01 Januari 2010

» Home » Solo Pos » In memoriam Gus Dur Seorang ”Ayatullah” yang Pancasilais

In memoriam Gus Dur Seorang ”Ayatullah” yang Pancasilais

Gus Dur adalah sebuah fenomena. Ketika wafat, sontak bangsa Indonesia dan bahkan dunia memberikan kesaksian bahwa Gus Dur ternyata sebuah simbol. Seperti di Iran, ada tokoh Revolusi Iran dan Pemimpin Agung Iran pertama, yaitu Ayatullah Rohullah Khomeini.

Di Indonesia ada Gus Dur yang begitu fenomenalnya dalam konteks perubahan sosial dan budaya, sehingga dapat dipersonifikasikan sebagai seorang “Ayatullah”.
Seorang Ayatullah adalah pemimpin agung. Jika Gus Dur merupakan personifikasi seorang Ayatullah maka letak “keagungannya” pada konteks ia memandang Indonesia sebagaimana ia memandang dirinya. Artinya, jika dalam kata sambutan Presiden SBY pada saat pemakaman yang menyebut Gus Dur adalah Guru Bangsa, maka secara sadar kita menempatkannya sebagai seorang pemimpin spiritual yang sudah tercerahkan.


Jika kita bandingkan, Ayatullah Rohullah Khomeini memimpin Revolusi Islam Iran untuk merubah tatanan negara dikemas dengan kemarahan yang berakibat pada pertumpahan darah, maka Gus Dur justru merubah tatanan negara dengan kekuatan dan pendekatan pluralisme.
Gus Dur dapat mencegah bias reformasi yang berwujud ancaman disintegrasi bangsa. Maka ketika menjabat sebagai presiden sejak 1999 ia melakukan lawatan ke luar negeri sebulan empat kali dengan tujuan mencegah disintegrasi Indonesia. Seringnya lawatan ke luar negeri itu adalah sebuah metode yang secara logika politik sulit dipahami oleh awam.
Seorang Ayatullah jelas mempunyai legitimasi kharismatik. Sifat kharismatik itu tercipta dari sebuah proses perjalanan hidup yang dilalui. Konsepsi keagamaan yang kental dan mengalir dalam darah mela lui “trah” Hasyim Asyari, serta kesempatan pendidikan di luar negeri membentuk legitimasi kharismatiknya itu.
Bahkan di tahun 1989 Romo Sindhunata dari Universitas Sanata Dharma Yogyakarta dalam sebuah seminar tentang wayang merepresentasikan tokoh Semar ada pada sosok Gus Dur. Ia adalah “Sang Pamomong” bagi sebuah keadaan sekaligus sebagai simbol kawula. Itulah ciri-ciri sebagai seorang “Ayatullah”. Kharismatik, simbol perlawanan, simbol pengayom, spiritualis, pluralis dan demokratis.
Gus Dur bukanlah sebuah wahana kereta api yang hanya berjalan di rel. Artinya, jika ada kereta yang jalan ke barat lalu ada yang jalan ke timur maka akan terjadi tabrakan kalau salah satu tidak berhenti. Ia adalah sosok ibarat wahana pesawat terbang yang dapat melakukan manuver-manuver indah di keleluasaan angkasa.
Ia dapat bermanuver untuk mendekati Israel kala negara dan sebagian besar rakyat anti Israel. Ia tak canggung tampil di forum gereja atau vihara dan tempat ibadah umat selain Islam. Oleh karena itu apa yang dilakukan Gus Dur adalah mengajak cara berpikir angkasawan yang dapat keluar dari tata surya menjelajah galaksi yang luas.
Padahal sebagian besar dari kita ternyata masih berpikir ala jalan rel kereta api, menang-menangan, mudah menuduh sesat terhadap keyakinan kelompok lain, tidak toleran, dan sempit mentalnya.
Ia mudah saja jadi Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ), sesuatu yang dianggap menyimpang dari khittah sebagai pemimpin umat agama (Islam). Gus Dur adalah sosok manusia Indonesia yang bermatra ganda, bukan matra tunggal. Sebagai manusia bermatra ganda ia dapat menyerap dan menghargai bermacam-macam jalan dan ladang, gunung dan lembah kehidupan dan galaksi realitas dan citra.

