SETELAH berbagai pujian diarahkan kepada Partai Demokrat yang berhasil memilih Anas Urbaningrum sebagai ketua umum secara damai, saat ini kekhawatiran dan kecaman ditudingkan kepada partai yang memenangi Pemilihan Umum 2009 itu. Sebab, dalam susunan organisasi partai tersebut terdapat lembaga yang bernama majelis tinggi. Lembaga itu dianggap terlalu kuat (powerful), terlebih lagi yang menjadi ketua majelis tinggi adalah ketua dewan pembina sendiri, yakni Susilo Bambang Yudhoyono (SBY).
Bukankah SBY tetap menjadi pengendali utama Partai Demokrat ketimbang Anas? Secara simbolis, hal itu terlihat ketika Jawa Pos (25/5) menampilkan sebuah foto berukuran besar yang mendeskripsikan Anas dengan penuh ketakziman dan ketundukan mencium tangan SBY. Memang foto itu dapat dimaknai pula sebagai penghormatan seorang anak kepada bapak atau tanda terima kasih seorang murid terhadap guru. Tapi, dalam konteks pembicaraan tentang kehadiran institusi majelis tinggi, foto tersebut dapat ditafsirkan sebagai kepatuhan si ketua umum kepada ketua dewan pembina yang merangkap jabatan sebagai ketua majelis tinggi.
Kewenangan majelis tinggi memang demikian signifikan. Setidaknya, ada empat persoalan yang dikendalikan oleh lembaga tersebut. Salah satunya, majelis itu dapat membatalkan hasil rapat pleno dewan pimpinan pusat (DPP). Selain itu, majelis tersebut menentukan kandidat presiden dan wakil presiden pada 2014, partai politik yang diajak sebagai mitra koalisi, calon gubernur dan calon wakil gubernur, serta calon anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hal itu bermakna majelis tinggi memiliki otoritas yang bersifat sangat absolut. Bahkan, untuk beberapa kemungkinan, lembaga tersebut memiliki hak veto dalam menentukan masa depan partai.
Bukankah eksistensi kewenangan memveto dalam partai yang mengklaim diri sebagai penganut nilai-nilai demokrasi adalah suatu ironi? Itulah yang disebut sebagai akrobat veto kaum demokrat. Akrobat -yang berarti keterampilan sang pesenam dalam meliuk-liukkan tubuh- adalah permainan membahayakan. Ketika veto tidak tepat digunakan sebagai alat politik, yang justru akan terjadi adalah pengkhianatan terhadap demokrasi.
Prinsip demokrasi yang berbasis kalkulasi satu orang satu suara (one person one vote) bisa tergelincir kepada satu orang menguasai semua suara. Kaum demokrat berubah menjadi gerombolan aristokrat (bangsawan), yang suara dan kehendak politiknya ditentukan oleh sang raja.
"Aku Melarang"
Namun, benarkah veto selalu bertentangan dengan prinsip-prinsip demokrasi? Secara harfiah, veto dalam The Merriam-Webster Dictionary (2004) berarti larangan atau melarang. Selain itu, veto dapat dimaknai sebagai pelarangan yang bersifat otoriter. Dengan demikian, veto sengaja diberikan kepada sebuah lembaga yang memiliki posisi tinggi untuk mencegah kehancuran organisasi karena sebuah kebijakan yang akan dikeluarkan. Veto dalam lingkup pemaknaan itu memang bermaksud baik.
Dalam situs Wikipedia, diuraikan veto berasal dari bahasa Latin yang berarti aku melarang. Veto adalah kekuasaan yang dimiliki pejabat negara untuk menghentikan secara sepihak proses legislasi. Veto yang dikenal sebagai intercession dapat ditelusuri di Republik Roma pada abad ke-6 sebelum Masehi. Veto menjadi cara yang memungkinkan rakyat untuk melindungi kepentingan-kepentingan kaum plebs (warga pada umumnya) dari pelanggaran oleh kaum patricians yang mendominasi senat.
