01 Januari 2010

» Home » Pikiran Rakyat » Pejuang Demokrasi Itu Telah Pergi

Pejuang Demokrasi Itu Telah Pergi

Oleh Asep Saeful Muhtadi

RABU (30/12) sekitar pukul 18.45, K.H. Abdurrahman Wahid mengembuskan napasnya yang terakhir. Mantan Presiden RI yang lebih populer disapa Gus Dur ini meninggalkan banyak jasa dan padat kenangan. Gus Dur bukan saja seorang kiai, ahli agama, tetapi juga seorang negarawan, yang tidak lelah-lelahnya memperjuangkan tegaknya nilai-nilai demokrasi dalam kehidupan masyarakat Indonesia yang plural ini.

Atas jasa dan konsistensi perjuangannya itu, awal 1999, Majalah Berita Independen REM menetapkan K.H. Abdurrahman Wahid sebagai ”Man of the Year 1998”. Gus Dur terpilih karena sikap dan perilakunya yang sangat concern terhadap demokratisasi, hak-hak politik masyarakat, hak asasi manusia, dan kemanusiaan tanpa membeda-bedakan suku, agama, ras, dan golongan. Pada 2 Januari 1999 di Ciganjur, Gus Dur berkata, ”Penghargaan yang diterimanya  adalah penghargaan pada sebuah cita-cita.”


Tidak heran ketika menjadi orang nomor satu di negeri ini, Gus Dur semakin mengokohkan dirinya sebagai politikus yang tidak pernah ragu memainkan berbagai jurus politik dalam setiap manuver politik yang dimainkannya. Sejarah menunjukkan, Gus Dur adalah gabungan dari kualitas negarawan, politisi, budayawan, agamawan, dan intelektual dengan sumbangan pemikiran dan peranan yang tak terbantahkan dalam proses demokratisasi selama Orde Baru.

Di kalangan NU, Gus Dur adalah tokoh langka yang cukup dominan mewarnai perjalanan politik NU, terutama sejak dekade 1970-an. Fenomena politik Gus Dur ini berhasil membangun citra baru NU. Meskipun Gus Dur dan tokoh NU lainnya sering mengklarifikasi pernyataan-pernyataan politik Gus Dur tidak selalu identik dengan penyataan-pernyataan politik NU, antara keduanya -- NU dan Gus Dur -- memang sulit dipisahkan.

Apa yang membuat Gus Dur menjadi demikian dominan dalam melihat perilaku politik NU, salah satunya karena pernyataan-pernyataan politiknya yang hampir selalu kontroversial sehingga dapat mengundang banyak kalangan untuk terlibat perdebatan. Ibarat sebuah teks, kata Al-Zastrouw (1999: 3), Gus Dur memang terbuka untuk ditafsirkan. Dengan melihat Gus Dur sebagai sebuah teks, penafsiran-penafsiran orang atas apa yang dilakukannya itu kemudian dapat dibenarkan.

Jauh sebelum  terpilih menjadi Ketua Umum PBNU, Gus Dur sudah dipersoalkan kalangan NU. Akan tetapi, karena dukungan dari salah seorang sesepuh NU, Kyai As’ad Syamsul Arifin, akhirnya Gus Dur tetap lolos sebagai ketua umum. Menariknya lagi, lima tahun berikutnya, Kyai As’ad sendiri yang mencoba menjegal langkah Gus Dur untuk terpilih kembali pada Muktamar ke-28 di Krapyak, Yogyakarta. Alasan yang dikemukakannya cukup prinsip, yaitu soal gagasan ”pribumisasi Islam” yang dilontarkan Gus Dur. Gagasan itu bukan saja dinilai telah keluar dari tradisi keagamaan NU, tetapi juga telah mendapat tanggapan serius dari kalangan umat Islam Indonesia pada umumnya.

Langkah politik Gus Dur sering dinilai banyak kalangan sebagai sesuatu yang membingungkan. Peranannya yang cukup besar dalam mendorong NU sebagai ormas Islam pertama yang menerima konsep asas tunggal Pancasila telah mendudukkan dirinya pada tempat yang tidak sejalan dengan arus kebanyakan ormas Islam lainnya. Bahkan, ia dituding ”mengkhianati” Islam ketika mengajak warga NU keluar dari lapangan politik sebab ajakan itu diterjemahkan sebagai upaya menggembosi PPP sebagai ”wadah politik” kaum nahdliyin sejak NU berfusi pada 1973.

Di sisi lain, manuver berani itu pula yang hampir mencelakakan dirinya dalam Muktamar NU ke-30 di Cipasung, Jawa Barat, 1994. Saat itu kursi Ketua Umum PBNU hampir lepas ke tangan Abu Hasan yang -- mungkin di luar perkiraannya -dapat meraih 46 persen suara. Gus Dur lalu membuat jarak dengan pemerintah sehingga pemerintah pun menolak menerima kunjungan anggota PBNU yang baru disusunnya.

Selama pemerintahan Orde Baru, Gus Dur juga dikenal sebagai sosok yang berani mengkritik kekuasaan. Akan tetapi, menariknya lagi, menjelang Pemilu 1997, sikap Gus Dur kembali berbalik. Ia membuat manuver politiknya yang mengundang pertanyaan banyak pihak. Pada musim kampanye, Gus Dur menggandeng putri sulung Soeharto, Siti Hardianti Rukmana, yang menjadi juru kampanye Golkar, untuk menghadiri silaturahmi dan istigasah kubro NU, sekaligus membawanya berkeliling ke berbagai pesantren NU.

Begitu panjang liku-liku sepak terjang politik Gus Dur yang akhirnya ikut mengantarkan perjalanan politiknya menuju istana. Tahun 1999 Gus Dur menjadi presiden ke-4 RI. Lebih dari itu, Gus Dur pun diakui sebagai guru bangsa bukan saja bagi kalangan nahdliyin, tetapi juga bagi komunitas Islam pada umumnya dan bahkan di luar Islam. Di sisi lain, tidak sedikit kalangan yang melihat terpilihnya Gus Dur sebagai presiden menandakan kebangkitan kaum santri dari ketertindasan politik, yang selama bertahun-tahun aktivitas politiknya dicurigai dan diintimidasi. Bahkan, kemunculan Gus Dur di kursi kepresidenan dipandang banyak kalangan sebagai ”Manunggaling Pandito Ratu”, yakni bersatunya ulama dan umara dalam pribadi Gus Dur.

Akan tetapi, sekali lagi, Gus Dur, dalam posisinya sebagai presiden sekalipun, tetap menarik perhatian karena pendapat serta kebijakannya yang hampir selalu mengundang kontroversi, mulai dari isu pencabutan Tap. MPRS Nomor XXV Tahun 1966 tentang larangan ajaran Marxisme dan Leninisme serta partai komunis di Indonesia hingga keputusan dikeluarkannya Dekrit Pembekuan DPR/MPR dan Partai Golkar pada 23 Juli 2001.

Saya kira, dinamika perjalanan politik Gus Dur inilah yang telah menjadi kekuatan perekat antara dirinya dan masyarakat pada umumnya. Kepergiannya menuju peristirahatannya yang terakhir mengundang duka bangsa yang kebetulan tengah diliputi berbagai persoalan.

Selamat jalan Gus Dur. Jasa-jasamu akan tetap dikenang. Titipan perjuangan demokrasi yang masih menyisakan perjalanan panjang di negeri ini adalah pekerjaan yang tidak boleh disia-siakan.***

Penulis, peneliti NU dan pegiat Kampung Belajar.
Opini Pikiran Rakyat 2 Januari 2009