Dinoroy Aritonang
Dosen di STIA LAN Bandung dan Mahasiswa Pascasarjana Hukum Kenegaraan UGM.
Kasus Gayus Tambunan, mantan pegawai Dirjen Pajak Kementerian Keuangan yang ditetapkan sebagai tersangka kasus penyelewenangan pajak, semakin menunjukkan bahwa tabiat birokrasi Indonesia memang amat sulit untuk diubah. Birokrasi masih dipenuhi dengan spirit dan perilaku yang buruk dan koruptif. Sayangnya, hal ini juga sarat menjangkiti institusi penegak hukum dalam jenjang dan bidang apa pun. Insitusi yang seharusnya merealisasikan keadilan dan kebenaran malah mempermainkan keadilan dan kebenaran itu sendiri.
‘Extraordinary Crime’
Korupsi bukanlah kasus hukum yang biasa. Predikat “tidak biasa” melekat karena tindak pidana satu ini merupakan imbas negatif penggunaan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa (birokrasi). Sehingga, aktor pelakunya pasti bukan orang-orang yang biasa pula. Oleh karena itu, perbuatan pidana ini dinamakan extraordinary karena memang ada sesuatu yang tidak biasa di dalamnya.
Sifatnya yang ekstra tersebut muncul karena di dalamnya bertemu dua hal saling "menguntungkan", yaitu, kekuasaan dan kepentingan pribadi atau golongan. Pertemuan keduanya melanggengkan jalan untuk menyimpangi peraturan yang membatasinya, terutama secara prosedural. Sebab, apabila suatu perbuatan hukum telah memenuhi secara prosedural, paling tidak secara kasat mata perbuatan tersebut sah dan tidak melanggar hukum. Tetapi, belum tentu apabila dilihat dari sisi material perbuatannya.
Selain itu, sifatnya yang elitis telah membuat sistem yang mewadahinya menjadi tidak transparan dan susah untuk diawasi. Kepentingan yang dipertaruhkan cukup besar, yaitu kepentingan banyak individu yang berada dalam sistem itu. Bahkan, bisa ditutupi dengan dalih untuk menyelamatkan kepentingan lembaga atau kepentingan negara.
Penyakit Kekuasaan
Lord Acton pernah berpendapat bahwa power tends to corrupt and absolute power corrupts absolutely. Hal ini sangat relevan kalau menilik kasus Gayus Tambunan beserta penegak-penegak hukum yang diduga terlibat dalam rekayasa penyelesaian kasus perpajakan tersebut. Dengan kekuasaannya yang besar, birokasi menempatkan kewenangan dan jabatan menjadi “jimat” untuk menguntungkan dirinya sendiri dan pihak-pihak lain.
Ada beberapa hal yang patut diwaspadai dari perilaku buruk birokrasi, terutama yang memiliki kewenangan mulai dari hilir sampai hulu, seperti Kementerian Keuangan. Kewenangan hulu sampai ke hilir tersebut terwujud apabila pihak birokrasi berperan menjadi pelaku pelayanan publik sekaligus sebagai pembuat peraturan (regulator), pengawas (controller) dan pihak atau wadah penyelesaian sengketa (adjudicator).
Pertama, sebagai regulator, birokrasi dapat bermain-main dalam pasal-pasal yang strategis dengan cara mengompromikan pasal-pasal tersebut dengan pihak ketiga. Sebagai regulator tentunya birokrasi mempunyai sejumlah keuntungan, baik legal maupun psikologis. Itulah kenapa setiap pihak yang berurusan dengan birokrasi seperti ini akan cenderung menjadi tidak berdaya dan akhirnya mengajukan tawar-menawar untuk lolos dari jeratan hukum. Ditambah, sebagai regulator, birokrasi sangat paham dengan kelemahan atau celah-celah dari pasal-pasal strategis tersebut (knowing by design).
Kedua, sebagai controller, birokrasi tentu mempunyai kewenangan untuk memberi sanksi dan hal inilah yang akan sangat dihindari oleh pihak ketiga. Dalam hal ini, fungsi pengawasan seharusnya tidak hanya dipahami sebagai tindakan yang represif, tetapi juga harus secara preventif. Sebelum pihak ketiga melakukan kesalahan maka sudah sepatutnya birokasi yang terkait memberi masukan untuk perbaikan. Karena ketidaktahuan pihak ketiga terhadap kesalahan yang dilakukannya, secara formil dia dapat dianggap telah melakukan kesalahan.
Ketiga, sebagai adjudicator, birokrasi berperan sebagai perangkat semiyudisial. Kondisi ini sangat memungkinkan. Birokrasi akan cenderung untuk memanipulasi penyelesaian sengketa, baik melalui rekayasa prosedur atau formil hingga kepada rekayasa substansi perkara atau materiel. Hal ini sangat potensial terjadi dalam kasus "mafia pajak" Gayus Tambunan. Dalam proses yudisial atau semiyudisial win-win solution adalah hal yang haram untuk dilakukan.
Mati Rasa
Ulah birokrasi memang sudah pada tingkatan yang amat parah. Segala macam batasan, baik moral, sosial, hukum, bahkan agama, semuanya sudah dilanggar. Seolah-olah memang tidak ada lagi lembaga atau kaidah kontrol yang bisa diterapkan untuk mengekang kebuasan birokrasi. Segala macam usaha pun sudah cukup dilakukan pemerintah mulai dari pengetatan regulasi, perbaikan renumerasi, pembuatan prosedur transparansi dan akuntabilitas, sampai kepada pembentukan berbagai macam lembaga penegak hukum. Tetapi, tetap tidak mampu mengubah mind set birokrasi Indonesia. Pemberantasan korupsi dan pemutihan birokrasi dari upaya suap-menyuap terkesan hanya menjadi lip service belaka.
Wajah birokrasi tidak banyak mengalami perubahan dari waktu-waktu sebelumnya. Lembaga pemerintah dan penegak hukum seolah-olah masih menjadi bangunan yang tertutup dan kaku, jauh dari kesan yang terbuka dan milik rakyat. Akibatnya, seperti apa yang diungkapkan oleh Merton dalam buku Bureaucracy (Martin Albrow, 1970), para pejabat (baca: birokrasi) mengembangkan solidaritas kelompok yang dapat menimbulkan penolakan terhadap perubahan yang diperlukan. Sehingga, apabila dikaitkan dengan tugas sebagai pelayan publik, birokrasi akan cenderung untuk berkonflik dengan individu-individu warga negara. Alih-alih menolong masyarakat untuk menjadi sejahtera, perilaku dan kebijakan birokrasi malah menyakiti hati masyarakat.
Oleh sebab itu, sudah seharusnya bagi pelaku birokrasi Indonesia untuk berubah dan mengganti haluan hatinya kembali kepada kepentingan rakyat agar identitas birokrasi menjadi jelas, semata-mata hanya untuk kesejahteraan masyarakat.
Opini Lampung Post 07 April 2010