Jika ditafsirkan lebih jauh, veto memiliki dua kemungkinan. Pertama, veto mengawetkan praktik-praktik politik untuk mempertahankan status quo (kemapanan). Itulah veto yang bercorak konservatif karena hanya memapankan pihak yang sudah berkuasa untuk mengakumulasikan otoritasnya. Perubahan tidak mungkin terjadi dalam penggunaan veto semacam itu. Kedua, veto justru mampu merombak tatanan yang telah mapan. Itulah karakteristik veto progresif yang selalu berupaya menjebol segala kekolotan dan kebuntuan politik.
Tapi, lazimnya, veto bertujuan mempertahankan kekuasaan yang telah berada dalam kondisi status quo. Pihak yang memiliki hak veto tersebut adalah golongan elite yang memiliki posisi tinggi dan istimewa. Gejala itulah yang menjadikan hak veto sering dikecam dengan keras. Prinsip-prinsip demokrasi dihilangkan karena keputusan dan kehendak rakyat tidak dicerminkan secara sempurna oleh kaum elite tersebut. Veto yang melandaskan diri pada keutamaan demokrasi seharusnya merujuk pada etika utilitarianisme yang berpatokan pada kalkulasi the greatest happiness of the greatest numbers (kebahagiaan terbesar dari jumlah yang terbesar).
Sindrom Platonis
Hanya, agaknya harus diterima secara terbuka, veto yang merujuk pada prinsip demokrasi sangat tipis terealisasi. Veto biasanya dilakukan oleh lembaga politik yang sengaja dirancang untuk menciptakan tatanan hierarkis (tidak sederajat). Dalam organisasi itu terdapat sebuah institusi, entah bernama dewan ataupun majelis, yang memiliki otoritas penuh sekalipun bertentangan dengan kehendak mayoritas. Keinginan umum bisa dibatalkan oleh keputusan minoritas. Sebab, selain memiliki kekuasaan mutlak, kelompok minoritas itu dipandang mempunyai pengetahuan dan kebijaksanaan yang sakral dan lebih bervisi.
Sebuah organisasi politik yang mengklaim memegang nilai-nilai demokrasi, tapi pada saat yang sama menempatkan lembaga tertentu sehingga memiliki veto, sebenarnya memungkiri keberadaan sendiri. Organisasi politik semacam itu pantas disebut sebagai pengidap sindrom platonis.
Filsuf Plato (428-348 SM) pernah menyatakan bahwa demokrasi merupakan tatanan yang penuh dekadensi. Demokrasi yang dikendalikan oleh rakyat sangat mengarah pada kerusakan. Sebab, menurut Plato, figur yang pandir tapi didukung orang kebanyakan bisa menentukan arah pemerintahan. Bagi Plato, tatanan politik yang ideal seharusnya dipimpin perpaduan filsuf dan raja. Filsuf memiliki kebijaksanaan, sedangkan raja mempunyai kekuasaan absolut.
Benarkah majelis tinggi dalam Partai Demokrat adalah teknik untuk mewujudkan keinginan Plato tentang pemimpin yang memiliki karakteristik filsuf sekaligus raja? Entah. Kita sekadar berharap lembaga yang mempunyai otoritas tinggi itu tidak disalahgunakan untuk membunuh arah demokrasi. Terlebih lagi, lembaga tersebut memiliki kewenangan untuk mengeluarkan veto yang amat mutlak.
Hal yang paling mengkhawatirkan, majelis tinggi yang diketuai SBY itu memainkan akrobat veto untuk merealisasikan kepentingan sendiri. Itu berarti bertopeng dengan demokrasi, tapi sesungguhnya bersemangat aristokrasi. (*)
*) Triyono Lukmantoro, dosen FISIP Universitas Diponegoro, Semarang
Opini Jawa Pos 27 Mei 2010
27 Mei 2010
Akrobat Veto Kaum Demokrat
Thank You!