Perhelatan politik internal dalam Kongres II Partai Demokrat (PD) yang digelar di Bandung, awal pekan ini, masih menyisakan rasa takjub. Terutama dalam soal betapa partai politik yang pada awalnya dianggap cepat menjadi gajah tambun yang limbung, seperti Partai Demokrat (PD), ternyata jauh lebih progresif dibanding partai-partai politik lain. Bahkan, parpol yang pada masa gejolak politik dulu sempat menjadi lokomotif demokrasi. Buktinya, kader-kader PD dengan yakin telah memilih seorang anak muda, Anas Urbaningrum, sebagai ketua umum untuk memimpin partai mereka.
Fakta terpilihnya Anas ini seharusnya, dan dalam banyak hal, akan membawa dampak signifikan terhadap kondisi politik. Tidak hanya untuk PD, tetapi bagi atmosfer politik Indonesia secara keseluruhan. Pertama, terpilihnya Anas akan memaksa partai-partai politik lain menyilakan kader-kader mereka tampil ke muka. Bila tidak, mereka harus menerima dengan lapang dada tudingan sebagai konservatif.
Ditunjuk hidung betapa dalam partai mereka patronase politik, di mana elite-elite yang sebenarnya telah menua dan kurang trengginas dalam berpikir maupun bertindak, tetap dibiarkan memegang amanah dan kuasa. Sementara itu, kalangan muda yang lazimnya berpikir lateral, progresif, dan cepat tanggap, belum juga mendapatkan tempat.
Kedua, kemenangan Anas pun membuktikan bahwa kemandirian merupakan modal terutama seorang politikus. Kita telah sama-sama tahu, Anas datang sejak lama ke dalam kancah politik atas nama dan sebagai dirinya sendiri. Tak pernah kita dengar ada nama besar membayang di belakang. Ibarat kalimat bernas Ali bin bi Thalib, "Laisal fata man ya kulu kana abi'', Anas memang tak pernah membawa-bawa nama 'bapak' siapa pun untuk dijual demi langkah politiknya.
Dengan modal kharisma, rasa percaya diri, dan kemampuan bernegosiasi dalam politik itulah, Anas berani datang sebagai kandidat. Ia tak jeri berhadapan dengan pesaingnya yang flamboyan dan diberitakan dengan dominan, Andi Alifian Mallarangeng. Ia tak takut akan rumor soal titah dan restu.
Bahkan, setelah Ibas, putra Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, terang-terangan menyatakan keberpihakan kepada salah satu calon yang bukan dirinya, Anas tak menjadi jengah. Kini terbukti sudah, segala iklan jor-joran, semua dukungan terbuka dan dikumandangkan besar-besaran itu telah dikandaskan seorang anak muda.
Tak pelak, dengan terpilih, Anas ibarat seorang pembobol bendungan tempat kiprah para politisi muda tergenang tanpa karya nyata. Tergenang begitu saja, nyaris sia-sia karena tak pernah dilibatkan dalam aktivitas partai mereka. Mau tak mau, Anas bisa menjadi inspirasi bagi partai-partai politik lain dalam proses regenerasi kepemimpinan yang ada. Tampilnya Anas merupakan bukti bahwa kaum muda dan kader aktivis dapat menemukan jalan sendiri untuk tampil. Tua itu hanya soal usia, karena kompetensi sesungguhnya tidaklah diukur oleh berapa lama seseorang telah hidup di dunia. Lihat saja Anas. Dia muda dalam usia tetapi memiliki kompetensi politik mumpuni. Benar bahwa dia bukan figur muda pertama yang memimpin partai politik. Tetapi, Anas adalah yang termuda yang memimpin sebuah partai politik besar di Indonesia.
Harapan bahwa Anas akan menyebar kondisi signifikan bagi terbangunnya iklim regenerasi dalam partai-partai politik itu pun tak lain karena luasnya daya jelajah dan lingkup pertemanannya. Dari generasinya, Anas yang sempat memimpin PB HMI jelas terbilang dekat dengan semua kalangan, terutama para aktivis muda seangkatan yang sempat berkiprah di kelompok Cipayung, baik itu HMI , PMII , PMKRI , GMKI, serta organisasi kepemudaan-mahasiswa lainnya. Saat ini, kita tahu, banyak di antara kalangan itu berkiprah di parpol dan berbagai organisasi masyarakat lainnya. Sosok Anas yang akrab dengan mereka akan mempercepat katup-katup tertutup yang selama ini menahan ledakan daya cipta orang muda.
Bukan hanya pengusaha
Sejalan dengan 'demokratisasi' ala Indonesia pascatumbangnya Orde Baru, kekuatan uang begitu mengemuka dalam praktik politik. Karena partai masih tetap dominan sebagai penentu majunya seseorang menjadi kandidat pimpinan daerah ataupun pusat, yang kemudian mencolok terjadi adalah praktik 'jual beli' tiket partai kepada kandidat. Dengan kata lain, hanya kandidat-termasuk kandidat ketua umum parpol itu, dengan lumbung dana melimpahlah yang akan dijemput para bandar politik-biasanya pengurus partai, untuk memasuki kancah kontes politik. Tentu saja, biayanya mahal.
Liberalisasi seperti itu kemudian mengubah konfigurasi elite pada skala nasional. Politisi dengan latar belakang pengusaha kini memenuhi struktur kepengurusan partai. Di Partai Golkar, baru saja tokoh pengusaha dari Indonesia Timur, Jusuf Kalla, lengser setelah sebelumnya memegang posisi. Pada kursi ketua Dewan Pembina, seangkatan dengan Kalla ada Surya Paloh, pengusaha juga. Tetapi ingat, pengganti Kalla pun pengusaha, Aburizal Bakrie.
Meski kini berada di tangan Hatta Radjasa, pimpinan Partai Amanat Nasional sempat dijabat Soetrisno Bachir, seorang pengusaha yang sebelumnya relatif kurang dikenal publik. Sekjennya pun saat itu saudagar juga, Zulkifli Hasan, pengusaha sukses asal Lampung. Di PDIP, kita tahu ada nama Pramono Anung, yang berlatar belakang pengusaha pertambangan.
Pada kondisi seperti itu, kemenangan Anas tentu saja fenomenal. Seolah oase, keterpilihannya sebagai ketua umum PD akan menyiram harapan para politisi muda yang tidak berlatar belakang pengusaha. Di jajaran ini kita melihat banyak sekali penggiat partai yang cerdas, yang seharusnya segera menempati posisi penting demi optimalnya bakti mereka kepada Ibu Pertiwi.
Opini Republika 27 Mei 2010