17 Januari 2010

» Home » Suara Merdeka » ”Loeka Tjinta” Semarang Kita

”Loeka Tjinta” Semarang Kita

  • Surat Terbuka untuk Jero Wacik : Oleh Handry TM
Jika tema sejarah jadi momok lantaran hitungan budget yang tak terjangkau, pasti muncul bias yang tidak elegan. Misalnya, panitia mengarahkan
tema penceritaan yang tak bebas lagi


PADA 19 Desember 2006, dalam acara Anugerah Kebudayaan di Jakarta, Menbudpar Ir Jero Wacik SE meminta maaf kepada budayawan Indonesia. Dengan kalimat tercekat ia menyampaikan rasa maaf  itu. ”Maafkan, baru ini yang bisa pemerintah berikan untuk para seniman dan budayawan.” Artinya, dia merasa jerih-payah dan ketekunan seniman-budayawan dalam membentuk karakter bangsa, belum terjamah negara dengan penghargaan sepadan.

Beberapa menit setelah pidato itu, dia menyerahkan penghargaan untuk pemenang Lomba Penulisan Skenario Film Cerita Tingkat Nasional. Di hadapan pemenang I (Arthur F Nallan, Bandung, Jalan Perkawinan) dan II (karya penulis, Loeka Tjinta) Pak Menteri bilang, ”Selamat ya, juara I dan II insya Allah kita filmkan. Yang lain menunggu uluran tangan produser swasta.”

Lomba penulisan itu sendiri punya semangat kuat untuk memunculkan kisah-kisah aka di berbagai pelosok Indonesia. Sejak diselenggarakan setahun lalu, peserta telah menangkap gelagat tersebut. Tidak heran kalau penulis mencoba mengangkat tema besar di daerah masing-masing.

Benar juga, Ketua Dewan Juri N Riantiarno dalam pidatonya mengemukakan beberapa kecenderungan menonjol dari karya peserta. Antara lain, dengan munculnya garapan historia-sinema Indonesia (film sejarah) tanpa harus membuat film perang.

Teringat pula hasil lomba tahun lalu, tatkala Anne van Jogja, merupakan salah satu pemenang yang juga difilmkan. Skenario tersebut berkisah tentang masa lalu yang perih bagi Indonesia.

Sebagai salah satu pemenang (juara II), tentu penulis berharap janji Pak Menteri mengangkat juara I dan II sebagai film akan terpenuhi. Namun  semangat itu menjadi kendor ketika beberapa wartawan dan penulis berbincang-bincang dengan Ketua Dewan Juri (N Riantiarno) di luar acara seremonial pada waktu itu.

Tahun lalu, yang mungkin difilmkan juara I dan III. Kriterianya, skenario mana yang paling memungkinkan. Untuk skenario dengan bobot kesulitan dan biaya tinggi, Depbudpar akan menawarkan kepada produser swasta.

Nano menengarai juara I Lomba Penulisan Skenario Film Cerita tidak ada masalah untuk dibiayai menjadi karya film. Pertimbangannya, selain skenario itu kuat, dari segi biaya relatif terjangkau. Pertanyaan sedih pun saya lontarkan, bagaimana dengan karya kedua, menurutnya, ”Bukan tidak mungkin.” Kalau memang Loeka Tjinta dianggap penting, sebesar apapun harus diproduksi sebagai film.

Dalam impresi sang Ketua Dewan Juri, Loeka Tjinta sebagai skenario ”gila”. Tapi ia melihat, biayanya pasti tinggi. Ini menjadi PR buat departemen dan pihak swasta. Dalam perjalanan pulang saya tercenung. Perjalanan pasti masih panjang.
Informasi Pasti, ungkapan Nano sebagai ketua dewan juri tidak serta-merta menjadi pernyataan resmi Depbudpar. Namun sebagai orang profesional yang ditunjuk membawahi sebuah projek penjaringan dan penilaian karya, tentu punya informasi dan interpretasi relatif komplet.

