Episode kasus Bibit-Chandra kini memasuki babak baru. Orang awam barangkali terkesima dan tidak menyangka akan ada praperadilan terhadap penerbitan SKPP dari Kejaksaan Agung (Kejagung).
Paling tidak, masyarakat berharap keberadaan SKPP diikuti dengan terbitnya keppres tentang pengaktifan kembali Bibit-Chandra sebagai para Wakil Ketua KPK. Sampai di situ kemudian kasus dianggap selesai. KPK kembali berwibawa dan semangat pemberantasan korupsi pun kembali menggelora di negeri ini. Memang akhirnya Presiden menerbitkan keppres itu. Namun praperadilan ternyata masih jalan terus. Siapa yang kalah atau menang pun masih menjadi tanda tanya. Kalau demikian halnya, kasus Bibit-Chandra justru menjadi semakin berkepanjangan dan kompleks.
Sebenarnya, apabila kita cermati, akan tampak jelas bahwa adanya pro dan kontra SKPP kasus Bibit-Chandra bertolak dari logika hukum yang berbeda-beda, bahkan bertentangan satu dengan yang lain. Berikut ini dicoba untuk memberikan penjelasan mengenai logika-logika hukum yang muncul di sekitar pro dan kontra SKPP tersebut. Pada satu sisi, mereka yang pro- SKPP mempertimbangkan bahwa kasus Bibit-Chandra merupakan bagian dari persoalan pemberantasan korupsi. Ketika korupsi disepakati sebagai extra-ordinary crime, terhadapnya diberlakukan hukum khusus dan bukan hukum umum.
Oleh karenanya tanpa mempertimbangkan lengkap atau tidaknya bukti-bukti hukum, Kejagung atas dasar asas oportunitas wajib mengeluarkan SKPP. Hal ini perlu dilakukan demi keadilan sosial yang didambakan masyarakat. Pendapat ini terwakili oleh Adnan Buyung Nasution (mantan Ketua Tim 8) ketika berbicara di salah satu televisi swasta, Rabu 2 Desember lalu. Pada sisi lain, pada acara yang sama, Egi Sudjana berpendapat lain. Menurutnya, SKPP perlu ditolak dan oleh karenanya diajukanlah praperadilan atas SKPP tersebut. Mengapa ditolak? Dalam logika hukumnya, ketika kejaksaan dan kepolisian sampai pada kesimpulan ada bukti-bukti lengkap (P21), maka tidak ada alasan lain kecuali kasus tersebut harus dilanjutkan ke pengadilan. Itulah proses hukum yang dipandang prosedural dan benar.
Tidak kalah menariknya untuk disimak logika hukum Kejagung (diwakili oleh Jampidsus Marwan Effendy) ketika berterus terang bahwa pihaknya berada dalam dilema tentang alasan-alasan untuk menerbitkan SKPP. Hal demikian bisa dipahami karena jajaran kejaksaan selama ini bersikap konsisten dalam jalur logika hukum prosedural. Pada pilihan ini, kejaksaan berteman baik dengan kepolisian maupun para advokat (termasuk Egi Sudjana) yang kontra-SKPP. Akan tetapi, pada realitas politik, sosial, bahkan kekuasaan, Presiden telah memerintahkan agar kasus Bibit-Chandra diselesaikan di luar sidang pengadilan.
Di sinilah dilema Kejagung muncul. Tidak mudah untuk memutar mind set dan logika hukum mekanistis-linier dan prosedural menjadi logika sosial, politik yang cair dan mengalir. ***
Berhadapan dengan kompleksitas logika hukum yang terkesan rumit dan campur aduk di atas, penulis sebagai seorang akademisi merasa khawatir hal demikian menimbulkan distrust dan sinisme masyarakat terhadap hukum (terutama kepada aparatur penegaknya).
