21 Februari 2010

» Home » Kompas » Kerahasiaan Perbankan

Kerahasiaan Perbankan

Menanggapi Pansus DPR tentang Hak Angket Bank Century yang meminta data soal sejumlah besar nasabah Bank Century yang saat ini berganti nama menjadi Bank Mutiara untuk kepentingan pengungkapan fakta di Pansus, Ketua Perbanas menilai tindakan itu berlebihan karena menyalahi ketentuan mengenai kerahasiaan perbankan.
Ia mengharapkan Pansus menghormati hukum. Jika Pansus meminta data deposan besar di sebuah bank, akan sangat berbahaya karena masyarakat dapat saja tidak menyimpan dananya di bank (detikfinance, 12/12/2010). Permintaan Pansus tak dipenuhi pimpinan Bank Mutiara karena mereka tunduk pada ketentuan tentang rahasia perbankan.


Setelah memperoleh masukan atau saran dari Mahkamah Agung, Pansus menyiasatinya dengan meminta penetapan pengadilan agar memperoleh data yang diharapkan. Rupanya tidak mudah menerobos kerahasiaan perbankan. Ketentuan mengenai rahasia perbankan diatur dalam Pasal 1 Ayat 28 Undang-Undang (UU) Nomor 10 Tahun 1998 yang berbunyi, ”rahasia bank adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya”. UU ini juga mengatur tegas larangan membuka identitas nasabah. Seandainya Indonesia bagian dari negara persemakmuran (commonwealth), Pansus tak perlu meminta penetapan pengadilan untuk memperoleh data dari bank.
Hampir semua negara persemakmuran menerapkan yurisprudensi Inggris yang dipakai sebagai standar kualifikasi bagi pengungkapan keterangan mengenai nasabah bank, yakni putusan perkara Tournier v National Provincial and Union Bank of England, 1924, atau terkenal dengan sebutan Tournier’s Case. Putusan Tournier’s Case memberikan kewenangan kepada bank untuk mengungkapkan keterangan mengenai nasabahnya bilamana memenuhi salah satu dari empat syarat/kondisi.
Salah satu syarat atau kondisi tersebut adalah ”Where there is a duty to the public to disclosure”, bank berkewajiban untuk melakukan pengungkapan kepada publik, misalnya dalam hal diminta DPR, bank dapat mengungkapkan keterangan mengenai aliran dana tertentu yang dicurigai merupakan praktik kejahatan. Dalam praktik perbankan atau praktik bisnis, hal biasa seorang nasabah berpindah-pindah atau berganti-ganti bank, seperti juga lazim seorang nasabah memiliki simpanan pada beberapa bank. Pertanyaannya, apakah bank masih terikat terhadap kewajiban rahasia bank setelah nasabah tak lagi jadi nasabah bank yang bersangkutan?
Hal ini ternyata tidak diatur UU, sedangkan dalam tujuh hal yang jadi pengecualian kerahasiaan perbankan sebagaimana diatur UU No 10/1998, ada enam pengecualian yang harus atas izin Bank Indonesia dan satu yang tak perlu izin BI, yaitu bagi ahli waris sah dari nasabah penyimpan dana yang telah meninggal dunia. Sayangnya, dari tujuh alasan yang jadi pengecualian, belum termasuk alasan demi kepentingan publik kerahasiaan perbankan dapat diterobos.
Kesepakatan G-20
Kerahasiaan perbankan menjadi isu internasional karena merupakan salah satu hasil kesepakatan KTT G-20 di London, awal Maret 2009. G-20 menyepakati penghapusan kerahasiaan perbankan sebab khawatir atas pelarian dana yang pemiliknya tak bisa diketahui ke berbagai tempat dan negara di dunia karena terikat pada peraturan mengenai kerahasiaan perbankan pada negara bersangkutan. Kesepakatan ini berawal dari ketegangan antara AS dan Swiss. Awal tahun lalu, AS meningkatkan tekanan kepada Swiss untuk membuka identitas 52.000 pemilik rekening yang merupakan nasabah warga AS yang diduga menggelapkan pajak. Upaya ini rupanya tak membawa hasil karena Swiss yang dikenal sebagai surga bagi wajib pajak (tax haven) terikat aturan mengenai kerahasiaan perbankan. Mengingat negara ini adalah bagian dari G-20, Indonesia seharusnya segera menindaklanjuti hasil G-20 dengan merevisi beberapa UU terkait kerahasiaan perbankan, yaitu UU No 10/1998 tentang Perbankan dan UU No 25/2003 mengenai Tindak Pidana Pencucian Uang, karena dipandang belum memenuhi prinsip internasional.
Selama ini, dengan berlindung di balik ketentuan kerahasiaan bank, perbankan sebenarnya turut andil dalam tindak pidana pencucian uang. Kerahasiaan bank, kerahasiaan finansial secara pribadi, dan efisiensi transaksi merupakan tiga permasalahan yang harus diatasi apabila ingin menggagalkan praktik kotor pencucian uang haram. Di negara demokrasi modern, di mana kesejahteraan rakyat jadi prioritas, prinsip rahasia perbankan yang menodai keadilan publik sebaiknya diabaikan.
Apabila penerapan good corporate governance yang notabene berlaku untuk semua pelaku usaha termasuk perbankan dan good governance bagi penyelenggara negara serta nilai-nilai Pancasila berjalan baik, tentunya tidak perlu khawatir dengan penghapusan kerahasiaan perbankan.
Dominikus Dalu S Asisten Ombudsman pada Ombudsman Republik Indonesia
Opini Kompas 22 Februari 2010