Oleh Uu Rukmana
PERISTIWA Bubat menyisakan kenangan memilukan dan dianggap sebagai mimpi buruk orang Sunda. Tentang hal ini agaknya kita semua sepakat bahwa sekitar tujuh abad yang lampau, telah terjadi kisah tragis. Prabu Linggabuana dan putrinya Citraresmi beserta para pengiringnya gugur di suatu tempat bernama Bubat, sebagai konsekuensi dari upaya mempertahankan martabat dan harga diri. Sang Prabu yang jauh-jauh berangkat dari Kawali tidak menerima perlakuan Majapahit, yang memosisikan dirinya sebagai raja bawahan, sehingga keberangkatan Putri Citraresmi sebagai calon pengantin dianggap upeti belaka.
Meski tragedi Bubat dapat kita anggap sebagai peristiwa besar, tetapi sayang sekali sumber sejarah yang kita temukan tidak banyak. Naskah ”Sanghiyang Siksa Kandang Karesyan” (ditulis pada 1518 M), hanya menyajikan informasi beberapa baris tentang peristiwa memilukan tersebut. Keterangan yang boleh dibilang lengkap, meski masih perlu dikaji ulang kesahihannya, dapat disimak pada ”Kidung Sunda”, ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Selebihnya, dan itulah yang berkembang pada masyarakat adalah cerita lisan secara turun-temurun.
Tulisan Agus Sunyoto, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Malang (”PR”, 30/3) telah menambah informasi baru bahwa peristiwa Bubat hidup di lingkungan masyarakat Jawa, bahkan variannya jauh lebih berkembang ketimbang yang terdapat di masyarakat Sunda. Agus menjelaskan, para raja Jawa yang berkuasa pasca-Prabu Hayam Wuruk ada yang secara geneologis masih keturunan Sunda. Tidak semua pengiring Prabu Linggabuana gugur di Bubat, melainkan ada yang masih hidup, lalu melahirkan keturunan hasil kawin silang dengan penguasa Jawa.
Sah-sah saja kalau kemudian berkembang cerita semacam itu, yang di satu pihak dapat diartikan sebagai upaya "pencucian dosa" bahwa tidak semua orang Sunda yang berada di Bubat terbunuh, bahkan kemudian diposisikan secara cukup terhormat. ”Kidung Sunda” mengabarkan, Prabu Hayam Wuruk amat menyesali peristiwa tragis di Bubat sampai terjadi.
Bahwa kemudian berkembang cerita lisan sebagai upaya "pencucian dosa" Gajah Mada, itu pun sah-sah saja. Sebagai cerita lisan, peristiwa Bubat memang banyak memberikan peluang kepada siapa pun untuk melakukan rekonstruksi dan reinterpretasi. Namun, tentu saja kesimpulan penilaian akhir diserahkan kepada masyarakat, berdasarkan sudut pandang dan referensi yang dimiliki. Tidak perlu dipaksakan untuk mengubah persepsi yang selama ini membatin pada diri orang Sunda, apalagi dengan melahirkan cerita artifisial, atau berdampak kurang baik terhadap kehidupan kita saat ini. Oleh karena itu, saya tidak setuju terhadap pembuatan film Perang Bubat yang pernah mengemuka di Jawa Barat, apalagi kalau sampai dibiayai pemerintah. Biarlah peristiwa Bubat tersebut hidup pada batin orang Sunda, sebagaimana apa adanya.
Bahwa peristiwa Bubat pernah terjadi, itu memang betul. Bahwa terjadinya karena dilatarbelakangi pengkhianatan, itu juga memang ya. Bahwa keturunan Prabu Linggabuana, di antaranya Prabu Wastukancana dan Prabu Sri Baduga yang pernah menjadi raja besar di Sunda, tidak pernah balas dendam, itu pun sejarah membuktikannya. Para raja Sunda pasca-Prabu Linggabuana yang menjapat julukan Sang Mokteng Ring Bubat lebih memilih upaya menyejahterakan warganya, ketimbang mengurusi balas dendam. Wastukancana berhasil memakmurkan Sunda sebagai negera agraris, kemudian berlanjut hingga cucunya Sri Baduga, yang berhasil memosisikan Sunda sebagai negara berjaya di bidang perdagangan dengan pihak asing, bermodalkan pelabuhan Sunda Kalapa.
