Oleh Falik Rusdayanto
Terkuaknya fakta kepemilikan vila-vila tak berizin di Taman Nasional Gunung Halimun membuat banyak pemiliknya yang konon para pejabat dan artis terus mendapat sorotan banyak kalangan. Betapa tidak, setibanya di gerbang taman nasional itu, pemandangan yang tampak di 10 kilometer pertama adalah vila-vila bodong. Vila-vila tanpa izin tersebut tidak hanya digunakan untuk kepentingan pribadi, tetapi juga disewakan. Kondisi ini sangat dikeluhkan warga sekitar taman nasional lantaran berbagai ekses negatif yang ditimbulkan dari keberadaan vila-vila tersebut, salah satunya budaya minum-minuman keras maupun pergaulan bebas yang tak mustahil dibawa penyewa ke vila-vila tersebut. Keberatan juga patut kita munculkan terkait dengan fungsi ekologis di wilayah tersebut mengingat taman nasional adalah kawasan konservasi.
Merunut kejadiannya, awalnya, seluruh tanah tersebut digunakan untuk kawasan hutan lindung. Lalu, pada 1967, sebagian tanah dialihfungsikan sebagai lahan garapan bagi para veteran. Para veteran berharap bisa mengelola lahan di kawasan hutan lindung seluas 256 hektare untuk ditanami palawija selama lima tahun (dokumen Markas Daerah Legiun Veteran Jawa Barat). Izin itu pun kemudian diberikan Departemen Kehutanan. Selama lima tahun pertama, projek tersebut berjalan dengan lancar. Akan tetapi, pada 1973 hingga 1978 terjadi berbagai penyimpangan oleh pimpinan projek. Tanah garapan banyak dijualbelikan keluar dan banyak anggota veteran penggarap tanah terusir keluar. Para veteran tersebut kemudian diberikan tanah tukar guling di kawasan Sukabumi. Belum jelas apakah proses pertukaran lahan itu terealisasi atau tidak, tetapi di kawasan yang dulu dijadikan lahan garapan tersebut telah berubah fungsi menjadi vila-vila mewah.
Kondisi tersebut harus segera diatasi, jika tidak bisa menyeret pada konflik di antara para pemangku kepentingan. Penelitian yang dilakukan Pratiwi (2008) di Taman Nasional Gununng Halimun menunjukkan ada empat penyebab konflik di kawasan taman nasional itu, mulai dari perbedaan sistem nilai yang berimplikasi pada konflik ketidaksepakatan status lahan dan tata batas hingga konflik ketidakpastian akses. Dari penelitian ini tampak, konflik di taman nasional itu adalah persoalan hak dan akses.
Berbagai konflik di kawasan Taman Nasional Gunung Halimun membuktikan, institusi yang ada tidak berhasil menyelesaikan konflik. Ini disebabkan kegagalan para pihak untuk memahami akar persoalan dan menyepakati rezim properti yang sesuai dengan kebutuhan mereka. Kendala pengetahuan dan pemahaman mengenai peraturan perundangan, keterbatasan sumber daya, serta persoalan sistem administrasi dan birokrasi juga menjadi persoalan pelik yang tak mudah diatasi.
Warga sekitar Taman Nasional Gunung Halimun sebenarnya lebih menginginkan kawasan tersebut dijadikan tempat wisata alam. Ada prospek bisnis yang jauh lebih menguntungkan bagi warga. Keterlibatan warga sebagai tour guide, penyedia makanan, dan penginapan sederhana bisa dimaksimalkan. Memang penginapan perlu disediakan bagi para turis. Hanya, jumlahnya tidak boleh lebih dari lima persen lahan dan harus berada di luar kawasan hutan lindung. Jika hal itu diwujudkan, baik pelaku usaha maupun warga akan diuntungkan.
Konsep konservasi
Di Indonesia konsep konservasi tercantum dalam Undang-Undang (UU) No. 5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya. Menurut UU ini, tujuan dari konservasi adalah terwujudnya kelestarian sumber daya alam dan lingkungan hidup agar tercapai keseimbangan ekosistem yang dapat mendukung upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan mutu kehidupan manusia. Sementara tanggung jawab dan kewajiban dalam melaksanakan konservasi ada pada pemerintah serta masyarakat.
