17 Januari 2010

» Home » Media Indonesia » Pungli? Sudah Menjadi Tradisi!

Pungli? Sudah Menjadi Tradisi!

PUNGLI (pungutan liar) sudah menjadi rahasia umum di masyarakat kita, baik di tingkat RT bahkan sampai tingkat birokrasi 'eselon atas'. Pernyataan itu tidak mengada-ada. Sudah banyak masyarakat yang terlibat langsung dalam praktik pungli, baik sebagai pihak yang berposisi sebagai pemungut (penarik pungli) maupun sebagai pihak yang dipungut (korban pungli). Ironisnya lagi, di beberapa tempat, bahkan, telah menjadi kesepakatan tak tertulis kedua belah pihak tersebut tentang 'tata cara' pungli.


Lembaga-lembaga atau instansi yang berpotensi besar menjadi ladang subur pungli di antaranya adalah (tanpa menyebut nama lembaga) saat mengurus SIM dan STNK, membuat paspor, dan pembayaran visa. Termasuk di pintu keluar masuk bandara, karcis peron terminal bus antarkota, mengurus masalah/kasus hukum, menguburkan jenazah, hingga saat mengurus KTP/KK/akte kelahiran. Tentu saja tidak cukup tempat dan waktu di sini untuk menyebutkan satu per satu instansi yang 'membudayakan' praktik pungli tersebut.

Menurut hemat saya, praktik pungli di Indonesia sudah mendarah daging, terutama di sebagian besar aparat pelayan masyarakat yang seharusnya benar-benar melayani masyarakat. Itu karena oknum aparat tersebut memiliki 'kekuasaan' dan 'kesempatan' untuk melakukan praktik pungli tersebut.

Anehnya, sebagian besar masyarakat malah 'mendukung' praktik tersebut dengan (meskipun terpaksa) memberikan sejumlah uang yang diminta dengan dalih agar lebih cepat pengurusannya.

Kalau kita lihat, sebenarnya ada dua kepentingan yang muncul dalam pengurusan KTP/KK/akte kelahiran ini. Pertama, kepentingan dari oknum aparat 'pelayan masyarakat' yang memang memiliki kekuasaan. Dalam hal ini, tanda tangan pejabat dan stempel legalitas. Kedua, kepentingan dari masyarakat yang membutuhkan tanda tangan dan stempel tersebut untuk mengurusi surat-surat data diri.

Nah, kepentingan itulah yang dapat dipermainkan. Pihak pertama merasa punya kekuasaan, tapi pihak kedua berharap pengurusan surat-surat tersebut lebih cepat dan tidak merepotkan. Jadi, siapa yang disalahkan? Seperti mencari ketiak ular saja. Semoga pungli tidak menjadi tradisi yang akut pada generasi kita berikutnya, dengan cara semua pihak menyadari posisinya masing-masing.

Mustofa, Tangerang Selatan
Opini Media Indonesia 18 Januari 2010