Oleh ATEP KURNIA
Sjarif Amin mengenang Charlie Chaplin. Dalam memoarnya Keur Kuring di Bandung (1983), terutama dalam tulisan berjudul Lada Ngeunah, sastrawan dan wartawan Sunda ini menggambarkan begini:
"Tapi Caplin, Charlie Chaplin, pageuh pisan montelna dina hate teh. Pedah nyaho ti bubudak, sigana. Waktu manehna ka Bandung, lalu-lintas mani mendet hareupeun Hotel Preanger. Kolot-budak ngagonyok. Taranggah ka loteng hotel, lebah Caplin bejana aya di dinya. Bari tingcorowok barudak mah: "Plin!... Plin!.. Plin!...
Lila manehna nolol tina jandela, bari gugupay ka jalma rea.
Isukna kapanggih keur meuli jeruk garut, di Pasarbaru".
Kunjungan komedian besar ini terjadi antara 1927 dan 1935. Mengapa Charlie Chaplin datang ke Bandung? Ya, tentu saja karena Bandung menyediakan sesuatu yang menarik bagi si komedian atau dapat memenuhi keinginannya. Kalau demikian, apa yang menarik dari Bandung kala itu? Satu hal, saat itu, Parisnya Pulau Jawa ini gencar-gencarnya mempromosikan sektor pariwisata.
Bagaimana praktiknya? Disertasi A. Sobana Hardjasaputra, Perubahan Sosial di Bandung 1810-1906 (2002) dan Semerbak Bunga di Bandung Raya (1986) karya Haryoto Kunto barangkali bisa menjawabnya.
Saat itu, di kota kembang dilakukan pembangunan infrastruktur: bangunan-bangunan, pengelolaan dan pelestarian lingkungan, serta kesejahteraan di sekitarnya. Praktiknya, pembangunan taman-taman kota, klub gaul, pembukaan kawasan Braga, Jalan Raya Pos, alun-alun, Pasar Baru, dan lain-lain, disebabkan meningkatnya jumlah orang Eropa serta orang yang berkunjung ke Bandung. Parijs van Java memang sedang dilanda "demam" Eropa.
Jauh-jauh hari mereka berupaya memajukan kegiatan wisata, melalui pendirian lembaga yang menampung aspirasi masyarakat serta memajukan pariwisata. Idenya berasal dari Asisten Residen Pieter Sijthoff.
Tahun 1898, realisasinya. Saat itu berdirilah Vereeniging Tot Nut van Bandoeng en Omstreken sebagai hasil permufakatan antara Bupati Bandung, pengontrol, pengusaha perkebunan, pengusaha hotel, pemilik toko, guru, budayawan, serta tokoh masyarakat pribumi lainnya. Ketua pertamanya Residen Priangan, Mr. C.W. Kist.
Sejak itu, kegiatan wisata di Bandung dikelola organisasi ini. Untuk menunjang kegiatan, mereka menerbitkan panduan wisata daerah Bandung dan sekitarnya, Reisgids voor Bandoeng en Omstreken met Garoet. Buku panduan ini disebarkan ke toko besar, hotel, stasiun kereta api, dan tempat hiburan.
Selanjutnya Vereeniging Tot Nut van Bandoeng en Omstreken berubah nama menjadi Comite tot Behartiging van Bandoeng`s Belangen, karena berjasa mewujudkan status kotapraja (gemeente) bagi Kota Bandung pada 1906. Pada 1920-an, organisasi ini berganti nama lagi menjadi Bandoeng Vooruit.
Untuk memajukan pariwisata, Bandoeng Vooruit yang berkantor di Jalan Naripan secara aktif membangun infrastruktur dan mempromosikan daerah-daerah wisata di Bandung dan sekitarnya. Infrastruktur yang dibangun antara lain: jalan menuju Kawah Tangkubanparahu (1928) dan Kawah Papandayan (1935); pemandian di Dago, Ciumbuleuit, Cimindi, Cihampelas, dan Sentrum, diremajakan; merancang dan mendirikan taman kota serta mengubah taman menjadi mini botanical garden (1930-1935); dan jalan-jalan dilengkapi papan nama dan rambu lalu lintas (1934).
Mereka mengajak warga Bandung turut menjadi anggota perkumpulan dan aktif menawarkan objek wisata, seperti hotel, bioskop, radio Malabar, Museum Geologi, Museum Pos, THS (kini ITB), jalan-jalan ke perkebunan, Gunung Tangkubanparahu, Gunung Papandayan, air terjun (curug), kebun binatang, dan lain-lain. Juga mengikuti pameran-pameran di Bandung (dalam Jaarbeurs), Surabaya (Jaarmakt), dan Jakarta (Pasar Malam Gambir).
Tak heran, pada 1941, wisatawan yang ke Bandung mencapai 200.000 orang. Termasuk tokoh terkenal seperti Louis Couperus, arsitek Hendrik Petrus Berlage, dan Charlie Chaplin.
Dengan demikian, langkah-langkah yang ditempuh kaum kolonial Belanda untuk mempromosikan Kota Bandung sebagai kota wisata, ada baiknya ditiru. Bukan saja karena kita menganggap masa itu sebagai zaman normal, zaman keemasan Kota Bandung, zaman yang serbaaman, karena toh sudah berlalu, atau tinggal sebagai sesuatu yang nostalgik belaka di benak orang tua. Namun, bagaimana kita mampu memanfaatkan masa lalu itu sebagai kekuatan untuk membaca, memahami kondisi kekinian dan masa akan datang.
Pariwisata di Kota Bandung kini terbilang maju. Setiap akhir pekan, lalu-lalang kendaraan berpelat B itulah buktinya. Di sela-sela kemajuan pariwisata di Bandung, saya pikir baik pemerintah maupun masyarakat yang concern terhadap pariwisata harus berbuat hal serupa seperti Bandoeng Vooruit: membangun, mengelola, memelihara, dan mempromosikan Kota Bandung secara gencar, dengan syarat memperhatikan dan mempertahankan keindahan serta kelestarian lingkungan hidup di sekitar Bandung. Caranya, dengan tidak membiarkan penebangan pohon-pohon di ppinggir jalan, apalagi misalnya karena lebih mementingkan kemauan pemasang reklame, kaum pemodal. Tentu dengan membangun banyak taman kota, dapat membuat wisata di Kota Kembang genah, merenah, tumaninah.***
Penulis, penulis lepas, tinggal di Bandung.
Opini Pikiran Rakyat 23 September 2010