Terkait dengan keberadaan taman nasional sebagai kawasan konservasi, institusi pengelola di Indonesia mencakup unsur: hak kepemilikan, batas wilayah kewenangan, dan aturan keterwakilan. Hak kepemilikan taman nasional sesuai dengan UUD 1945 Pasal 33 dan UU No. 5 Tahun 1967 mengenai Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan adalah milik negara (state property). Menurut Pasal 34 UU No. 5 Tahun 1990 mengenai Konservasi Sumber Daya Hayati dan Ekosistemnya, pengelolaan taman nasional dilaksanakan oleh pemerintah, dalam hal ini oleh Kementerian Kehutanan.
Dasar penentuan batas wilayah kewenangan taman nasional juga diatur di antaranya oleh lima peraturan perundangan setingkat UU yang secara teknis dijabarkan dalam PP atau Kepmen (UU 5/1990, UU 42/2004 tentang Pemerintahan Daerah, PP 68/1998 tentang Kawasan Suaka Alam dan Kawasan Pelestarian Alam, PP 62/1998 tentang Penyerahan Sebagian Urusan Pemerintah Bidang Kehutanan kepada Daerah dan Keputusan Menteri Kehutanan No. 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria Standar Pengukuhan Kawasan Hutan). Dalam peraturan tersebut, tata batas taman nasional harus ditetapkan berdasarkan kesepakatan antara pemerintah pusat, daerah, dan masyarakat.
Pelibatan masyarakat
Sejarah pembangunan pariwisata secara massal memberikan pengalaman mengenai pentingnya pelibatan masyarakat lokal dalam semua tahapan pembangunan. Masyarakat lokal jangan hanya dilibatkan dalam inventarisasi. Pengabaian mereka akan menyebabkan konflik dan merugikan kedua pihak. Masyarakat akan dirugikan dengan tertutupnya akses terhadap sumber daya. Di sisi lain karena tidak mendapat dukungan masyarakat sekitarnya, kegiatan wisata alam akan sulit bertahan.
Secara empiris, wisata alam berbasis kelestarian lingkungan (ekowisata) dapat berperan sebagai salah satu cara untuk menyelesaikan konflik ketidakpastian akses. Hal ini dapat diidentifikasi dari adanya dampak positif pengembangan ekowisata terhadap perekonomian lokal melalui peningkatan pendapatan dan diversifikasi lapangan pekerjaan. Selain itu, ekowisata juga berperan dalam menjembatani kebutuhan para pihak yang berkonflik, misalnya kebutuhan lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan kegiatan konservasi bagi penanggung jawab Taman Nasional Gunung Halimun.
Salah satu langkah yang perlu diperbaiki ialah perubahan atau perbaikan terhadap institusi/kelembagaan yang ada. Dari aspek institusi, dua faktor yang perlu diperbaiki adalah peran dan kapasitas pemangku kepentingan serta perubahan dalam aturan main mengenai pengaturan ruang serta representasi dalam hal pembagian hak dan kewenangan.
Berbagai dampak sosial budaya pun patut diantisipasi. Penelitian Barrow (2000) menunjukkan, dampak sosial budaya yang ditimbulkan dari kegiatan ekowisata seperti Taman Nasional Gunung Halimun antara lain: ketakutan masyarakat akan perubahan, perubahan struktur sosial dan mata pencaharian, perubahan nilai lahan, perubahan standar hidup, perubahan sistem ekologi, munculnya pandangan bahwa budaya sebagai lahan komersial, maupun kriminalitas terhadap wisatawan.
Keberadaan lembaga swadaya masyarakat (LSM) yang selama ini mendampingi masyarakat di Taman Nasional Gunung Halimun mestinya bisa membantu mengembangkan kapasitas masyarakat melalui diskusi, pelatihan, maupun berbagai upaya penguatan kelembagaan.***
Penulis, alumnus Chulalongkorn University Thailand, Direktur Eksekutif The Golden Institute Jakarta.
Opini PIkiran Rakyat 6 Februari 2010