Seorang guru muda, Muthmainnah namanya, membuka pelajaran hari itu di hadapan muridnya dengan sebuah cerita. Dia berkisah tentang seorang pemotong kayu yang bekerja pada seorang bos besar. Hari pertama bekerja, sang pemotong kayu mampu membelah 10 pohon dalam bentuk yang dikehendaki bosnya. Memasuki minggu kedua, sang pemotong kayu hanya mampu membelah tujuh batang pohon, demikian seterusnya hingga minggu ketiga dan keempat, hasil potongannya terus menurun hingga empat batang pohon.
Sambil berkeluh kesah, sang pemotong kayu ini datang kepada bosnya, melaporkan bahwa kemampuan dirinya dalam membelah kayu menurun jauh. Dia khawatir sang bos akan marah besar dan memberhentikannya. Namun, di luar dugaannya sang bos malah bertanya, "Kapan terakhir kau asah kapakmu?" tanya si bos. Si pemotong pun menjawab, belum pernah sekalipun dia mengasah kapaknya semenjak diterima bekerja. Di akhir cerita, guru muda Muthmainnah bertanya kepada seluruh siswanya tentang pesan moral cerita tersebut dan menyimpulkan bahwa kapak itu adalah alat yang seperti otak di dalam tubuh kita. Jika otak tidak diasah dan dikembangkan kemampuannya, pastilah tidak akan maksimal hasilnya.
Guru muda Muthmainnah mengajar fisika. Namun, setiap hari dia selalu membuka pelajaran di kelasnya dengan bercerita, baik berdasarkan fakta atau fiksi, dari sejawat ataupun buku selain fisika yang dibacanya. Bahkan sering kali dia juga menggunakan tema atau pokok bahasan tertentu dari bidang studi sejarah, ekonomi, geografi, PPKN hingga agama sebagai bagian dari struktur lesson design yang dia sajikan hari itu kepada para siswanya. Walhasil, selain cerdas dan kreatif, Muthmainnah adalah tipologi guru yang memiliki banyak inisiatif pengajaran kepada rekannya sesama guru untuk saling berbagi, baik secara terpisah atau bersama-sama, dalam skema team teaching maupun sharing biasa. Sebuah tradisi yang menurut pemahamannya sangat baik untuk dikembangkan.
Di awal ketika dia mengajarkan fisika tanpa mengaitkan dengan bidang studi lainnya, hanya siswa yang benar-benar berminat yang mampu memahami dan mengerti isinya. Namun, setelah dia menggunakan pendekatan lintas kurikulum (cross curriculer approach), kemampuan siswa di kelasnya dalam memahami konsep-konsep fisika terlihat lebih merata. Pengalaman itulah yang ingin terus dibagi dan dikembangkan bersama guru lain di sekolah tempatnya mengajar. Muthmainnah terus ingin membuktikan bahwa mengajar satu bidang studi bukan berarti tak harus tahu bidang studi lainnya. Kesadaran untuk memahami prinsip ketergantungan antara satu bidang studi dan lainnya, dengan demikian, menjadi penting untuk ditubuhkan ke dalam budaya sekolah.
Hasil riset menarik ditunjukkan Centre for the Use of Research and Evidence in Education (CUREE) di Inggris, terutama tentang dampak pengembangan strategi lintas kurikulum di sekolah, yaitu: (1) proses belajar menjadi lebih efektif karena selalu menggunakan pendekatan context based; (2) materi dan pokok bahasan selalu dihubungkan dengan pengalaman keseharian siswa, termasuk di antaranya keterkaitan hubungan antara siswa-guru-orang tua yang mungkin selama ini tidak pernah/jarang dilakukan guru; dan (3) siswa menjadi lebih termotivasi dan mampu menjadi mediator untuk mengidentifikasi kebutuhan siswa berdasarkan pemahamannya terhadap sebuah konsep.
Strategi itu juga tidak terlalu tergantung dengan ruang dan waktu, karena pembelajaran dapat dilakukan dengan begitu banyak model instructional strategies yang lebih sesuai dengan kebutuhan pemahaman siswa. Seperti halnya Muthmainnah, pendekatan lintas kurikuler terbukti dapat meningkatkan kapasitasnya karena dia selalu berusaha untuk menemukan topik baru yang sesuai dengan bidang studi tetapi berkaitan langsung dengan kebutuhan siswa. Hal itu menyebabkan inovasi pengembangan kurikulum menjadi lebih terbuka dan kreatif, terutama untuk mengembangkan pendekatan context-based dalam pembelajaran.
Indikator-indikator itu menunjukkan bahwa pendekatan cross-curricular sangat efektif jika menggunakan model pembelajaran berbasis konteks kekinian (context-based). Menurut Bruner (1996), pendekatan pengembangan kurikulum model ini disebutnya sebagai folk pedagogy, dengan perencanaan dan pengembangan bahan ajar dari sebuah kurikulum dikonstruksi berdasarkan kondisi aktual yang dialami atau ingin dialami siswa. Prinsip itulah yang seharusnya dikembangkan setiap sekolah sehingga independensi sebuah bidang studi tidak cukup punya ruang untuk berkembang sendiri tanpa ketergantungan dengan bidang studi lainnya. Bukankah di kehidupan sebenarnya kita adalah makhluk sosial?
Ahmad Baedowi
Opini Media Indonesia 05 april 2010