Oleh Yesmil Anwar
Di kalangan dosen, memberi kuliah dengan menggunakan software Powerpoint merupakan hal lumrah. Bahkan, dianggap keren, karena biasanya materi ditayangkan menggunakan perangkat Infocus (LCD) berteknologi tinggi. Barangkali ini berarti sang dosen tidak termasuk dosen "kuper" yang masih menggunakan kapur tulis, spidol, dan transparan plastik yang huruf-hurufnya sudah kurang jelas, kusam, atau rontok dimakan waktu. Lalu, apa salahnya mengajar menggunakan Powerpoint?
Tentu tak ada salahnya. Namun, jika teknik dan mengajar dengan Powerpoint tidak menggunakan cara yang baik dan benar, mahasiswa akan merugi! Betapa tidak, beberapa penelitian pakar komunikasi pendidikan San Francisco University, Amerika Serikat, menemukan bahwa mengajar dengan menggunakan Powerpoint di ruang kuliah akan mereduksi sekurang-kurangnya 50 persen dari materi kuliah yang bahannya diunduh dari satu buku ajar atau text book yang dipakai dosen sebagai rujukan. Karena biasanya dosen bersangkutan hanya mengambil poin-poinnya.
Hal yang lebih berbahaya, dosen mengajar seperti mesin mekanis karena bertahun-tahun menggunakan Powerpoint tersebut tanpa pernah diperbarui. Cara mengajar yang terlalu cepat dan tanpa memberi kesempatan kepada mahasiswa untuk berdiskusi dengan sang dosen ataupun sesama mahasiswa dapat menyempurnakan proses reduksi tersebut. Bahkan, menurut penelitian, persentase nilai reduksinya akan meningkat menjadi 60 persen dari isi buku.
Berbeda halnya dengan dosen yang menggunakan Powerpoint dengan cara yang bijak dan metodis. Selain menyiapkan silabus dan satuan acara perkuliahan dan menyiapkan handout untuk setiap tatap muka, dosen juga mengharuskan mahasiswa membawa buku yang sama dengan buku dosen yang materinya dijadikan bahan kuliah. Tentu saja yang lebih penting adalah dosen harus kreatif menggarap contoh-contoh ataupun isu terkini yang bersangkutan dengan materi kuliah. Tak kalah pentingnya, tanya jawab dan diskusi sehingga proses belajar-mengajar menjadi berkualitas dan tidak membosankan.
Sebagai dosen yang telah mengajar lebih kurang 25 tahun, penulis hafal benar perilaku mahasiswa saat ujian tertulis di kelas ataupun ketika diminta membuat tugas untuk dikerjakan di rumah. Dalam membuat tugas, tak jarang mereka membuat tugas perorangan dikerjakan bersama-sama. Nah, di sinilah sering terjadi proses tiru-meniru, sontek-menyontek, juga proses copy-paste.
Kebiasaan copy-paste mahasiswa dalam membuat tugas sangat memprihatinkan. Kebiasaan itu didukung dengan menjamurnya internet. Mereka tidak lagi menganggap copy paste sebagai ketidakpatutan. Bahkan, mereka menganggap copy-paste sebagai "usaha bersama" untuk menunaikan tugas. Mahasiswa yang kerja sendiri acap kali dicap sebagai egois, tidak solider, dan pelit.
Khusus untuk ujian take home dapat dipastikan terjadi copy-paste. Dari pengalaman penulis melakukan penelitian kecil, dari empat kelas yang tiap-tiap kelas terdiri atas 70 s.d. 100 mahasiswa, hampir 70 persen mahasiswa melakukan copy-paste kepada kawannya. Ada 25 persen kegiatan copy-paste yang tidak secara bulat-bulat melakukannya. Ada yang mengubah font huruf dan tata letak, memberi sedikit tambahan, ada juga yang mengedit dari tulisan kawannya. Dalam terminologi hukum, perbuatan itu disebut plagiat, pelakunya dinamakan plagiator. Sebenarnya, penulis berharap dengan memberikan ujian bersifat take home, mahasiswa dapat mengeksplorasi kemampuannya secara bebas, kreatif, dan dapat dipercaya.
Siapa yang salah dalam hal ini? Jawabannya tegas, sang dosen! Guru kencing berdiri, murid kencing berlari. Begitu ujar pepatah lama. Penyair besar Indonesia, Taufik Ismail, menulis dalam puisinya, "Guru kencing berdiri, murid mengencingi guru!"
Ada dosen yang tidak membaca tugas yang diberikan kepada mahasiswanya, apalagi meneliti satu per satu. Karya mahasiswa dihitung jumlahnya, kemudian diakurkan dengan daftar nama mahasiswa yang diajarnya untuk mengklopkan jumlahnya. Selanjutnya, tugas mahasiswa tersebut "ditransfer" ke tukang loak. Ada pula dosen yang memberi tugas kepada mahasiswa untuk meringkas buku dan menerjemahkan buku asing tanpa membahas hasil ringkasan dan terjemahan itu dalam perkuliahan.
Di samping itu, dosen yang malas mengajar cukup memberi tahu melalui telefon kepada karyawan atau ketua kelas dengan memberi tugas kepada mahasiswanya. Nah, dalam kondisi seperti ini, copy-paste tumbuh subur bagai jamur pada musim hujan. Apalagi, warnet dan kios fotokopi sangat banyak. Bahkan, ada juga yang sudah menyiapkan ratusan tugas dari dosen-dosen tertentu yang materi kuliah dan tugasnya sama dari tahun ke tahun.
Lalu, apa yang bisa kita harapkan dari dosen yang hanya mengandalkan Powerpoint sebagai media mengajar? Dosen yang ke kelas hanya mengantongi USB/flashdisk? Dosen yang membawa buku tebal-tebal ke kelas dianggap kuno dan sok ilmuwan. Bahkan, ada dosen senior, seorang profesor, yang membanggakan asistennya sudah mampu mengajar tanpa buku ajar di tangan. Kata sang dosen senior, asistennya sudah mampu hand stand (lepas tangan) seperti seorang yang naik sepeda. Apa yang bisa diharapkan dari pendidik yang menganggap mengajar bukan sebagai pekerjaan yang mulia dan bermartabat. Karena gajinya kecil dan mahasiswanya bisa dibodohi? Jangan tanyakan kepada rumput yang bergoyang. Tanyakan kepada diri sendiri, quo vadis pendidikan kita.***
Penulis, dosen Fakultas Hukum Unpad dan Unpas.
Opini Pikiran Rakyat 04 Maret 2010