Dari cerita yang hidup pada batin orang Sunda, demikian pula tuturan pada ”Kidung Sunda” besar kemungkinan masa penulisannya tidak jauh dari berlangsungnya kejadian, kiranya dapat disimpulkan, peristiwa Bubat terjadi karena dua kepentingan yang jauh berbeda di lingkungan Kerajaan Majapahit sendiri. Prabu Hayam Wuruk bertitik tolak dari cinta untuk mempersunting Putri Citraresmi (atau sering juga disebut Dyah Pitaloka), sehingga bersedia menjalin hubungan keluarga dengan Sunda. Di lain pihak, Patih Gajah Mada justru punya kepentingan politik untuk menguasai seluruh kerajaan di nusantara, sebagaimana sumpah Palapa yang menjadi anutannya. Sebagai konsekuensinya, dalam sudut pandang Gajah Mada, Sunda harus diposisikan sebagai negara taklukan dan sama sekali tidak perlu menjalin hubungan keluarga.
Pamor Majapahit sendiri menjadi pudar, karena terjadi Perang Paregreg sebagai akibat perseteruan di lingkungan keluarga kerajaan. Dari cerita lisan yang pernah terungkap, kehancuran Majapahit pasca-Hayam Wuruk terkait pula dengan sumpah Prabu Linggabuana yang diucapkan sebelum gugur di tegal Bubat. Sebaliknya, pamor Sunda menjadi naik hingga awal abad ke-16. Kalaulah kemudian Sunda pasca-Sri Baduga kembali menurun, itu terjadi karena ada faktor lain berupa kepentingan pihak tertentu untuk menguasai Bandar Sunda Kalapa sebagai sumber devisa negara. Selain itu, karena faktor perubahan sosial.
Yang jelas, setelah peristiwa Bubat, Sunda tetap sebagai negara merdeka, tidak pernah jadi bawahan Majapahit. Kalaulah pasukan di bawah komando Gajah Mada tidak melakukan penyerbuan, sangat mungkin karena lokasi kerajaan Sunda di pegunungan, sehingga untuk mencapainya harus ditunjang dengan kuatnya logistik. Kenyataannya, kerajaan yang diserbu pasukan Majapahit hanya yang berlokasi di pantai.
Kalaulah pascabubat yang sebetulnya Hayam Wuruk masih berkuasa hingga tiga puluh tahun kemudian Sunda tidak diserbu Majapahit, hal itu mungkin untuk menebus kesalahan besar dan sebagai perwujudan rasa penyesalan Hayam Wuruk. Atau sangat mungkin pula karena patih si pencetus sumpah Palapa sudah terpidana mati!***
Penulis, Ketua Dewan Kurator Yayasan Pusat Kebudayaan Jawa Barat.
PERISTIWA Bubat menyisakan kenangan memilukan dan dianggap sebagai mimpi buruk orang Sunda. Tentang hal ini agaknya kita semua sepakat bahwa sekitar tujuh abad yang lampau, telah terjadi kisah tragis. Prabu Linggabuana dan putrinya Citraresmi beserta para pengiringnya gugur di suatu tempat bernama Bubat, sebagai konsekuensi dari upaya mempertahankan martabat dan harga diri. Sang Prabu yang jauh-jauh berangkat dari Kawali tidak menerima perlakuan Majapahit, yang memosisikan dirinya sebagai raja bawahan, sehingga keberangkatan Putri Citraresmi sebagai calon pengantin dianggap upeti belaka.
Meski tragedi Bubat dapat kita anggap sebagai peristiwa besar, tetapi sayang sekali sumber sejarah yang kita temukan tidak banyak. Naskah ”Sanghiyang Siksa Kandang Karesyan” (ditulis pada 1518 M), hanya menyajikan informasi beberapa baris tentang peristiwa memilukan tersebut. Keterangan yang boleh dibilang lengkap, meski masih perlu dikaji ulang kesahihannya, dapat disimak pada ”Kidung Sunda”, ditulis dalam bahasa Jawa Kuno. Selebihnya, dan itulah yang berkembang pada masyarakat adalah cerita lisan secara turun-temurun.
Tulisan Agus Sunyoto, pengajar di Fakultas Ilmu Budaya Universitas Brawijaya, Malang (”PR”, 30/3) telah menambah informasi baru bahwa peristiwa Bubat hidup di lingkungan masyarakat Jawa, bahkan variannya jauh lebih berkembang ketimbang yang terdapat di masyarakat Sunda. Agus menjelaskan, para raja Jawa yang berkuasa pasca-Prabu Hayam Wuruk ada yang secara geneologis masih keturunan Sunda. Tidak semua pengiring Prabu Linggabuana gugur di Bubat, melainkan ada yang masih hidup, lalu melahirkan keturunan hasil kawin silang dengan penguasa Jawa.
Sah-sah saja kalau kemudian berkembang cerita semacam itu, yang di satu pihak dapat diartikan sebagai upaya "pencucian dosa" bahwa tidak semua orang Sunda yang berada di Bubat terbunuh, bahkan kemudian diposisikan secara cukup terhormat. ”Kidung Sunda” mengabarkan, Prabu Hayam Wuruk amat menyesali peristiwa tragis di Bubat sampai terjadi.
