Andi Irawan
Lektor Kepala Universitas Bengkulu
Kenaikan harga beras pada 1-2 bulan terakhir mulai mendapat sorotan para pengamat-pakar serta media cetak dan elektronik. Sebagaimana yang diketahui, harga beras rata-rata pertengahan Januari 2010 dibandingkan harga rata-rata Desember 2009 naik 5,6 persen. Sedangkan, harga beras termurah naik 5,9 persen. Jika dibandingkan rata-rata harga tiga bulanan, harga beras umum naik 8,5 persen dan beras termurah naik 7,9 persen.
Menurut hemat saya, kenaikan harga beras yang terjadi 1-2 bulan terakhir masih dalam batas toleransi. Hal yang selalu terjadi pada bulan Desember-Januari adalah produksi sedikit menurun yang menyebabkan terjadi kenaikan harga beras. Dan, kenaikan harga pun masih di bawah ambang batas toleransi, yakni masih di bawah 25 persen. Sebagaimana diketahui, ketika harga beras mencapai kenaikan 25 persen atau lebih, itu adalah sinyal bagi pemerintah untuk melakukan operasi pasar beras dengan menyuplai ke pasar cadangan beras pemerintah yang ada di gudang Bulog dengan harga yang lebih murah dari harga pasar.
Sejumlah komentar yang berkembang di media massa berkenaan dengan kenaikan harga ini mengindikasikan bahwa kita secara kolektif sangat tidak berkenan jika harga beras naik walaupun kenaikan itu disebabkan faktor siklus tahunan dan bukan karena faktor-faktor yang fundamental-struktural, seperti gagal panen karena bencana alam atau serangan hama penyakit yang masif.
Kekhawatiran terhadap naiknya harga beras yang berlebihan ini saya istilahkan sebagai fobia kenaikan harga beras.
Fobia ini akan kontraproduktif terhadap tercapainya ketahanan pangan yang berkelanjutan. Mengapa? Fobia kenaikan harga beras menyebabkan politik pangan terlalu bias beras. Fobia tersebut menyebabkan kita mengharamkan kenaikan harga beras walaupun kita sadar sepenuhnya bahwa kenaikan itu masih dalam batas yang wajar dan sesungguhnya tidak akan berimplikasi pada terjadinya shock harga yang tajam.
Memang, suatu yang penting menempatkan politik pangan untuk menghadirkan akses masyarakat yang mudah terhadap pangan utama (beras), tetapi menjadi berbahaya kalau beras diposisikan terlalu politis sebagaimana yang kita saksikan saat ini. Kenaikan harga beras dijadikan sebagai sesuatu yang mengkhwatirkan. Padahal, kita semua tahu, kondisi produksi surplus (3 juta ton) dan stok beras memadai (1,7 juta ton). Fobia kenaikan harga beras menyebabkan beras berubah dari sekadar komoditas pangan menjadi komoditas politik.
Harga riil komoditas ini tidak boleh naik. Inilah yang selanjutnya, menurut para pakar ekonomi, menimbulkan fenomena Dutch Disease (penyakit Belanda), yaitu kita jorjoran mengalokasi resources yang sebesar-besarnya agar suplai beras meningkat yang menyebabkan kita abai terhadap pengembangan pangan-pangan lokal sumber karbohidrat nonberas yang potensial untuk dikembangkan. Bahkan, karena mudahnya akses masyarakat terhadap beras, di kalangan masyarakat bukan pemakan beras terjadi perubahan konsumsi menjadi gandrung kepada beras. Fenomena itu dapat dengan mudah Anda lihat di Madura (yang dulunya penikmat jagung), Maluku (sagu), dan Papua (umbi-umbian).
Ketergantungan terhadap beras ini akan menyebabkan ketahanan pangan kita rapuh. Hal ini akan mudah terjadi kerawanan pangan jika beras tidak tersedia. Karena, masyarakat tidak mau atau tidak terbiasa menjadikan komoditas nonberas sebagai sumber karbohidratnya atau karena pangan substitusi beras dalam jumlah memadai dan mudah diakses tidak tersedia karena abainya kita terhadap pengembangannya.
Menurut hemat saya, secara kolektif, kita harus mulai membangun ekspektasi baru tentang beras, yakni dengan cara mengikis fobia kenaikan harga beras tersebut. Cara yang baik untuk itu adalah tetap membiarkan harga beras naik kalau faktor penyebabnya adalah fenomena siklus tahunan. Sementara itu, kita tahu pasti bahwa produksi beras dalam keadaan surplus dan stok beras di Bulog dalam posisi yang aman untuk melakukan operasi pasar.
Saya rasa, pemerintah sudah pada posisi yang tepat dengan menyepakati pemberlakuan stabilisasi harga beras dalam bentuk operasi pasar ketika harga naik 25 persen atau lebih. Pemerintah harus bisa mendisiplinkan diri untuk tidak terlalu cepat melakukan operasi pasar ketika melihat fenomena kenaikan harga beras. Biarkan harga beras naik sampai pada ambang batas harga yang memang diperlukan untuk melakukan intervensi, yakni kenaikan harga rata-rata 25 persen.
Ketika terjadi kenaikan harga karena faktor siklus tahunan, yang perlu dilakukan oleh pemerintah adalah fokus melindungi akses masyarakat miskin yang rentan secara ekonomi dari kenaikan harga beras dengan menyediakan raskin untuk mereka dalam jumlah yang memadai pada bulan-bulan paceklik tersebut.
Jika pemerintah melakukan intervensi yang terlalu dini untuk meredam kenaikan harga, yang kita khawatirkan dampaknya adalah tertekannya harga beras yang berimplikasi pada menekan harga beras di tingkat petani. Saat ini, beberapa kawasan telah mulai melakukan panen.
Pada bulan Januari, ada sekitar 400 ribu hektare (ha) lahan sawah yang akan panen. Memang, itu belum terkategori panen raya. Pada saat panen raya, lebih dari 2 juta ha yang akan dipanen oleh petani di seluruh Indonesia.
Opini Republika 6 Februari 2010
06 Februari 2010
Fobia Kenaikan Harga Beras
Thank You!