Oleh H. HERDIWAN
Tertarik dengan berita tentang kondisi Jalan Braga yang katanya semakin rusak karena materi badan Jalan Braga yang rencananya diperuntukkan bagi pejalan kaki (pedestrian), tetapi masih dijadikan lalu lintas kendaraan. Penulis hanya ingin menyumbang pemikiran, jika memang benar Jalan Braga akan difungsikan bagi pejalan kaki.
Di mata masyarakat Kota Bandung khususnya atau bagi warga Jawa Barat pada umumnya, Jalan Braga seolah menyimpan magnet yang tidak pernah lekang dan tetap besar daya pikatnya. Bahkan, moto yang disampaikan warga Bandung kepada pengunjung atau calon pengunjung ke Kota Bandung selalu dipesankan, belum disebut ke Bandung jika tidak mampir ke Jalan Braga, begitu sering kita dengar. Hebatnya, ketika pengunjung itu benar-benar datang ke Jalan Braga dan menelusurinya, ternyata tidak jarang di antaranya yang menyampaikan rasa senang dan bangga sudah jalan-jalan di Braga. Walau memang ada yang melontarkan kekecewaan menyaksikan kejadian di Jalan Braga, misalnya macet, tidak nyaman saat jalan, banyak bangunan tidak dirawat, susah parkir, serta terkadang menjumpai hal yang "menakutkan", katanya.
Rupanya , julukan Parijs van Java yang terus diceritakan lintas generasilah penyebab Jalan Braga tetap menjadi cita-cita Pemerintah Kota Bandung. Bahkan, Gubernur serta masyarakatnya yang tidak pernah kendor semangatnya untuk mengembalikan situasi sebagaimana nilai yang dikandung Parijs van Java tersebut. Konon, dahulu, bila ingin mengetahui, melihat-lihat, atau membeli model pakaian yang sedang ngetrend di kota pusat mode Paris, dalam waktu yang sama bisa tersedia di pertokoan di Jalan Braga. Bila ingin menikmati hiburan berkelas, hadir juga di Jalan Braga (sekarang gedung AACC dan Gedung Merdeka ). Masyarakat "kelas bawah" pun sangat senang dengan "tingginya status" yang disandangkan ke Jalan Braga itu, walau sekadar sight seeing, mengeluarkan uang di Jalan Braga tetap membanggakan. Walaupun yang dibeli di kaki lima itu kacang "geledeg", suuk, bajigur, atau bako dan daun kawungnya, masyarakat kecil puas bisa membeli sesuatu di Jalan Braga.
Teman penulis yang sengaja beberapa kali "mengamati" pengunjung di Jalan Braga pada akhir pekan, sok yakin kemudian menyimpulkan bahwa "tampaknya" pengunjung terutama para gadis, ketika mereka berniat akan jalan-jalan di Braga, pasti akan mengenakan pakaian terbaru, paling disukai, dan modenya yang sedang digandrungi. Penulis hanya berkomentar kepada dia, "Itulah daya magisnya Jalan Braga."
Beberapa tahun lalu ketika dimunculkan wacana Jalan Braga akan difungsikan sebagai lahan untuk pejalan kaki, penulis adalah salah seorang warga Kota Bandung yang turut gembira. Langsung dibayangkan suasana Jalan Braga yang jadi nyaman karena ketika menikmati berbagai atraksi, tidak akan khawatir terserempet kendaraan. Di beberapa titik sepanjang Jalan Braga didirikan sarana untuk pengunjung yang memiliki kemampuan melakukan aktivitas kesenian. Ada tempat dilengkapi pengeras suara bagi pengunjung yang mampu memainkan alat musik. Penilaian bahwa pelaku pertunjukan tersebut menarik atau tidak, tentu penonton yang akan menentukannya.
Untuk mereka yang ingin bermain musik tradisional, disiapkan seperangkat alat musik tradisional. Mau ngahale uang, melantunkan pantun buhun/modern atau demo padungdung penca. Ada juga panggung untuk mereka yang mau atraksi sulap, melawak, demo melukis, membacakan puisi. Pengunjung dianjurkan mau berbaik hati membayar dengan nilai yang pantas atas apa yang telah ditontonnya. Boleh juga disediakan sarana untuk pengunjung yang mau ceramah mengajak pengunjung agar menyisihkan dananya bagi korban bencana alam, kaum duafa, atau pembangunan masjid.
Yang harus disiapkan penanggung jawab Jalan Braga adalah meja-meja untuk menyajikan berbagai makanan asli produk kreasi warga Kota Bandung. Juga kerajinan tangan warga Bandung yang kreatif dan menarik. Untuk menyamankan pengunjung ke Jalan Braga karena tidak diperkenankan membawa kendaraan, padahal siapa tahu pengunjung akan angkaribung habis memborong berbagai barang, perlu dibangun travelator (tangga berjalan seperti di bandara internasional ). Travelator tersebut bisa dibangun mulai dari Jalan Asia Afrika di depan Hotel Preanger. Dengan demikian, pengunjung memarkir mobil di sekitar Jalan Asia Afrika bawah melingkar ke Jalan Lengkong Besar. Atau bagi mereka yang menggunakan angkot, saat turun bisa langsung menggunakan travelator atau sebaliknya ketika sepulang dari Braga. Pantasnya, travelator itu diadakan untuk ruas Braga-Asia Afrika, Braga-Naripan, dan Braga-Kantor Wali Kota. Tentu saja travelator tersebut harus dinaungi agar tidak cepat rusak akibat kehujanan dan kepanasan.
Soal pendanaan, jangan khawatir, tidak harus semua dari APBD Kota Bandung karena Gubernur saat menutup Braga Festival 2009 menjanjikan siap membantu mewujudkan kawasan Braga untuk menjadi tempat pangjugjugan bagi semua orang.
Bila lamunan penulis tersebut kemudian terwujud, nama Jalan Braga akan kembali memancarkan pesona ke seantero tempat. Bahkan, siapa tahu bisa jadi salah satu "keajaiban dunia" atau masuk Guiness Book karena adanya travelator terpanjang didunia. Paling tidak, kita akan gagah ketika kembali mengatakan "belum disebut ke Bandung kalau belum ke Jalan Braga".
Selamat Ulang Tahun Kota Bandung. Dirgahayu! ***
Penulis, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jawa Barat.
Opini Pikiran Rakyat 07 April 2010
06 April 2010
» Home »
Pikiran Rakyat » Jika Braga Jadi Tempat Pejalan Kaki
Jika Braga Jadi Tempat Pejalan Kaki
Thank You!