Bahwa kemudian berkembang cerita lisan sebagai upaya "pencucian dosa" Gajah Mada, itu pun sah-sah saja. Sebagai cerita lisan, peristiwa Bubat memang banyak memberikan peluang kepada siapa pun untuk melakukan rekonstruksi dan reinterpretasi. Namun, tentu saja kesimpulan penilaian akhir diserahkan kepada masyarakat, berdasarkan sudut pandang dan referensi yang dimiliki. Tidak perlu dipaksakan untuk mengubah persepsi yang selama ini membatin pada diri orang Sunda, apalagi dengan melahirkan cerita artifisial, atau berdampak kurang baik terhadap kehidupan kita saat ini. Oleh karena itu, saya tidak setuju terhadap pembuatan film Perang Bubat yang pernah mengemuka di Jawa Barat, apalagi kalau sampai dibiayai pemerintah. Biarlah peristiwa Bubat tersebut hidup pada batin orang Sunda, sebagaimana apa adanya.
Bahwa peristiwa Bubat pernah terjadi, itu memang betul. Bahwa terjadinya karena dilatarbelakangi pengkhianatan, itu juga memang ya. Bahwa keturunan Prabu Linggabuana, di antaranya Prabu Wastukancana dan Prabu Sri Baduga yang pernah menjadi raja besar di Sunda, tidak pernah balas dendam, itu pun sejarah membuktikannya. Para raja Sunda pasca-Prabu Linggabuana yang menjapat julukan Sang Mokteng Ring Bubat lebih memilih upaya menyejahterakan warganya, ketimbang mengurusi balas dendam. Wastukancana berhasil memakmurkan Sunda sebagai negera agraris, kemudian berlanjut hingga cucunya Sri Baduga, yang berhasil memosisikan Sunda sebagai negara berjaya di bidang perdagangan dengan pihak asing, bermodalkan pelabuhan Sunda Kalapa.
Dari cerita yang hidup pada batin orang Sunda, demikian pula tuturan pada ”Kidung Sunda” besar kemungkinan masa penulisannya tidak jauh dari berlangsungnya kejadian, kiranya dapat disimpulkan, peristiwa Bubat terjadi karena dua kepentingan yang jauh berbeda di lingkungan Kerajaan Majapahit sendiri. Prabu Hayam Wuruk bertitik tolak dari cinta untuk mempersunting Putri Citraresmi (atau sering juga disebut Dyah Pitaloka), sehingga bersedia menjalin hubungan keluarga dengan Sunda. Di lain pihak, Patih Gajah Mada justru punya kepentingan politik untuk menguasai seluruh kerajaan di nusantara, sebagaimana sumpah Palapa yang menjadi anutannya. Sebagai konsekuensinya, dalam sudut pandang Gajah Mada, Sunda harus diposisikan sebagai negara taklukan dan sama sekali tidak perlu menjalin hubungan keluarga.
Pamor Majapahit sendiri menjadi pudar, karena terjadi Perang Paregreg sebagai akibat perseteruan di lingkungan keluarga kerajaan. Dari cerita lisan yang pernah terungkap, kehancuran Majapahit pasca-Hayam Wuruk terkait pula dengan sumpah Prabu Linggabuana yang diucapkan sebelum gugur di tegal Bubat. Sebaliknya, pamor Sunda menjadi naik hingga awal abad ke-16. Kalaulah kemudian Sunda pasca-Sri Baduga kembali menurun, itu terjadi karena ada faktor lain berupa kepentingan pihak tertentu untuk menguasai Bandar Sunda Kalapa sebagai sumber devisa negara. Selain itu, karena faktor perubahan sosial.
Yang jelas, setelah peristiwa Bubat, Sunda tetap sebagai negara merdeka, tidak pernah jadi bawahan Majapahit. Kalaulah pasukan di bawah komando Gajah Mada tidak melakukan penyerbuan, sangat mungkin karena lokasi kerajaan Sunda di pegunungan, sehingga untuk mencapainya harus ditunjang dengan kuatnya logistik. Kenyataannya, kerajaan yang diserbu pasukan Majapahit hanya yang berlokasi di pantai.
Kalaulah pascabubat yang sebetulnya Hayam Wuruk masih berkuasa hingga tiga puluh tahun kemudian Sunda tidak diserbu Majapahit, hal itu mungkin untuk menebus kesalahan besar dan sebagai perwujudan rasa penyesalan Hayam Wuruk. Atau sangat mungkin pula karena patih si pencetus sumpah Palapa sudah terpidana mati!***
Penulis, Ketua Dewan Kurator Yayasan Pusat Kebudayaan Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat 05 April 2010