21 Februari 2010

» Home » Lampung Post » Bencana Keruntuhan Hukum

Bencana Keruntuhan Hukum

Janpatar Simamora
Dosen Fakultas Hukum UHN, sedang studi lanjut di Program Pascasarjana UGM Yogyakarta.
... to enable and to compel law making, and also interpretation and application of legal rules, to make more account, and more intelligent account of the social facts upon which law must proceed and to which it is to be applied... (Roscoe Pound, 1912 sebagaimana dikutip Satjipto Rahardjo).
Ketika berkunjung ke Lembaga Pemasyarakatan Tangerang, Banten, pada Selasa, 16 Februari 2010 lalu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengungkapkan bahwa keadilan tidak selalu sejalan dengan hukum meskipun penegakan hukum itu sendiri harus sedekat mungkin dengan keadilan. Namun, manakala ada jarak antara hukum dan keadilan, mari kita tata agar keadilan dapat tegak.


Rasa keprihatinan Kepala Negara yang diwujudkan dalam bentuk ungkapan itu sangat wajar dimaknai sebagai bentuk keprihatinannya dalam menyikapi fenomena penegakan hukum di Tanah Air. Tak dapat dipungkiri pula bahwa mencermati "sinetron penegakan hukum" belakangan ini telah meletakkan nurani publik menjadi miris, prihatin, dan terkadang muak. Hukum yang seyogianya ditempatkan sebagai sarana dalam menciptakan keadilan, justru dikerdilkan dan diperalat untuk mengelola kepentingan para pemodal dan pihak-pihak yang dengan leluasa memiliki kekuatan dalam menjadikan hukum ibarat produk bisnis.
Melegitimasi Tindakan Ilegal
Bahkan, tidak jarang pula hukum diperalat untuk menerabas keadilan dan menancapkannya sebagai alat untuk melegitimasi tindakan-tindakan ilegal. Alat-alat kekuasaan negara dengan legitimasi kekuasaan yang melekat dalam pangkuannya selalu berusaha untuk menyetir dan mengendalikan hukum, sepadan dengan permintaan oknum-oknum yang sudah punya tradisi dalam membangun ketidakkonsistenan pada suatu ruang yang cukup eksklusif.
Si miskin dan rakyat jelata pun akhirnya terjerat sebagai tumbal dari tindakan penguasa yang begitu rentan dengan sikap menelikung dan membelokkan hukum dalam suatu jalur nonformal. Sementara lubang ketidakadilan semakin menganga dan siap untuk menerkam korban-korban yang tidak punya akses dan kemampuan membangun jaringan secara sistematis.
Hukum dipolitisasi, digiring, dan ditatah menuju ruang yang penuh kemunafikan. Nurani dan keadilan substansial dikunci dalam satu ruang yang muskil dan terkadang begitu agresif dalam mencari mangsanya. Berbagai bentuk transaksional sengaja dipelihara dan dikembangbiakkan dalam suatu ekosistem yang tertata dengan rapi dan kemudian bergejolak menjadi sebuah jaringan penuh dusta.
Praktek penegakan hukum yang demikian akhirnya menelurkan korban-korban yang siap untuk menerima eksekusi dengan berbagai bentuk dan format. Walau terkadang ingin berontak dan bermaksud keluar dari kungkungan serta perangkap para algojo-algojo penguasa, suara hati nurani tidak kuasa untuk berontak dan melakukan perlawanan.
Tak ada keadilan tanpa materi. Walaupun ungkapan ini sulit diterima naluri, harus diakui bahwa situasi ini begitu kuat mewarnai proses penegakan hukum di Tanah Air. Berhukum ibarat mendapat ukuran dari materi dan kekuasaan. Hukum pun menjadi begitu tajam untuk menusuk dan melukai hati kaum marginal. Maka, tidak heran bila kemudian muncul kasus-kasus yang idealnya tidak perlu direspons dengan hukum, tapi dengan langkah agresif berhasil membungkam dan menerkam korban-korbannya.
Kasus nenek Minah, Lanjar, dan proses penegakan hukum lain hanyalah contoh kecil yang sangat menyayat hati, bagian dari polarisasi hukum dan kekuasaan serta materi. Ada begitu banyak perkara penanganan hukum yang penuh dengan lubang-lubang ketidak-adilan luput dari media massa. Persoalan ini juga ditengarai keterbatasan secara personal para kaum marginal yang tidak mampu untuk menelusuri alternatif lain mendapatkan keadilan selain di depan persidangan pengadilan.
Kondisi ini cukup menggambarkan betapa saat ini hukum kita sedang dalam bencana yang sudah hampir runtuh dan roboh ditelan berbagai bentuk penyimpangan. Kacamata hukum yang selalu dipusatkan pada konsep formal legalistic sangat diyakini tidak akan mampu membangun suatu proses hukum yang menggambarkan keadilan yang sesungguhnya.
Mengubah Penafsiran
Untuk menyelamatkan hukum dari bencana keruntuhan, hukum harus dipandang dalam konsep kepentingan masyarakat yang lebih besar daripada hanya memusatkan perhatian dan menafsirkannya dari sudut pandang logika dan aturan formal semata.
Roscue Pound mengungkapkan hukum harus dimaknai sebagai law as a tool of social enginering. Hukum harus mampu untuk mengendalikan dan merekayasa perkembangan masyarakat, termasuk kehidupan politiknya. Seyogianya hukum harus menjadi penentu arah perjalanan masyarakat dan dijadikan sebagai sarana untuk memberikan jaminan perlindungan dan ketertiban masyarakat.
Hukum selayaknya bukan hanya sekadar aturan-aturan formal yang tidak bernafas dan tidak memiliki rasa, melainkan lebih dari itu. Hukum harus benar-benar hidup dan mampu untuk mengilhami tujuan sosial. Hukum bukanlah suatu institusi yang absolut dan tidak bisa ditafsirkan dalam kerangka kepentingan yang lebih besar. Ruang penafsiran hukum harus mulai bergeser dan dikembangbiakkan dari aturan formal yang otonom menuju pola pikir yang lebih manusiawi.
Opini Lampung Post 22 Februari 2010