06 April 2010

» Home » Media Indonesia » Sampai Kapan Kita Harus Menggantung Pembangunan PLTN?

Sampai Kapan Kita Harus Menggantung Pembangunan PLTN?

Hingar-bingar pro-kontra pembangunan pembangkit listrik tenaga nuklir (PLTN) di Indonesia telah berusia lebih dari 30 tahun. Pada awal Februari yang lalu, diskusi yang menyoal perlunya PLTN kembali dimunculkan oleh mantan Presiden RI Prof BJ Habibie. Dalam uraian dan gayanya yang khas, Habibie memberikan keyakinan bahwa pembangunan PLTN sangat penting dilakukan di sini sebagai salah satu opsi menangani krisis listrik nasional kini dan mendatang.

Demikian pula, dengan cara yang berbeda mantan Menegristek Kusmayanto Kadiman melalui beberapa tulisan di salah satu situs media juga memberikan dukungan yang sama. Dalam salah satu tulisannya, Kusmayanto mengutip lagu Elvis Presley untuk menyatakan PLTN, "It's Now or Never, Tomorrow will be too late". Demikian pula dengan tulisan terbaru di situs yang sama dengan judul 'PLTN-Mengapa Mereka Menolaknya'. Sang mantan Menristek tersebut memberikan catatan penting salah satunya bahwa, "Berdasar kebutuhan Jawa akan listrik dan juga ketersediaan lahan dan pendukung lainnya, kawasan tersebut (kabupaten Jepara, Jateng) potensial dibangun PLTN dengan kapasitas 4x1250MWe. Apalagi UU No 17 Tahun 2007 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional telah menyatakan bahwa Indonesia sudah harus mengoperasikan PLTN di tahun 2016. Begitu juga dengan Perpres No 5/2006 tentang kebijakan energi nasional (KEN) yang mengatakan bahwa di tahun 2025 bauran energi harus minimal 5% dari sumber energi baru dan terbarukan termasuk nuklir



Rencana tersebut sayangnya belum dapat diwujudkan sampai saat ini. Salah satu masalah utamanya karena masih ada kelompok masyarakat yang berpandangan kontra terhadap rencana pembangunan PLTN tersebut. Menariknya, kelompok yang berpandangan kontra-PLTN tersebut bahkan diberikan kemudahan akses oleh beberapa media untuk terus menyuarakan ketidaksetujuannya terhadap rencana pembangunan PLTN. Sebaliknya, kelompok masyarakat yang berpandangan pro terhadap PLTN nyaris tidak pernah diberikan akses mudah di media yang dimaksud, jika tidak hendak dikatakan ditolak sama sekali.

Argumentasi kontra

Umumnya argumentasi yang digunakan kelompok kontra-PLTN adalah sebagai berikut. Pertama, pembangunan PLTN berisiko terlalu tinggi mengingat Nusantara itu identik dengan the ring of fire. Kedua, pembangunan PLTN tidak ada urgensinya karena masih banyak sumber energi alternatif lain. Ketiga, Indonesia memiliki sumber daya manusia (SDM) yang lemah sehingga timbul kekhawatiran akan disiplin dalam operasi dan pemeliharaan terhadap PLTN jika sekiranya dibangun di sini.

Bahkan yang lebih provokatif lagi, kelompok yang berpandangan kontra-PLTN ini juga mengungkapkan bahwa hasil Konferensi PBB tentang perubahan iklim yang berlangsung di Copenhagen pada Desember 2009 tidak menetapkan nuklir sebagai energi alternatif untuk mengurangi emisi CO2. Lebih menyesatkan lagi, pandangan yang menyatakan bahwa kelompok yang berpandangan pro-PLTN di Indonesia disamakan dengan layaknya keinginan Iran untuk membangun reaktor nuklirnya.

Harus diakui pandangan kontra-PLTN di atas tersebut wajar-wajar saja sebagai bukti kebebasan berpendapat. Namun, persoalan pokoknya apakah kita akan terus berpolemik tentang masalah pro-kontra ini, sedangkan negara-negara lain terus meningkatkan penggunaan PLTN dalam menangani kebutuhan listrik rakyatnya? Demikian pula, apakah kita sudah meyakini bahwa optimalisasi penggunaan sumber-sumber energi alternatif yang lain di luar nuklir merupakan jawaban yang paling tepat dalam menyikapi krisis listrik nasional kini dan mendatang di satu pihak dan sebagai cara kita untuk memenuhi komitmen pengurangan emisi CO2 di lain pihak? Lantas, bagaimana pula dengan komitmen yang telah dinyatakan dalam UU No 17/2007 dan Perpres No 5/2006? Sampai kapan pula kita harus menggantung pembangunan PLTN di negeri ini yang telah direncanakan lebih dari 30 tahun yang lalu tersebut?

