17 Januari 2010

» Home » Kompas » Dilema Indonesia dalam ACFTA

Dilema Indonesia dalam ACFTA

Mulai awal tahun ini Indonesia secara resmi terkunci dalam pelaksanaan kesepakatan Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China. Sejak ide ACFTA mulai dicetuskan oleh mantan Perdana Menteri China Zhu Rongji pada Pertemuan Puncak ASEAN Keenam tahun 2000, berbagai tanggapan mulai bermunculan dari para pembuat kebijakan, pelaku usaha, ataupun kaum cendekiawan di Asia Tenggara.
Di Indonesia, para pendukung Kawasan Perdagangan Bebas ASEAN-China (ACFTA) melihat pelaksanaan kesepakatan perdagangan itu akan bermakna besar bagi kepentingan geostrategis dan ekonomis Indonesia dan Asia Tenggara secara keseluruhan. Pertumbuhan perekonomian China yang relatif pesat waktu itu menjadikan Negara Tirai Bambu itu salah satu aktor politik dan ekonomi yang patut diperhitungkan Indonesia dan ASEAN.


Sebaliknya, mereka yang berpendapat kritis terhadap kesepakatan perdagangan ini melihat potensi ambruknya industri domestik di Indonesia yang akan kesulitan menghadapi tantangan dari membanjirnya impor produk murah dari China.
Kekhawatiran tersebut memang cukup beralasan. Data statistik Kementerian Perdagangan RI, misalnya, menunjukkan, walaupun jumlah total perdagangan RI dan China meningkat cukup drastis dari 8,7 miliar dollar AS pada 2004 menjadi 26,8 miliar dollar AS pada 2008, Indonesia yang biasanya mencatat surplus dalam perdagangan dengan China, belakangan ini mulai menunjukkan defisit. Tahun 2008, Indonesia mencatat defisit sebesar 3,6 miliar AS.
Partisipasi Indonesia dalam kesepakatan perdagangan bebas ini sebenarnya juga patut dipertanyakan. ACFTA, yang merupakan warisan pemerintahan Presiden Megawati Soekarnoputri, tak pernah diratifikasi melalui lembaga perwakilan rakyat, tetapi hanya melalui Keputusan Presiden Nomor 48 Tahun 2004. Waktu itu pemerintah melihat bahwa kesepakatan perdagangan bebas bilateral hanya akan memberikan dampak pada sebagian sektor ekonomi sehingga ratifikasi DPR tidak diperlukan.
Kurang beralasan
Masyarakat di berbagai negara berkembang dan miskin yang sudah terlibat dalam perdagangan bebas bilateral sudah dapat melihat bahwa kesepakatan ini dapat berdampak cukup serius terhadap kelangsungan kehidupan ekonomi, sosial, dan politik di negara-negara tersebut.
Permintaan sejumlah aktor negara dan pengusaha lokal Indonesia untuk menunda pelaksanaan penuh ACFTA sebenarnya kurang beralasan. Ada beberapa alasan. Pertama, Indonesia, seperti negara Asia Tenggara lain, telah diberikan tenggat lima tahun untuk mempersiapkan diri.
Peringatan yang diberikan oleh Kementerian Perindustrian, Agustus 2009, mengenai potensi dampak negatif sebenarnya bisa dikatakan cukup terlambat. Antara masa akhir pemerintahan Megawati dan akhir pemerintahan pertama Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, pemerintah malah semakin aktif mendorong terbentuknya kesepakatan perdagangan bebas bilateral dengan negara-negara mitra dagang utama lain, seperti Jepang, Korea Selatan, Amerika Serikat, dan Uni Eropa.
Intinya, dalam jangka waktu lima tahun sebenarnya pemerintah dan pelaku usaha dapat mengembangkan strategi konkret untuk menghadapi pelaksanaan penuh ACFTA. Bahkan, jika kita kaji lebih jauh, pemerintah dan pelaku usaha sebenarnya harus dapat belajar dari kesepakatan perdagangan regional ASEAN (AFTA) yang sudah berjalan penuh sejak 2003.
Kedua, Pemerintah China sebenarnya telah memberikan konsesi ekonomi cukup besar terhadap ASEAN dalam proses pelaksanaan menuju ACFTA. Guna menanggapi kekhawatiran para pelaku usaha di Asia Tenggara, Pemerintah China sepakat memberikan satu fasilitas yang dikenal sebagai Early Harvest Programme. Dalam skema program tersebut, Indonesia dan negara-negara anggota ASEAN lain dapat mengekspor sejumlah hasil pertanian mereka tanpa dikenakan tarif apa pun di China mulai tahun 2004 hingga awal 2010. Sayangnya skema ini tak terlalu dieksploitasi oleh pemerintah dan pelaku usaha.
Ketiga, walaupun kita harus berhati-hati terhadap kesepakatan perdagangan bebas apa pun, kebijakan proteksionis berlebihan, khususnya saat dunia mengalami resesi global, tak akan menguntungkan Indonesia. Indonesia sebenarnya harus dapat mengambil kesempatan sebagai satu dari dari segelintir negara di dunia yang mampu bertahan selama krisis global.
Selain itu, karena kecenderungan kebijakan pemerintah yang sudah cenderung bergeser pada sistem pasar, kebijakan proteksionis berlebih juga akan menghambat laju reformasi ekonomi negara ini. Satu hal yang perlu diambil oleh pemerintah saat ini adalah kebijakan yang dapat mengakomodasi kepentingan berbagai aktor di dalam negeri dan berbagai kesepakatan perdagangan internasional yang diambil.
Keempat, keseriusan Indonesia untuk menjadi aktor regional dan global akan dipertanyakan jika pemerintah bersedia mengakomodasi desakan populis untuk menunda pelaksanaan ACFTA. Kelima, Indonesia dapat memainkan peranan penting di antara negara-negara ASEAN dalam pelaksanaan penuh ACFTA ini. Antara lain, Jakarta dapat memengaruhi Beijing untuk melakukan usaha perdagangan dan penanaman modal yang bermoral, demokratis, mempertimbangkan faktor lingkungan, dan menjunjung tinggi HAM.
Pada intinya, penundaan pelaksanaan penuh ACFTA tak akan menguntungkan Indonesia. Indonesia perlu berpikir kritis terhadap dirinya sendiri. Penulis ragu, jika ACFTA ditunda 5-10 tahun ke depan pun kita dapat mendengar tanggapan optimistis dari pelaku usaha Indonesia.
Setidaknya, ACFTA dapat memberikan pelajaran bagi Indonesia. ACFTA, bagaimanapun, hanya satu dari sekian bentuk kesepakatan perdagangan bebas bilateral yang akan dilakukan antara Indonesia dan para mitra dagang. Ke depan, kita seharusnya dapat lebih cepat menanggapi kesepakatan perdagangan internasional yang dicanangkan pemerintah.
Alexander C Chandra Rekanan Peneliti pada Pusat Kajian China, Universitas Indonesia, dan Koordinator Asia Tenggara untuk Trade Knowledge Network (TKN)
Opini Kompas 18 Januari 2010