kota demi meningkatkan mobilitas seraya mendorong penggunaan angkutan umum dan menganjurkan pengurangan pemakaian kendaraan pribadi.
Pembangunan transportasi di kiota-kota besar biasanya hanya memperhatikan pembangunan fisik jalan semata yang dianggapnya dapat memperlancar arus lalu lintas atau dapat mengurangi kemacetan, seperti pelebaran jalan, pembangunan jalan baru, komputerisasi lalu lintas, jalan tol, jembatan layang sampai underpass. Kenyataan yang ada di lapangan adalah bahwa penambahan jalan baru malah berakhir dengan bertambahnya kemacetan, hal ini sudah terbukti cukup banyak di kota-kota besar yang pembangunannya lebih diprioritaskan pada pembangunan jalan baru. Karena jalan baru di tengah kota dianggap akan membangkitkan lalu lintas baru (latent demand), yang pada akhirnya justru menambah kemacetan, belum lagi kondisi jalan yang sudah jenuh.
Kondisi yang saat ini yang sering dilupakan oleh pemerintah adalah pembenahan sarana angkutan umum, sehingga sering kali perencanaan jaringan angkutan umum tidak diprioritaskan. Padahal hak masyarakat termasuk penumpang kendaraan umum dan pejalan kaki, harus menjadi perhatian pemerintah. Pemerintah harus berupaya menarik pengguna kendaraan pribadi untuk berpindah ke angkutan umum. Meskipun hal itu tidak mudah, ada baiknya mencoba mengembalikan kepercayaan masyarakat terhadap angkutan umum, sebagai tulang punggung sistem transportasi kota.
Untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat pengguna tranportasi umum, harapannya pemerintah dapat memberikan angkutan umum yang layak, andal, aman, dan nyaman, tidak diturunkan di tengah jalan, keamanan dan keselamatan yang terjamin yang pada akhirnya dapat memperbesar efisiensi ekonomi dan social equity, serta bersahabat pada lingkungan. Solusi ini merupakan solusi yang tepat yang dapat dilakukan Kota Bandar Lampung untuk bebas dari kemacetan. Karena untuk memfasilitasi pergerakan di dalam kota, hampir semua perencana transportasi sepakat yang diutamakan adalah memfasilitasi kemudahan pergerakan orang melalui integrasi berbagai prasarana dan sarana transportasi. Pemakaian kendaraan pribadi di pusat kota sedapat mungkin dibatasi atau diberikan ongkos yang cukup tinggi melalui pajak khusus, parkir, sistem stiker, dan seterusnya. Hal ini yang mendasari sistem transportasi yang baik, misalnya penerapan electronic road pricing di Singapura dan Congestion Charging di London, ataupun mengurangi jumlah kendaraan pribadi dengan sistem stiker ganjil genap dan nomor akhir kendaraan. Jadi, untuk pusat kota yang dilakukan adalah mengelola kebutuhan (transport demand management) dan bukannya menambah jalan baru.
Opini Lampung Post 23 September 2010