Demokrasi adalah rumah dengan pagar politik yang jelas. Pagar demokrasi adalah konstitusi. Konstitusi mendefinisikan substansi politik yang menjadi ukuran kewargaan dalam sebuah ruang demokratis. Substansi politik, dengan kata lain, adalah yang kekal dan besi dalam konstitusi sebab begitu substansi politik berubah, lenyap pula demos atau kewargaan. Yang tersisa bukan demokrasi, melainkan sejenis ideologi politik.
Politik adalah pertarungan kehendak. Itu tergurat jelas dalam pergulatan politik harian di pelosok jagat. Di pihak lain, semua orang mengidam-idamkan konsensus. Pikiran tentang demokrasi pun muncul dari impian semacam itu. Demokrasi diyakini bisa melahirkan kehendak sosial yang rasional dari kehendak pribadi yang berbeda-beda. Mulai Aristoteles sampai Rousseau, semua berbicara mengenai kehendak umum yang mengatasi kehendak pribadi. Bedanya, tradisi Aristotelian meyakini bahwa kehendak umum adalah hasil deliberasi publik alias pergulatan diskursif antarwarganegara, sementara tradisi Rousseauian melihat itu sebagai hasil agregasi atau penjumlahan.
Apa pun model demokrasi yang dikedepankan, pengertian demokrasi bagi mereka adalah peranti politik yang rasional untuk mencapai suatu kehendak sosial (kehendak umum). Disensus melalui demokrasi bisa dijelmakan menjadi konsensus. Ini juga diyakini para pendiri bangsa republik ini. Sila keempat Pancasila mengajarkan bahwa demokrasi republik ini berlandaskan pada permufakatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan. Apa artinya itu? Para pendiri bangsa yakin bahwa melalui deliberasi publik, mufakat atau konsensus dapat dicapai. Oleh karena itu, kebijaksanaan menjadi syarat mutlak bagi pencapaian mufakat. Bila tiap pihak berkeras dengan kehendak masing-masing dan malas mengendorkan egoisme politiknya, mufakat tak akan tercapai.
Demokrasi sebagai agregasi kehendak pribadi dibatalkan oleh sebuah teorema ekonomi bernama teorema ketidakmungkinan. Teorema ketidakmungkinan membeberkan beberapa hal tentang demokrasi sebagai agregasi kehendak. Pertama, kehendak pribadi yang bersifat transitif akan menghasilkan kehendak sosial yang intransitif. Kedua, kehendak mayoritas adalah tidak mungkin kecuali melalui jalan diktatorial. Ketiga, prosedur demokratis sebagai metode pencapaian kehendak umum bermasalah secara matematis.
Bentuk deliberatif demokrasi pun setali tiga uang. Kita menyaksikan perbedaan pandangan yang sedemikian diametral, khususnya ketika berbicara mengenai pandangan agama. Dalam satu agama, bahkan, umat dapat memiliki pandangan yang saling bertolak belakang. Dalam kasus bom bunuh diri, misalnya.
Satu kelompok mengatakan bahwa tindakan itu adalah bagian dari perintah suci agama dengan ganjaran surga. Sementara, kelompok lain mengatakan bahwa tindakan itu bertentangan dengan prinsip kemanusiaan yang termuat dalam kitab suci. Tingkat kesulitan dalam meminimalkan perbedaan antarpandangan keagamaan yang sangat diametral sangat tinggi, untuk tidak dibilang mustahil.
Bagi saya, kehendak umum, baik dalam model deliberatif maupun agregatif, adalah anasir ideologis dalam demokrasi. Kehendak umum bisa dibilang sebentuk ”antidemokrasi”. Mengapa? Demokrasi bertolak dari yang terbatas, bukan yang umum. Demokrasi bertolak dari gagasan mengenai demos: warga yang diukur berdasarkan partisipasinya dalam substansi politik. Politik kewargaan adalah jantung demokrasi. Sebaliknya, politik kehendak umum adalah infiltrasi ideologis terhadap diskursus demokrasi.
Apa sesungguhnya substansi politik itu? Substansi politik adalah sesuatu yang tercipta melalui aksi politik yang bulat. Aksi politik bisa dibilang sebagai ”peristiwa” yang mengawali kelahiran politik. Dia adalah muasal bulat lonjong sebuah entitas politik. Bahasa hukum tata negara menyebutnya ”konstitusi”.
Penciptaan konstitusi adalah aksi politik dari ”rakyat sebagai kesatuan politik” (bangsa). Aksi tak melibatkan seperangkat norma yang mengikat. Aksi politiklah yang menentukan keseluruhan raga politik dalam sekali pukul. Aksi politik me-rupa-kan bentuk dan jenis entitas politik secara substansial dan abadi.
Jerman pada masa penyusunan konstitusi Weimar sudah membuktikannya. Rakyat Jerman saat itu adalah kesatuan politik yang kemudian menentukan jenis dan tipe Jerman sebagai entitas politik. Rakyat Jerman menentukan Jerman sebagai negara demokratis, republik, federal, dan berbasis parlementarianisme yang melindungi hak dasar dan menganut pemisahan kekuasaan. Semua itu adalah substansi politik yang dikunci secara yuridis dalam konstitusi Weimar.
Dengan demikian, konstitusi harus dibedakan dengan statuta (constitutional
Konstitusi, karenanya, adalah sebuah kesatuan dan bukan penjumlahan sederet statuta yang tak bertautan. Konsekuensinya, amandemen harus dibatasi. Klausa- klausa kunci yang sudah dipatri mati dalam sejarah republik tidak dapat diamandemen. Sebaliknya, dalam kedaruratan, statuta dapat saja dibekukan presiden. Dalam Pasal 48 Ayat 2 konstitusi Weimar, presiden dapat membekukan hak dasar yang diatur dalam Pasal 114,115,117, 118, 123,124, dan 153 untuk sementara waktu. Meskipun demikian, kekuasaan luar biasa presiden dalam kedaruratan tetap tidak dapat menyentuh klausa-klausa kunci yang menjadi jantung konstitusi.
Demokrasi adalah sebuah ruang dengan batas-batas yang jelas. Penghuninya bukan manusia universal, melainkan warga negara sebagai subyek politik. Selaku subyek politik, warga negara diukur berdasarkan partisipasinya pada substansi yang dikunci dalam konstitusi. Oleh sebab itu, konstitusi harus senantiasa dijaga dari segenap upaya amandemen terhadap substansi politik sebab apabila substansi tersebut diubah, kita tidak lagi hidup di dalam demokrasi, melainkan sesuatu yang entah apa. Bahkan, bisa dibilang kita akan kehilangan konsep kewargaan dan negara sekaligus.
Aksi politik menciptakan konstitusi sekaligus menentukan berbagai kunci politik yang menjadi patokan demos. Seperti Jerman, bangsa kita pun sudah merumuskan kunci-kunci tersebut. Sejarah mengajarkan bagaimana bangsa ini menginginkan sebuah entitas politik yang presidensial, unitarian, demokratis, republik, dan