Kita ingat, di tengah kontroversi rencana invasi militer ke Irak (2003), Presiden George W Bush melakukan kesesatan logika jenis Argumentum ad Ignorantiam (Dalih Pengabaian: seseorang dinyatakan bersalah jika ia tak bisa membuktikan dirinya tak bersalah). Dia mengatakan, Saddam Hussein memiliki senjata pemusnah massal karena negara tersebut tidak dapat membuktikan bahwa tidak ada senjata jenis itu.
Irak lalu diserang, Saddam Hussein jatuh, tetapi ternyata tak ditemukan senjata pemusnah massal. Bush sebetulnya punya agenda lain: menyerang Irak. Senjata pemusnah massal disodorkan sebagai evidensi untuk mendukung agenda itu, tanpa menunggu laporan final tim PBB yang dipimpin Hans Blix yang justru menegaskan bahwa tidak ada senjata pemusnah massal di Irak.
Dalam kontroversi Bank Century yang ”membakar” kita saat ini, muncul lagi slippery slope dalam argumentasi yang menjadi dasar pertimbangan dana talangan Bank Century. Argumentasi itu dikemukakan oleh Wapres Boediono dan Menkeu Sri Mulyani Indrawati ketika menjawab pers yang menanyakan alasan penggelontoran Rp 6,7 triliun bagi bank tersebut.
Stephen Downes Guide
Bush pernah mengemukakan slippery slope ketika berbicara tentang betapa berbahayanya Saddam. ”Saat ini, ancaman terbesar dalam perang melawan teror... bahaya mematikan bagi Amerika dan dunia... adalah rezim-rezim penjahat yang mencari dan memiliki senjata nuklir, kimiawi, dan biologis. Rezim-rezim ini dapat menggunakan senjata itu untuk pemerasan, teror, dan pembunuhan massal. Mereka dapat juga memberikan atau menjual senjata itu ke sekutu teroris mereka, yang dapat menggunakan tanpa basa-basi,” kata Bush. Diharapkan orang setuju bahwa Saddam harus dienyahkan. Berarti invasi ke Irak suatu yang dapat dibenarkan.
Pada kasus talangan Bank Century, Boediono dan Sri Mulyani berargumentasi: jika tak dilakukan penalangan terhadap Bank Century, maka akan muncul risiko sistemik bagi industri perbankan (sejumlah bank lain akan ditutup juga) mengingat krisis finansial global belum pulih waktu itu. Dampak ikutannya macam-macam: perekonomian Indonesia melempem dan pada akhirnya rakyat menderita serta berbagai akibat negatif lain.
Pihak lawan bicara melontarkan argumentasi balik bahwa penalangan tak perlu dilakukan karena kondisi Century sebetulnya disebabkan ”perampokan” oleh pemiliknya, sebab itu lebih tepat kalau bank itu ditutup. Risiko sistemik tak akan terjadi karena Century merupakan bank kecil. Bank-bank lain toh tidak menempatkan uang di sana.
Ada hal lain perlu dicatat, misalnya adanya sejumlah kejanggalan dalam prosedur penalangan Century. Apalagi jumlah Rp 6,7 triliun dirasakan terlalu besar untuk Indonesia yang sebagian besar rakyatnya masih jauh dari sejahtera. Tidak heran Kwik Kian Gie menyebut alasan ”dampak sistemik” sebagai kamuflase, yang dalam logika disebut slippery slope.
Seandainya Bank Century ditutup tempo hari dan terjadi hal-hal negatif seperti dalam argumentasi Boediono dan Sri Mulyani, apakah semua itu disebabkan oleh dampak sistemik penutupan Century? Hampir pasti tidak! Bukankah masih ada penyebab lain, seperti tidak adanya visi pembangunan yang tepat dari pemerintah, suburnya praktik korupsi, tidak fokusnya program pemerintah, Darwinisme sosial, atau ideologi neolib dalam penanganan masalah ekonomi?
Karena risiko sistemik dan rangkaian dampak negatifnya merupakan slippery slope, tampaknya ada agenda lain dalam talangan Bank Century. Inilah yang harus ditemukan oleh KPK dan Pansus Century di DPR.
Opini Kompas 10 Desember 2009