04 April 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Nasib PT BHMN

Nasib PT BHMN

Oleh CECEP DARMAWAN

Mahkamah Konstitusi (MK) akhirnya membatalkan seluruh pasal dalam Undang-Undang (UU) No. 9/2009 tentang Badan Hukum Pendidikan (BHP). MK menyatakan, UU No. 9 tahun 2009 tentang BHP Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2009 No. 10, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia No. 4965, bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. MK pun membatalkan Pasal 53 ayat (1) UU No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, yang berbunyi "Penyelenggara dan/atau satuan pendidikan formal yang didirikan oleh pemerintah atau masyarakat berbentuk badan hukum pendidikan." Dengan demikian, pupus sudah harapan pemerintah untuk menerapkan BHP pada seluruh tingkatan pendidikan.

Dalam putusan setebal 403 halaman, MK memberikan lima alasan. Pertama, UU BHP mempunyai banyak kelemahan, baik secara yuridis, kejelasan maksud, dan keselarasan dengan UU lain. Kedua, UU BHP mempunyai asumsi penyelenggara pendidikan di Indonesia mempunyai kemampuan sama. Akan tetapi, realitasnya kesamaan perguruan tinggi negeri (PTN) tak berarti semua PTN mempunyai kemampuan sama. Ketiga, pemberian otonomi kepada PTN akan berakibat beragam. Lebih banyak PTN yang tidak mampu menghimpun dana karena terbatasnya pasar usaha di setiap daerah. Hal ini akan menyebabkan terganggunya penyelenggaraan pendidikan. Keempat, UU BHP tidak menjamin tercapainya tujuan pendidikan nasional dan menimbulkan kepastian hukum. UU BHP bertentangan dengan Pasal 28D ayat 1, dan Pasal 31 UUD 1945. Terakhir, prinsip nirlaba tak hanya bisa diterapkan dalam BHP tetapi juga dalam bentuk badan hukum lainnya.



Persoalannya, bagaimana nasib perguruan tinggi yang sudah menyandang predikat Badan Hukum Milik Negara (BHMN) yang notabene disandang tujuh perguruan tinggi yakni, Universitas Indonesia (UI) , Universitas Gadjah Mada (UGM), Institut Teknologi Bandung (ITB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas Sumatra Utara (USU), Universitas Pendidikan Indonesia (UPI), dan Universitas Airlangga (Unair) Surabaya.  Mendiknas menyatakan, salah satu rujukan BHMN memakai beberapa pasal termasuk Pasal 6, Pasal 12, dan Pasal 53 dalam UU Sisdiknas. Oleh karena itu, peraturan-peraturannya akan ditinjau ulang, seraya pemerintah akan mempelajari keseluruhan amar putusan MK.

Dalam perjalanannya, kehadiran PT BHMN tidak terlepas dari pro dan kontra berbagai kalangan. Mulai mahasiswa, dosen, maupun masyarakat luas, acap melakukan kritik tajam terhadap pelaksanaan BHMN. Utamanya menyangkut penerimaan mahasiswa melalui jalur khusus yang mengeruk dana sampai ratusan juta rupiah. Selain itu, aset-aset PT BHMN dikomersialisasikan untuk menutup kebutuhannya.

Awalnya, kelahiran BHMN sering dituding sebagai upaya privatisasi pendidikan atau neoliberalisasi pendidikan. Itu sebabnya mengapa tokoh pendidikan seperti HAR Tilaar, menyebut BHMN telah mengubah orientasi PTN menjadi perusahaan pencari duit. Kampus melahirkan generasi yang instan dari kelompok masyarakat ”borju” alias berduit tebal. Bahkan pernah terjadi ”perselisihan” para rektor PT BHMN dengan Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati tentang pelanggaran tiga UU dari sejumlah PTN yang berstatus BHMN, yang tidak menyetor  penerimaan negara bukan pajak (PNBP) ke kas negara. Sementara pimpinan PT BHMN berpandangan, PP yang mengatur BHMN membolehkan PT BHMN tidak menyetor pendapatannya ke kas negara. Sebab, pendapatan dari masyarakat yang diperoleh PT BHMN itu, tidak termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP).

Barangkali yang positif dari BHMN adalah prinsip yang luas tentang otonomi perguruan tinggi. PT BHMN bisa membuka dan menutup program studi secara mandiri melalui persetujuan senat akademiknya, tanpa harus menunggu persetujuan Mendiknas.

Ke depan, PT harus mandiri dan otonomi. Meski tidak boleh ditafsirkan menjadi automoney. Tugas mencari modal dan investasi pendidikan tetap di tangan pemerintah dan jangan dibebankan kepada pengelola perguruan tinggi. Masyarakat kampus cukup mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi dan memberi kemaslahatan bagi masyarakat yang lebih banyak. Dari hasil riset dan pemikiran yang diaplikasikan di dunia industri dan masyarakat itulah, negara memperoleh keuntungan dari modal yang sudah ditanam di PT.

Di samping itu, diperlukan payung hukum, baik untuk kelembagaan BHMN maupun keuangan yang selama  ini dikelola secara mandiri. Begitu juga persoalan pendanaan, apakah BHMN akan berubah seperti badan layanan umum yang bisa mengelola keuangannya secara mandiri? Perlu pengkajian mendalam. Termasuk juga bagaimana nasib dosen/karyawan yang diangkat sebagai pegawai PT BHMN (non-PNS).

Menyangkut jalur-jalur penerimaan mahasiswa dengan biaya yang mahal, harus segara dihapuskan. Perguruan tinggi apa pun bentuknya tidak boleh diskriminatif. Bukankah Pembukaan UUD 1945 telah mengamanatkan, salah satu tugas pokok negara melalui pemerintah yang berkuasa adalah mencerdaskan kehidupan bangsanya? Saatnya kita butuh kebijakan pimpinan bangsa dan pimpinan perguruan tinggi yang prorakyat kecil.***

Penulis, dosen Pascasarjana dan Sekretaris Komisi D Senat Akademik Universitas Pendidikan Indonesia, dosen nonorganik Sesko TNI.
Opini Pikiran Rakyat 05 Maret 2010