27 Mei 2010

» Home » Lampung Post » Restorasi Pancasila, Kenapa Tidak

Restorasi Pancasila, Kenapa Tidak

Idrus Ruslan
Dosen IAIN Raden Intan Lampung, Mahasiswa Program Doktor Religious Studies UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Beberapa waktu yang lalu, salah satu stasiun televisi swasta mewawancarai kalangan remaja tingkat SMA dengan menanyakan Pancasila berikut isinya. Dari 10 orang yang ditanya; yang menjawab secara benar hanya 4 orang, sisanya menjawab secara tidak berurutan bahkan ada yang tidak lengkap. Potret ini, tentunya sangat memprihatinkan, karena bagaimana mungkin mereka bisa memahami Pancasila secara baik dan benar kalau urutan isi Pancasila mereka tidak hafal. Walaupun tidak ada jaminan bagi yang hafal “wiridan” Pancasila, akan menjalankan makna terkandung dalam Pancasila secara nyata dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Adalah dilematis membicarakan Pancasila semenjak reformasi; karena di satu sisi orang akan dituduh menjadi antek Orba. Tapi di sisi lain, nyatanya setelah 12 tahun hidup di zaman reformasi, masih sangat banyak perilaku yang bertetangan dengan nilai-nilai Pancasila, misalnya kasus korupsi yang telah menggurita di setiap instansi dan institusi yang ada. Dari sipil hingga militer; dari swasta hingga pemerintah tidak terlepas dari tradisi ini. Hampir setiap waktu kita disuguhi tontontan fantastis; kasus illegal loging, Bank Century, perpajakan, markus, “istana” dalam penjara, pelanggaran HAM, dan lain-lain yang melibatkan unsur aparat berwenang, sampai saat ini masih menjadi awan gelap yang menyelimuti Bumi Pertiwi.
Perlunya Restorasi Pancasila
Ketika Orde Baru runtuh, muncul trauma besar dalam memori kolektif masyarakat Indonesia akibat perlakukan berlebihan terhadap Pancasila di era sebelumnya. Dalam mind set masyarakat; membicarakan Pancasila adalah identik dengan Orba. Tidak heran jika sejak era reformasi, “Pancasila seakan-akan telah ditinggalkan sendirian”. Akan tetapi setelah reformasi berjalan, banyak terjadi bentrokan dan kerusuhan yang merenggut jiwa, harta dan yang terpenting stabilitas yang telah dibangun selama ini seakan hilang entah kemana akibat dari tidak dimilikinya satu pegangan yang dijadikan cerminan bersama. Rasa kesukuan, kedaerahan, keagamaan, muncul kepermukaan tanpa malu-malu sehingga menambah sederet masalah yang dihadapi pemerintah di era ini.
Oleh sebab itu, diperlukan restorasi terhadap Pancasila dengan cara memahami esensinya lalu diimplentasikan secara konkret dalam kehidupan empirik. Karena nilai-nilai Pancasila sejatinya adalah luhur dan universal, menekankan semangat kebersamaan, gotong royong, toleransi dan persaudaraan. Yang menjadikannya tidak bermakna karena nilai-nilai tersebut “dikangkangi” oleh manusia-manusia Indonesia sendiri.
Menarik apa yang disarankan As’ad Said Ali, bahwa; pertama, Pancasila hendaknya tidak diperlakukan sebagai ideologi komprehensif. Masih terlalu banyak yang tidak jelas dan membutuhkan elaborasi lebih lanjut. Kedua, sejalan dengan "ideologi terbuka", tidak satu pun boleh melakukan hegemoni atau monopoli tafsir. Pancasila adalah milik semua rakyat Indonesia, bukan milik golongan tertentu. Ketiga, Pancasila semestinya diletakkan sebagai ideologi bangsa dan negara. Domain utama Pancasila ditempatkan dalam ruang publik, sedangkan domain utama ideologi-ideologi lain yang tidak bertentangan dengan Pancasila ditempatkan di ruang privat yang bersifat individual ataupun kelompok. Dengan begitu, kita bukan hanya mengembalikan “citra Pancasila”, tapi juga membuktikan pentingnya Pancasila bagi kehidupan berbangsa dan bernegara saat ini maupun di masa akan datang.
Memahami kembali Pancasila sebagai ideologi dan dasar negera, dan kekuatan yang terkandung di dalamnya, merupakan sebuah energi besar yang bisa mengangkat harkat dan martabat bangsa Indonesia. Karena pancaran Pancasila bisa menjadi penerang bagi seluruh rakyat Indonesia. Inilah yang harus menjadi proyek bersama seluruh komponen bangsa, khususnya di era reformasi ini.
Jika semua ini disadari dan diimplementasikan oleh setiap komponen bangsa, jargon Pancasila sebagai common platform, titik temu, dan kontrak sosial bagi masyarakat Indonesia bukanlah hal yang mustahil. Karena akan melahirkan manusia baru Indonesia yang menyadari keberagaman identitas dan kekayaan budaya sebagai sesuatu yang harus dipelihara dan dirawat tanpa harus membenturkannya satu sama lain. Pancasila adalah benda mati, yang menghidupkannya adalah seluruh warga negara Indonesia sendiri, dengan begitu kompatibilitasnya dapat dirasakan.
opini lampung post 27 mei 2010