Dalam rangka meminimalkan kekhawatiran demikian, ada baiknya kita bersama-sama berguru kepada begawan hukum Satjipto Rahardjo. Beliau dalam bukunya Biarkan Hukum Mengalir (2007) antara lain menyatakan bahwa kehidupan membutuhkan kaidah sosial dan di zaman sekarang, hukum menjadi primadona. Melalui lembaga-lembaga yang diciptakannya, manusia memproduksi hukum. Namun, uniknya, hukum itu di sana-sini dirasakan membelenggu dan manusia ingin lolos dari belenggu tersebut. Bahkan orang sampai mengatakan bahwa tanpa hukum pun kehidupan bisa berjalan.
Hukum acara pidana kita kiranya dapat dipandang sebagai golongan hukum yang membelenggu tersebut. Pihak-pihak yang pro-SKPP setidaknya akan setuju pada pendapat demikian. Wajar apabila mereka mencoba meloloskan diri dari belenggu hukum acara pidana konvensional tersebut. Meloloskan diri di sini tidak berseberangan secara diametral dengan kepatuhan pada hukum. Pada keduanya terdapat hal yang berbeda dan oleh karenanya tidak boleh dilihat sebagai hitam atau putih, salah atau benar.
Pada saat kita memberlakukan hukum acara pidana konvensional sebagai satu-satunya instituti prosedural untuk penyelesaian kasus Bibit-Chandra, di situ tanpa disadari sebenarnya kita telah mereduksi jagat ketertiban yang luas menjadi jagat perundang-undangan yang sangat sempit. Hukum acara pidana konvensional menjadi representasi tunggal dari proses hukum. Pereduksian jagat ketertiban demikian itu dapat dipadankan sebagai intervensi hukum negara ke dalam proses dan suasana alami kehidupan setiap warga negara. Penyelesaian kasus-kasus hukum menjadi tidak alami, melainkan menjadi proses yang penuh dengan rekayasa atas dasar hukum acara.
Prof Tjip (panggilan akrab Prof Satjipto Rahardjo) dengan bijak menggambarkan rekayasa perundang- undangan tersebut sebagai mengiris ke dalam daging kehidupan manusia. Bisa dibayangkan, betapa perih dan sakitnya. Ada baiknya pula kita belajar dari Marc Galanter bahwa pengadilan ternyata tidak hanya satu sebagaimana disebut pengadilan negeri. Pengadilan bisa dijalankan di banyak tempat (justice in many rooms). Dari pernyataan Galanter ini, kita hendaknya sadar bahwa ada kompleksitas dan relativitas dari pengadilan dan oleh karenanya wajar saja bila ada penyelesaian di luar pengadilan negeri.
Becermin dari munculnya slugs di Washington DC, kita bisa belajar pula dari pernyataan Francis Fukuyama bahwa jagat ketertiban mewadahi suatu jalinan berkesinambungan antara norma-norma yang bekerja dalam masyarakat sehingga hukum negara akan berkelindan dengan norma sosial lain dalam aras kesinambungan. Pesan moral yang ingin disampaikan di sini bahwa dalam kehidupan bernegara hukum, ada jagat ketertiban. Di situ, hukum acara pidana hanya menempati sudut kecil dari apa yang disebut political order. Di luar itu masih tersedia transcedental order maupun social order.
Dengan demikian, cara-cara penyelesaian kasus-kasus hukum pun bisa dan boleh sedemikian beragam, termasuk penyelesaian di luar hukum negara (baca: hukum acara pidana konvensional). Oleh karenanya, perlu dijaga agar logika-logika hukum yang dijadikan dasar memilih prosedur-prosedur hukum jangan sampai mereduksi jagat ketertiban yang luas, besar, dan utuh. Sebab, apabila hal demikian terjadi, kehidupan bernegara hukum menjadi sangat kaku, sempit, gerah, dan tidak sehat.(*)
Prof Dr Sudjito
Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada (UGM)
Opini Okezone 9 Desember 2009
09 Desember 2009
Kompleksitas Logika Hukum
Thank You!