Tidak seperti membalik telapak tangan

Benar memang membangun PLTN bukan merupakan sebuah pekerjaan layaknya membalik telapak tangan. Pembangunan PLTN memerlukan derajat ketelitian, ketepatan dan kehati-hatian yang tinggi sehingga tidak saja harus memenuhi berbagai persyaratan teknis, tetapi juga wajib memenuhi persyaratan nonteknis untuk memenuhi 3 S (safety, safeguard, dan secure) yang ditetapkan oleh IAEA (International Atomic Energy Agency). Menurut IAEA, proses pembangunan PLTN paling tidak harus memenuhi 10 langkah mulai dari feasibility study on necessity of NPP sampai dengan commercial operation (lihat IAEA Nuclear Energy Series No NG-G -3.1, 2007). Akibat proses yang panjang, teliti, dan hati-hati tersebut, untuk membangun satu unit PLTN dengan kapasitas 1.000 Mwe, misalnya, diperlukan paling tidak waktu 6-10 tahun lamanya.

Selain proses yang panjang dan waktu yang lama, pembangunan PLTN sangat ramah lingkungan karena tidak menghasilkan polusi CO2 yang membahayakan atmosfer sehingga jauh lebih baik terutama jika dibandingkan dengan batu bara dan minyak bumi. Ini berarti bahwa pembangunan PLTN sekaligus mendukung komitmen nasional untuk mengurangi terjadinya pemanasan global yang ditetapkan sebesar 26% pada 2020 (business as usual-BAU). Sekaligus pula mengangkat keharuman bangsa dan negara ini di mata dunia yang sampai saat ini dikelompokkan sebagai negara pengotor lingkungan ke tiga di dunia setelah Amerika dan China. Belum lagi bicara soal keinginan untuk melakukan diversifikasi energi dan peningkatan kemampuan teknologi nuklir nasional.

Namun, memang harus diakui bahwa pembangunan PLTN memerlukan biaya tinggi sehingga berpotensi menguras dana pembangunan. Diperkirakan, dana yang diperlukan untuk membangun satu unit reaktor PLTN dengan kapasitas listrik 1.000 Mwe yakni sebesar Rp10 triliun-Rp15 triliun. Tingginya biaya tersebut terutama pada komponen biaya awal (capital costs) pembangunannya termasuk di dalamnya adalah biaya commissioning, decommissioning, dan manajemen limbah. Biaya pembangunan PLTN yang mahal tersebut juga sekaligus menjadi ukuran kualitas teknologi untuk memenuhi standar baku 3 S (safety, secure, dan safeguards). Oleh karena itu, agar biaya yang tinggi dalam pembangunan PLTN dapat dikompensasi dengan penerimaan yang lebih besar, salah satu solusinya yakni reaktor PLTN yang dibangun haruslah berskala besar.

Indonesia harus berubah

Indonesia pasti bisa membangun PLTN dengan aman dan selamat. Kekhawatiran yang berlebihan terhadap kualitas SDM yang rendah dan kerentanan alam Indonesia yang riskan dengan segala bencana alam, bahaya limbah radiasi serta kemungkinan terjadinya Bencana Chernobyl, dan Three Miles Island, dan lain-lain, merupakan cerita klasik yang kurang pantas untuk dijadikan dasar utama menggantung pembangunan PLTN di negeri ini.

Indonesia sudah berubah dan harus berubah kini dan mendatang. Apalagi jumlah negara yang telah membangun dan akan membangun PLTN justru semakin bertambah. Jika sampai saat ini tercatat jumlah negara di dunia yang telah menggunakan PLTN sebagai pembangkit tenaga listrik sebanyak 31 negara dengan total unit PLTN sebanyak 442 unit, dalam waktu dekat jumlah tersebut menurut IAEA (2009) akan bertambah sebanyak 25 negara lagi. Di antara ke-25 negara yang tertarik itu, termasuk pula Vietnam, Malaysia, dan Thailand. Bahkan, Mesir pun baru-baru ini sudah memastikan untuk membangun PLTN. Oleh karena itu, masihkah kita mau disebut sebagai bangsa yang tidak mau belajar (we do not learn that we do not learn)? Pasti tidak, bukan?!

Oleh Carunia Mulya Firdausy, Deputi Menegristek Bidang Dinamika Masyarakat
Opini Media Indonesia 07 April 2010