Sebagai salah satu penulis yang memenangi lomba, saya merasakan ironisme ini. Itu berarti belum tentu Loeka Tjinta mendapat kepastian diangkat ke layar lebar. Mengingat skenario itu bertemakan tentang perang (pascakemerdekaan, seputar Pertempuran Lima Hari di Semarang), memakan biaya tinggi dan dipenuhi banyak bintang.

Jika biaya menjadi kendala sehingga bisa saja panitia mencomot skenario lain yang lebih mudah diproduksi, alangkah pilu. Tidak adanya jaminan karya pemenang untuk difilmkan, sama artinya dengan bagi-bagi hadiah-sesudahnya skenario itu dikubur di rak lemari. Entah untuk hingga kapan.

Mungkin akan menjadi kesulitan bertahun-tahun jika departemennya Pak Jero Wacik menjadikan ajang ini penuh harapan, kemudian cuma melakukan setengah janji. Mengantisipasi kekhawatiran itu, usai menerima hadiah yang menurut ukuran daerah terbilang fantastis, penulis melakukan tindakan antisipatif. Saya tetap berjuang di tengah kekhawatiran yang berlebihan, agar Loeka Tjinta tetap diangkat sebagai film.

Kesulitan yang tersirat, dalam bayangan semakin nyata. Jangan-jangan naskah itu akan memperpanjang keterlunta-luntaannya selama 15 tahun. Cerita itu saya tulis 18 tahun lalu dengan penuh harapan. Bercerita di balik persitiwa Pertempuran Lima Hari di Semarang, kisah sejarah yang sepanjang hari-sepanjang malam menjadi mimpi pribadi seorang pengarang.

Dalam bentuk lain, cerita itu pernah penulis tulis dalam bentuk cerpen, bahkan cerber di Suara Merdeka Edisi Minggu. Dalam bentuk proposal, skenario ini pernah ditawarkan ke Pemkot Semarang, bahkan Pemprov Jateng. Untuk sebuah film sejarah, mana mungkin mereka dapat mengalokasikan dana APBD.

Bagi seorang penulis, membuat sebuah karya adalah kegelisahan kreatif. Kegelisahan itu tidak lantas berhenti sebatas karya tersebut terbayarkan sebagai pemenang atau terjual, dan sesudahnya diam. Ia harus diperjuangkan, karena si kreator berkeyakinan terhadap manfaat yang ditulisnya.

Apalagi di ajang lomba, penentu baik-buruk sebuah karya  tidak ditentukan hanya oleh satu dua orang (biasanya oleh pengarang dan editornya). Lomba Penulisan Skenario Film ini, dinilai oleh tim juri berjumlah banyak dengan representasi sangat meyakinkan. Nama-nama seperti N Riantiarno, Arswendo Atmowiloto, Yudhistira ANM Massardi, Titie Said, Armantono, Jujur Prananto, Jenar Mahesa Ayu dan lain-lain, cukuplah melegitimasi, bahwa karya pemenang memang layak diantar.

Jika di hari-hari berikut, tema sejarah menjadi momok lantaran hitungan budget yang tidak terjangkau, pasti akan muncul bias-bias yang tidak elegan. Misalnya, panitia akan mengarahkan tema penceritaan yang tidak bebas lagi. Kekhawatiran lain, dewan juri akan mengarahkan pemenang lomba pada format biaya yang sederhana. Kalau ini terjadi, sungguh sayang disayang.
Menurut penulis, ini tanggung jawab Jero Wacik, yang dalam beberapa pekan tampil dengan kinerja yang mengundang penuh harapan bagi budayawan.  (10)

— Handry TM, penulis Loeka Tjinta, Pemenang II Lomba Penulisan Skenario Film Cerita Departemen Kebudayaan dan Pariwisata 2005, kini bekerja untuk Ezzpro Media
Wacana Suara Merdeka 18 Januari 2010