Gayus Tambunan, 30, hanya pegawai negeri sipil (PNS) Golongan IIIA di Ditjen Pajak. Berkat adanya program remunerasi di Kementerian Keuangan, sang 'Manusia 28 Miliar' tersebut bisa memperoleh pendapatan resmi sebesar Rp12 juta lebih per bulan. Di luar itu, konon masih ada lagi berbagai tunjangan sah lainnya, yang besarnya sekitar Rp10 juta per bulan sehingga total take-home pay bisa mencapai hampir Rp22 juta lebih per bulan.
Jumlah tersebut jauh di atas rata-rata penerimaan PNS di instansi lain yang belum tersentuh program remunerasi sekalipun kenaikan sebesar 5% yang mulai berlaku tahun 2010 ini sudah diperhitungkan. Berdasarkan Surat Edaran Dirjen Perbendaharaan No SE/:06/PB/2010, tanggal 18 Maret 2010 tentang Penyesuaian Besaran Gaji Pokok PNS serta anggota TNI dan Polri, gaji pokok Golongan IIIA dengan masa kerja golongan (MKG) lima tahun, mulai Januari 2010, adalah sebesar Rp1.830.100. Kalaupun ditambah dengan tunjangan-tunjangan lainnya, total penerimaan mereka umumnya masih di bawah Rp2,5 juta per bulan.
Bagi PNS di banyak instansi pemerintah yang masih menerima gaji pas-pasan, pemberitaan media terkait kasus Gayus Halomoan Tambunan--yang memiliki rekening sampai Rp28 miliar, serta sejumlah rumah dan apartemen mewah di Jakarta dan Singapura--disimak dengan perasaan campur aduk. Ada rasa cemburu, karena sebagai sesama PNS, mereka merasa dianaktirikan. Ada yang mempertanyakan, mengapa program remunerasi diberlakukan secara diskriminatif, hanya kepada instansi tertentu.
Ada pula yang muak bercampur heran dengan perilaku Gayus yang begitu rakus. Penghasilan resmi yang sudah begitu besar--apalagi istrinya juga PNS dengan golongan yang sama--kok masih saja berbuat korup. Tak kurang mengkhawatirkan pula, gara-gara kasus Gayus, program remunerasi yang pada waktunya diharapkan dapat menjangkau instansi mereka, bakal batal direalisasikan.
Budaya kerja
Jika ditelusuri ke belakang, remunerasi PNS sesungguhnya merupakan bagian dari upaya untuk memperbaiki kinerja birokrasi. Sejak lama jajaran birokrasi kita disorot berperangai arogan, organisasinya tambun, sifatnya korup, profesionalisme dan produktivitasnya rendah, serta segudang citra negatif lainnya. Sewaktu menjabat sebagai Presiden RI, Ibu Megawati bahkan sempat menyebutnya sebagai 'birokrasi keranjang sampah'.
Maka, ketika menjabat sebagai Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara (Menteri PAN) pada Kabinet Gotong Royong, saya memberikan prioritas perhatian terhadap perbaikan kinerja birokrasi, dengan pendekatan yang komprehensif. Strategi kebijakan jangka panjangnya ialah melalui pengembangan budaya kerja, sedangkan sasaran jangka pendek dan menengah, ialah memperbaiki citra birokrasi dan memulihkan kepercayaan masyarakat melalui perbaikan sikap mental dan kinerja para aparatur negara.
Sikap mental korupsi memiliki korelasi dengan budaya kerja. Hasil survei PERC (Political Economic Risk Consultancy) menunjukkan bahwa Jepang, Singapura, dan Hong Kong memiliki budaya kerja sangat tinggi, dan tingkat korupsi birokrasi paling rendah. Sebaliknya, Indonesia termasuk paling korup dan budaya kerjanya rendah. Oleh sebab itu, membangun budaya kerja aparatur negara yang bersih, profesional, produktif, berdaya saing tinggi, serta bertanggung jawab dan netral, menjadi agenda prioritas Kementerian PAN pada waktu itu. Untuk itu, diterbitkanlah Pedoman Pengembangan Budaya Kerja Aparatur Negara, melalui Kepmen PAN No 25 Tahun 2002.
Remunerasi pilih kasih
Di era kabinet gotong-royong, sejak awal sudah disadari akan perlunya melakukan perbaikan sistem remunerasi untuk memacu kinerja aparatur negara. Pada waktu itu konsep dasar sistem remunerasi telah berhasil disusun, kemudian dibahas secara mendalam dalam suatu lokakarya pada awal Desember 2002, dengan melibatkan para ahli serta wakil-wakil dari pemerintah pusat dan daerah.
Sistem remunerasi yang baik harus memenuhi asas keadilan, baik secara internal maupun eksternal. Keadilan internal dalam arti pekerjaan yang lebih berat selayaknya memperoleh imbalan yang lebih tinggi, sedangkan keadilan eksternal dalam arti kesetaraannya dengan gaji pegawai di sektor swasta. Dengan demikian, pemberlakuan sistem remunerasi bukan sesuatu yang berdiri sendiri, melainkan sebagai bagian dari reformasi birokrasi.
Faktor lain yang perlu diperhitungkan, sudah tentu daya dukung anggaran negara untuk pembiayaan remunerasi PNS. Oleh sebab itu, penahapan dalam penerapan remunerasi PNS harus didasarkan pada kriteria-kriteria yang objektif, profesional, adil, dan terbuka. Maka, pada waktu itu yang mendapat prioritas diusulkan untuk pemberlakuan program remunerasi PNS ialah profesi guru, dengan pertimbangan peranan dan tanggung jawab mereka yang lebih besar dalam pembangunan SDM nasional.
Usulan Kementerian PAN untuk memberikan remunerasi bagi profesi guru ditolak oleh Menteri Keuangan, yang pada waktu itu dijabat oleh Prof Boediono (sekarang Wakil Presiden RI), dengan alasan kondisi keuangan negara yang belum memungkinkan. Anehnya, dalam kondisi keuangan negara yang lebih kurang sama, pada Kabinet Indonesia Bersatu I Menteri Keuangan Sri Mulyani mulai memberlakukan kebijakan remunerasi PNS, dengan memprioritaskan PNS di departemen yang dipimpinnya sendiri, termasuk PNS Ditjen Pajak tempat Gayus Tambunan bernaung.
Program remunerasi belakangan telah diperluas ke beberapa departemen/kementerian, termasuk salah satunya di Kementerian PAN. Selain masih pilih kasih, pemberlakuan program remunerasi saat ini terkesan lebih menonjolkan egoisme sektoral dan arogansi kekuasaan. Tidak mengherankan jika seorang PNS di Kementerian Pertanian bergumam, apakah instansi tempatnya bekerja--yang bertanggung jawab dalam menyejahterakan petani di pedesaan dan menyediakan kebutuhan pangan nasional--fungsinya kalah penting dengan instansi Ditjen Pajak yang menjadi 'sarang penyamun'?
Oleh Feisal Tamin, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara pada Kabinet Gotong Royong
Opini Media Indonesia 07 April 2010
06 April 2010
» Home »
Media Indonesia » Asas Keadilan dalam Sistem Remunerasi PNS
Asas Keadilan dalam Sistem Remunerasi PNS
Thank You!