01 Januari 2010

» Home » Kompas » Saat Tahun Berganti

Saat Tahun Berganti

Seperti halnya makhluk yang menjejaki tua, begitu pun hidup semesta ini: menua dan memayah. Semua menunggu jemputan masa yang menuakan dan memayahkan segalanya.
Namun, kemafhuman menjadi tua dan payah banyak ditutupi oleh keingarbingaran merayakan pergantian tahun; setiap tahun selalu begitu dilalui manusia, tanpa bosan-bosannya. Begitu pun masa, yang belum jenuhnya menggulirkan lembar demi lembar kisah kehidupan yang menumpuk ampas amal-amal perbuatan manusia, merupa maslahat atau sebaliknya: kerusakan bagi hidup semesta ini.


Dan hal itu yang saat-saat ini begitu seriusnya tengah manusia hadapi dan—karena kecemasannya—coba dihindari dan diatasi. Sebutlah isu-isu pemanasan global hingga ancaman ”kiamat” yang ditakutkan terjadi pada tahun yang tidak lama lagi menjelang, begitu yang ramai dibilang ramalan atau prediksi—menggeli(sah)kan—dalam buku hingga film yang begitu laris dan mengguncang iman pada tahun 2009.
Banyak yang menyadari, ini ampas amal-amal perbuatan manusia yang menuai banyak kerusakan itu. Ada yang seakan menenangkan atau menghibur diri dengan mengimani kehidupan ini bagai kisah dalam teater klasik Yunani dan Romawi saja: tiba-tiba saja di balik layar muncul Deus ex Machina, ”tuhan” yang segala mampu memecahkan dilema. Dalam dunia nyata saat ini, ”tuhan” itu mewujud dalam pengultusan sains dan teknologi modern, yang mana dengannya semua hasrat bisa tergapai, meski nyata akhirnya banyak tergadai.
Benih yang tertanam sejak masa Aufklärung, ketika alam yang dihadapi milieu rasionalisme, oleh Alexander Pope dianekdoti: ”Nature and nature’s laws lay hid in night,//God said, ’Let Newton be,’ and all was light”. Bayangkan itu masa-masa abad ke-18, selepas dominasi dan dogma gereja Abad Pertengahan tumbang oleh rasionalisme Abad Pencerahan. Agama pun menjadi hambar saat ilmu pengetahuan dengan rasionalismenya menjadikan manusia jumawa dan alam pun takluk.
Mangsa kebuasan
Lalu, rasakan, saat benihnya itu sekarang membesar; dan tahun demi tahun yang berganti adalah—meminjam kata Arnold Toynbee—tantangan dan tanggapan (challenge and respond) kita atas bergulirnya kehidupan ngeri dan bahaya (vivere pericoloso). Dari segala penjuru, manusia dikepung: bencana, ganasnya perubahan iklim, epidemi penyakit, amoralitas, kejahatan yang berpejal sebagai bahaya hidup semesta.
Setidaknya dalam alegori sosialnya yang begitu bagus, HG Wells dalam novel The Time Machine yang ditulisnya pada 1895 mengangkat proyeksinya atas masa depan. Berkisah tentang Time Traveller—begitu Wells menamakan tokohnya—yang mengelana ke masa depan, menembus tahun 802.701. Si pengelana waktu terkejut karena mendapati dunia pada masa tersebut bukan lagi dihuni manusia, tetapi dua kelas makhluk: Morlock, makhluk kanibal yang berabad-abad menghuni dunia bawah tanah, dan Eloi, makhluk baik dan lugu yang menjadi mangsa para Morlock. Selain menjadi saksi punahnya manusia, sang pengelana waktu menyaksikan matahari mendingin, tak lagi memendarkan sinarnya untuk menghangatkan bumi.
Wells secara alegoris menerawang masa depan sebagai masa-masa penuh kejahatan dan kebuasan. Manusia bertabiat baik ibarat para Eloi yang hanya menjadi mangsa kebuasan para Morlock. Dan begitulah yang kita saksikan di dunia nyata. Mulai dari gurita korupsi, hukum dengan kerasnya mendera para papa tak berdaya, hingga kapitalisme dengan buasnya terus menggerus alam dunia yang tanahnya sama-sama kita jejaki, udara yang sama kita hirup, dan surya Matahari yang sama menghangatkan semesta. Bisakah semua itu dibenahi?
