PATUT untuk tidak dilupakan, reformasi bangsa ini telah melahirkan komitmen dalam pemberantasan korupsi secara sungguh-sungguh. Hal ini bermula dari lahirnya Tap MPR No. XI/MPR/1998 yang menghendaki pembersihan dan pemberantasan korupsi di tubuh para petinggi dan penyelenggara negara, bahkan proses hukum harus dilakukan terhadap pejabat-pejabat yang korup, tidak terkecuali terhadap mantan presiden di zaman Orba. Komitmen itu ditindaklanjuti dengan lahirnya UU Tipikor, peradilan khusus Tipikor, lembaga Komisi Pemberantasan Korupsi, termasuk lembaga pendukung lainnya seperti PPATK, bahkan komitmen internasional telah dibangun bangsa ini dengan diratifikasinya konvensi PBB antikorupsi tahun 2003 yang menyepakati korupsi sebagai kejahatan kemanusiaan dengan UU No. 7 Tahun 2006.
Untuk itu, perlu kita ingatkan kepada para petinggi bangsa, wakil rakyat, dan penegak hukum, jalankan kehendak rakyat bangsa ini untuk memberantas korupsi secara sungguh-sungguh tanpa pandang bulu. Jauhkan niat merekayasa kasus dengan meloloskan mereka yang bersalah atau memaksakan yang tidak bersalah menjadi tersangka, dan mendustai kehendak rakyat yang juga termasuk mengerdilkan pemberantasan korupsi.
Peringatan itu harus kita sampaikan karena kita telah mengendus adanya pendustaan terhadap kehendak rakyat, mulai dari munculnya reposisi beberapa penyelenggara negara yang pernah berkiprah serta mendukung pemerintahan korup di zaman Orba, sampai upaya terang-terangan mengkriminalisasi kewenangan pejabat KPK yang diduga keras dibarengi dengan rekayasa kasus seperti menimpa Bibit dan Chandra. Benih-benih upaya mengerdilkan pemberantasan korupsi dapat kita lihat juga dengan adanya unjuk rasa yang ingin membubarkan KPK. Ironis memang, karena para pendemo kita tengarai sebagai orang-orang yang tanpa menyadari telah diperalat oleh koruptor. Patut kita waspadai pula upaya lain untuk mengerdilkan kewenangan KPK, khususnya dalam hal kewenangan penyadapan atau intersepsi yang sebetulnya diatur secara jelas dalam pasal 12 (1) butir a UU Tipikor.
Persoalan penyadapan sepertinya sepele, padahal untuk mem-back up gerakan pemberantasan korupsi sungguh sangat penting. ICW dalam penelitiannya menyebutkan, 80 persen keberhasilan KPK dalam mencokok koruptor berawal dari penyadapan. Dugaan upaya pengerdilan kewenangan penyadapan KPK, yaitu dengan adanya Rancangan Peraturan Pemerintah (RPP) yang salah satu poin dari 12 poin yang berpotensi pengerdilan adalah penyadapan harus dilakukan dengan seizin lembaga lain, dalam hal ini ketua pengadilan.
Izin tersebut dapat dipastikan menghambat upaya pemberantasan korupsi. Dalam hal ini mungkinkah ketua pengadilan dengan mudah memberikan izin penyadapan apabila yang akan disadap adalah ketua pengadilan tingginya atau ketua di jajaran MA? Jelas di sini akan memunculkan rasa ewuh pakewuh dan berpotensi untuk mengerdilkan KPK.
Sesuai dengan pasal 3 UU Tipikor, kewenangan KPK di antaranya penyadapan, termasuk yang tidak boleh diintervensi atau dipengaruhi pihak lain, karenanya kalau harus ada izin lembaga di luar KPK jelas bentuk lain dari intervensi terhadap kewenangan KPK. Prosedur penyadapan cukup dibuat di internal lembaganya masing-masing (KPK, Kejagung, dan Kepolisian).
Penyadapan adalah bentuk kewenangan yang masuk pada ranah penyelidikan. Dalam dunia praktik hukum, penyadapan adalah pekerjaan intelijen yang tidak perlu ada izin lembaga lain. Kalau mau menyadap harus seizin ketua pengadilan, lalu apa jadinya kegiatan menginteli (menyadap) koruptor, teroris, pengkhianat negara yang butuh tindakan cepat dan tertutup, yang malah bisa terhambat dan terlambat dengan harus adanya izin tadi.
Dalam kondisi korupsi sudah merajalela dan masuk di semua institusi, untuk kepentingan pengawasan, biarkan institusi seperti KPK, Kejagung, dan Polri memiliki alat dan kewenangan penyadapan yang bebas dari "intervensi" institusi lainnya. Dengan begitu, secara tidak langsung di antara para penegak hukum itu sendiri akan merasa saling dikontrol untuk tidak menyalahgunakan kewenangannya. Patut kita tengarai rencana pengerdilan kewenangan penyadapan adalah upaya-upaya koruptor untuk menghambat pemberantasan korupsi. Kalau mereka tidak bersalah dan tidak pernah mau merencanakan perbuatan melawan hukum, kenapa mesti takut disadap, bukankah penyadapan itu tidak bisa dilakukan sembarangan tanpa ada dugaan dan bukti-bukti awal.
Upaya pengerdilan pemberantasan korupsi muncul pula pada ranah politik, benih-benih itu muncul ketika 60 persen para penggagas hak angket di DPR terpental dan tidak dilibatkan dalam Panitia Khusus (Pansus) Bank Century. Wajarlah kalau banyak yang pesimistis pansus ini dapat menghasilkan sesuatu sesuai dengan rasa keadilan rakyat. Meski demikian, tidak ada salahnya kinerja pansus kita kawal dengan baik. Pada dasarnya, pekerjaan Pansus Bank Century tidaklah berat karena telah ada hasil audit BPK yang secara terang benderang menyatakan ada perbuatan melawan hukum yang pada akhirnya dapat dipastikan siapa saja pejabat negara yang harus bertanggung jawab. Kalau pansus nantinya membuat kasus Bank Century dari terang benderang menjadi redup, maka rakyat bisa mengajukan mosi tidak percaya kepada wakil rakyat yang ditengarai turut mengerdilkan pemberantasan korupsi.***
Penulis, praktisi dan pengamat hukum, Dewan Pengawas YLBHI Jakarta.
Opini Pikiran Rakyat 9 Desember 2009
Opini Pikiran Rakyat 9 Desember 2009