Oleh H. Usep Romli H.M.
Para binatang di negeri kita semakin mendapat tempat terhormat, menjadi bahan pembicaraan di tingkat elite. Kerbau yang biasa bergumul lumpur di sawah mendapat perhatian Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono. Ketika membuka rapat kerja dengan para gubernur se-Indonesia di Cipanas, Cianjur, pekan lalu, Pak Yudhoyono mengeluhkan soal kerbau yang ikut demo di depan istana negara. Pak Yudhoyono pasti masygul, karena kerbau yang harusnya diam di kandang, memamah rumput, diangon di tegalan, atau dipakai membajak sawah, dibawa-bawa ke ibu kota. Ke depan istana lagi. Kita sepakat, istana yang baru saja dipagar mewah senilai Rp 22 miliar lebih tak layak disambangi kerbau. Apalagi jika penghuninya kelak telah mendapat pesawat pribadi.
Beberapa hari sebelum pemberitaan mengenai kerbau setara dengan pemberitaan presiden dan para gubernur, burung garuda telah tampil ke depan. Lambang NKRI yang biasa naplok di tembok kantor-kantor instansi resmi itu tiba-tiba nyongclo menjadi logo kaus buatan Giorgio Armani. Entah sengaja atau tidak, rumah mode terkenal itu menjadikan burung garuda "Pancasila" sebagai bahan jualan yang cukup laku keras, walaupun harganya mencapai Rp 300 ribu. Cukup untuk makan warga miskin di perdesaan selama sepuluh hari.
Dan jauh beberapa bulan ke belakang, di pengujung tahun yang lalu, binatang bernama cicak dan buaya sempat menjadi top news paling ngetop. Akibat pertarungan kedua binatang tersebut, jatuhlah beberapa korban. Mulai dari korban kriminalisasi Komisi Pemberantasan Korupsi, hingga korban pejabat bintang tiga Polri yang harus lengser. Disusul korban-korban lain yang berpuncak pada pengungkapan skandal Bank Century yang penuh kontroversi.
Binatang memang tidak pernah lepas dari kehidupan manusia. Bersama tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia menjadi tiga serangkai penopang keajegan dunia nyata. Tak heran, jika sejak berabad lampau, para cerdik cendekia menempatkan binatang dan tumbuhan sebagai simbol perilaku manusia dalam bentuk peribahasa, fabel, serta karya-karya cipta kreatif lainnya. Umpamanya saja peribahasa "ilmu padi" yang mengingatkan manusia agar lebih rendah hati, sopan, dan beradab jika telah memperoleh pengetahuan lebih tinggi. Jangan malah menjadi sombong, kasar, dan biadab.
Aesof, seorang penulis fabel terkenal asal Yunani, sekian tahun sebelum Masehi, menyatakan, dari kehidupan binatang kita mendapat masukan-masukan berharga untuk menegakkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal senada dikemukakan penulis fabel abad 19 asal Prancis, Jean de la Fontaine.
Sayyidina Ali bin Abi Thalib (abad 7) mengatakan, kebutuhan manusia di dunia terdiri atas enam macam, yaitu makanan, minuman, pakaian, wewangian, kendaraan, dan penyaluran hasrat seksual. Makanan paling lezat adalah madu, yang keluar dari perut lebah. Minuman paling penting adalah air, berasal dari tanah dan akar tanaman yang lebih dulu direguk binatang. Pakaian paling mewah adalah sutra dan wol, yang berasal dari kepompong ulat dan bulu domba. Wewangian paling harum adalah kesturi, yang berasal dari keringat spesies kesturi. Kendaraan paling cepat adalah kuda. Dan penyaluran hasrat seksual dimiliki pula oleh binatang.
Maka tak mustahil, pada bawah sadar dirinya, manusia mengidap watak binatang. Suka saling membinasakan satu sama lain. Sili segag sili herengan. Memperebutkan "pepesan kosong" berkedok membela keadilan dan kebenaran, menegakkan hukum, dan bla bla bla lainnya. Saling menyalahkan satu sama lain, saling merasa paling benar. Hidup dan kehidupan aman damai sejahtera ternyata sesak pengap oleh hiruk pikuk manusia yang terus bersitegang, saling pro dan kontra, serta saling ancam saling serang.
Maha benar firman Allah SWT yang menegaskan banyak manusia "kalan`am" (mirip binatang), bahkan "balhum adlollu" (lebih sesat lagi). "(Dan sesungguhnya Kami jadikan) Kami ciptakan (untuk isi neraka Jahanam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati tetapi tidak dipergunakan untuk memahami ayat-ayat Allah) yakni perkara hak (dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah), yaitu bukti-bukti yang menunjukkan kekuasaan Allah dengan penglihatan yang disertai pemikiran (dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah) ayat-ayat Allah dan nasihat-nasihat-Nya dengan pendengaran yang disertai pemikiran dan ketaatan (mereka itu sebagai binatang ternak) dalam hal tidak mau mengetahui, melihat, dan mendengar, (bahkan mereka lebih sesat) dari hewan ternak itu. Sebab, hewan ternak akan mencari hal-hal yang bermanfaat bagi dirinya dan ia akan lari dari hal-hal yang membahayakan dirinya, tetapi mereka itu berani menyuguhkan dirinya ke dalam neraka dengan menentang (mereka itulah orang-orang yang lalai)" (Q.S. al A`raaf : 179).***
Penulis, wartawan senior.
OPini Pikiran Rakyat 6 Februari 2010