Tentu saja jika seandainya ada mesin waktu macam imajinasi Wells, sebagaimana pada 1930-an konon pernah diuji coba seorang ahli mekanika kuantum, Erwin Schrödinger, melalui teori gelombang mekaniknya. Jika seandainya eksperimen Schrödinger berhasil, bayangkan, mungkin akan ada mesin yang bisa mengatur maju-mundur waktu sehingga, layaknya imajinasi dalam cerita, komik, film: masa lalu bisa diperbaiki atau diluruskan seperti kisah-kisah menggelikan dalam Voyager, sebuah serial televisi dekade 1980-an itu.
Jika ambisi manusia menguasai waktu macam begitu benar terwujud, lalu apalah artinya takdir yang dicatat Tuhan bagi hidup semesta? Bahkan, apalah artinya Tuhan Sang Penguasa masa itu sendiri bagi hidup semesta jika manusia mampu merebut masa dari-Nya? Syukurlah, Tuhan memang menjaga ”takdir” membatasi ambisi dan kejumawaan manusia. Buktinya, Tuhan biarkan manusia saat ini gelisah dan takut hadapi kerusakan dunia meski manusia berdaya upaya memulihkannya melalui ”tuhan” sains dan teknologi modernnya. Bukti bahwa Tuhan memang—mengutip syair Rabindranath Tagore—”belum putus asa menghadapi manusia”.
Kegelisahan yang dihadapi semesta saat ini seakan mengesankan dunia tak lebih ibarat sebuah lampu minyak yang telah kehabisan minyaknya, hanya tersisa setetes dengan pijar api mengerjap-ngerjap, segera padam. Teringat pada cerita ramalan kiamat dalam novel Balthasar’s Odysey-nya Amin Maalouf (2003). Berkisah tentang Baldassare Embriaco yang pada masa-masa menjelang tutup tahun 1665 gelisah terhadap sebuah kitab berjudul Nama yang Keseratus yang meramalkan kiamat akan terjadi tahun 1666. Selama pemburuannya ke tiga benua demi mencari kitab pemuat nama Tuhan keseratus yang konon dapat menghindari kiamat itu, ia menyimpulkan bahwa banyak orang yang ditemuinya terbagi menjadi dua sifat. Mereka yang takut pada kiamat dengan memikirkan bencana dan mereka yang mengharapkannya karena memikirkan kebangkitan juru selamat dan pembebasan dari kebobrokan hidup dunia.
Banalnya kehidupan
Tentu saja, seperti halnya Wells, novel ini hanya sindiran atau olok-olok Maalouf atas kehidupan yang begitu banalnya dihadapi manusia pada masa depan; saat tahun-tahun berganti ketika manusia dicekam kecemasan bertumpuk dengan kezaliman, kelaliman, kepandiran, takhayul, goyahnya iman, dan keputusasaan. Kondisi akhir zaman, sebagaimana diwartakan dalam kitab-kitab suci yang kita imani, berkejaran dengan ramalan semisal Nostradamus atau Joyoboyo. Tak ada satu pun tahu semua tabir itu. Sebagaimana kisah Jibril yang menjelma sebagai manusia, menguji Muhammad dengan bertanya tentang kapankah masa akhir zaman? Dijawab Muhammad dengan bijaknya: ”Orang yang ditanya tidak lebih tahu daripada yang bertanya.”
Entah, lembar hidup macam apa yang akan bergulir saat tahun berganti. Kita terus berusaha lalu menunggu: harapan, kelak hidup semesta menjadi aman dan nyaman.
Mengutip ”Buat Ning” karya Sapardi Djoko Damono: Januari mengeras di tembok itu juga, lalu Desember//Musim pun masak sebelum menyala cakrawala//Tiba-tiba: kita bergegas pada jemputan itu. Dan kita: menua, (tapi janganlah) memayah.
Fadly Rahman Pengajar di Jurusan Ilmu Sejarah Universitas Padjadjaran
Opini Kompas 2 Januari 2009