Pancasilais
Dus Dur menunjukkan diri sebagai manusia yang selalu kontekstual dan tidak spasial. Oleh karena itu ia adalah universalis yang berkeyakinan bahwa kebenaran mutlak hanya milik Tuhan. Sekalipun ia diakui sebagai seseorang yang mempunyai kemauan keras terhadap sesuatu tetapi ia tidak suka main mutlak-mutlakan.
Tidak disangsikan lagi bahwa Gus Dur adalah Pancasilais sejati. Dia paham apa arti Ketuhanan Yang Maha Esa. Di lingkungan para Bhiku Budha ia sering mengatakan “agamamu adalah agamu, agamaku adalah agamaku”. Hal itu lebih mudah lagi dipahami melalui kumpulan esainya yang berjudul Islamku, Islam Anda, Islam Kita.
Mau menyebut Tuhan dengan istilah apa saja bagi Gus Dur tidak jadi soal. Maka, ia mencabut Inpres No14/1967 sehingga etnis Tionghoa di Indonesia termasuk komunitas yang tercerahkan untuk mengekspresikan kembali kodrat “Ketuhanannya” melalui agama Konghucu.
Itu membuktikan bahwa semua elemen masyarakat yang hidup di Indonesia menjadi target pembelaan atas nama demokrasi dan humanisme. Ia pun tidak sependapat ketika di tahun 1999 ada wacana untuk memasukan kembali kata-kata kewajiban untuk menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya dalam wacana amandemen UUD 1945.
Tak diragukan lagi ia juga menjadi pembela hak asasi manusia (HAM) yang sejati pula. Dimensi kemanusiaan dalam Pancasila benar-benar diapresiasi dalam berbagai langkah pembelaan HAM baik di tanah air maupun di dunia. Tahun 1993, Gus Dur menerima Ramon Magsaysay Award, sebuah penghargaan yang cukup prestisius yang kerap dikaitkan dengan peran sosial.
Pada 11 Agustus 2006, Gus Dur mendapatkan Tasrif Award dari Aliansi Jurnalis Independen (AJI) sebagai Pejuang Kebebasan Pers 2006. Gus Dur juga dapat penghargaan dari Simon Wiesenthal Center, sebuah yayasan yang bergerak di bidang penegakan HAM.
Dalam masalah menjaga eksistensi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) peran Gus Dur sangat nyata. Wacana negara federal yang muncul di awal reformasi disikapi secara bijak oleh Gus Dur dengan tetap mendukung negara kesatuan tetapi isinya adalah tatanan federal. Sehingga, ancaman separatisme yang akan memecah belah Indonesia dapat dihindarkan.
Dalam menyambut pergantian tahun baru 2000 ke 2001 yang dimaknai sebagai memasuki abad milenium, Gus Dur memperingati pergantian tahun itu di tanah Papua. Itu adalah sebuah simbol yang dapat diinterpretasikan sebagai bentuk bagaimana pendekatan persatuan Indonesia.
Jika demikian, sebagai manusia matra ganda, Gus Dur tidak menyukai kekejaman, kediktatoran, keangkuhan, kerakusan, korupsi, kebohongan, kebunglonan, dan sebagainya. Ia paham arti kenisbian secara benar sehingga ia sangat kuat watak tolerannya. Gus Dur tidak meributkan avant garde atau tradisional, karena yang ia cari selalu kualitas hidup, veritas et pulchritude, kebenaran dan keindahan.
Pendek kata, segala pujian tidak habis untuk Gus Dur karena ia adalah sebuah fenomena. Yaitu, sebuah fenomena seorang “Ayatullah Pancasilais” yang mungkin tidak dijumpai di negara Islam manapun di dunia ini…! Selamat jalan Gus….! -

Oleh : Tundjung W Sutirto, Pemerhati budaya, Dosen Ilmu Sejarah FSSR UNS
Opini Solo Pos 2 Januari 2009