27 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Puskesmas, antara ISO dan Akreditasi

Puskesmas, antara ISO dan Akreditasi

AKREDITASI puskesmas yang selama ini digembar-gemborkan sebagai metode tepercaya untuk mengukur kinerja, eksistensinya saat ini justru perlu dipertanyakan. Bukan saja metode yang digunakan di Provinsi Jawa Tengah banyak menemui kendala dalam praktiknya di lapangan, perangkat yang mendukungnya juga masih terkesan acak-acakan, belum dipersiapkan secara matang.

Tidak heran, meskipun sudah berjalan sekitar enam tahun yakni sejak tahun 2003, dari 856 puskesmas di Jateng, per Mei 2009, baru 23 yang dinilai dan baru 15 puskesmas (1,75 %) yang terakreditasi penuh.


Ada apa dengan akreditasi puskesmas? Kebijakan mengenai akreditasi ditengarai jelas adanya nuansa ketidakkonsisten-an. Betapa tidak, pada satu sisi akreditasi adalah sukarela, namun di sisi lain secara bertahap seluruh puskesmas (jika memungkinkan) akan diakreditasi. Jika dilihat dengan terbatasnya anggaran di provinsi maka keinginan mengakreditasikan seluruh puskesmas kiranya hanya akan menjadi isapan jempol. Meskipun, sudah ada ketentuan agar kabupaten/kota mengembangkan prinsip-prinsip kemandirian organisasi, dengan diwajibkan mencarikan anggaran untuk biaya persiapan, penilaian, sampai mempertahankan apabila sudah terakreditasi.

Dari masing-masing elemen yang terlibat, tim akreditasi kabupaten/ kota  mempunyai tugas pokok dan fungsi (tupoksi) pembinaan, merekomendasikan bila puskesmas siap dinilai, dan pembiayaan. Kemudian Balai Pelatihan Teknis Profesi Kesehatan (BPTPK) Gombong selaku institusi yang dipercaya menangani akreditasi puskesmas, mempunyai tupoksi sebagai tim pendamping/pembimbing akreditasi kepada puskesmas yang membutuhkan.Adapun BPTPK Salaman dan Dinas Kesehatan Provinsi Jateng berperan sebagai penilai akreditasi.

Saat ini posisi kabupaten/kota terhadap akreditasi bisa dikelompokkan menjadi empat. Pertama, kabupaten/kota tidak melaksanakan akreditasi sama sekali, tidak ada kegiatan akreditasi di puskesmas. Kedua, kabupaten/kota tidak memberi dana APBD II sehingga puskesmas melaksanakan akreditasi secara mandiri. Ketiga, kabupaten/kota memberi dana lewat APBD II tapi sangat minim, kabupaten/kota melakukan pendampingan dan keempat, kabupaten/kota memenuhi semua dana akreditasi disertai pendampingan penuh.

Guna mendapatkan masukan dan pijakan yang lebih objektif dalam pelaksanaan akreditasi, Dinkes Provinsi Jateng mengadakan workshop yang berlangsung pada 19 Maret 2009. Pelaksanaan yang waktunya sangat terbatas itu menghasilkan kesepakatan-kesepakatan yang sangat berguna dalam pelaksanaan akreditasi.

Beberapa di antaranya, pertama Dinkes Jateng diharapkan bisa menginstruksikan dinkes kabupaten/kota untuk bisa berperan sesuai tupoksinya. Kedua, BPTPK Gombong selaku tim pendamping sebaiknya per kelompok kerja (pokja) sehingga hasil lebih berkualitas, termasuk pembagian personel, mengingat harus membina akreditasi dan ISO. Ketiga, tidak semua tim penilai menguasai  instrumen akreditasi, sehingga pada penilaian tidak mempunyai standar penilaian yang sama.

Keempat, instrumen akreditasi adalah nyawa akreditasi. Sulitnya akreditasi sebenarnya dikarenakan bahasa yang dipakai sulit dimengerti oleh semua orang, sehingga  dibutuhkan penyederhanaan bahasa. Kelima, instrumen akreditasi secara kuantitas banyak yang tidak bisa diterapkan di puskesmas sehingga seharusnya banyak instrumen yang dikurangi.

Penulis mencatat lebih dari 50 verifikasi yang tidak bisa diterapkan di puskesmas. Secara kualitas instrumen ini juga perlu ditingkatkan, terutama yang bisa langsung dilihat dan dirasakan oleh pelanggan.
Tanpa Pendampingan Salah satunya adalah Puskesmas Gombong I, Kebumen. Puskesmas ini telah terakreditasi penuh tanpa biaya APBD II dan tanpa pendampingan dari Dinkes Kabupaten. Motivasi semua pelaksana akreditasi sangat tinggi, dan sekali penilaian langsung lulus untuk ketujuh kelompok kerja (pokja).

Untuk prestasi tersebut, Puskesmas Gombong I memperoleh reward mewakili puskesmas terakreditasi penuh untuk paparan saat workshop di Provinsi Jateng pada 19 Maret 2009. Namun, akreditasi di Gombong saat ini sudah dihentikan. Semua dokumen dimasukkan dalam suatu ruangan dan dikunci. Semua data dalam komputer disegel.

Jadi, di Puskesmas Gombong I, akreditasi merupakan masa lalu. Hal ini dikarenakan beberapa hal, di antaranya adalah akibat dana dari APBD II sampai sekarang tetap belum ada. Untuk persiapan sampai penilaian diperlukan banyak dana secara mandiri, termasuk juga dibutuhkan dana untuk mempertahankan status akreditasi. Lalu untuk instrumen secara kuantitas banyak yang tidak bisa di terapkan di Puskesmas Gombong I (lebih dari 50 verifikasi). Kemudian di tingkat provinsi pun, program akreditasi puskesmas hidup segan mati tak mau.

Kondisi tersebut tampak pada beberapa hal misalnya, akreditasi sudah berjalan enam tahun, namun baru 1,75 %  yang terakreditasi penuh. Partisipasi kabupaten/kota juga sangat sedikit terutama kelompok 1, 2, dan 3. Instrumen sampai sekarang belum nampak ada perbaikan. Terlebih adanya adanya ISO yang saat ini lebih menjanjikan. Sehingga puskesmas bingung apakah memilih ISO atau akreditasi karena pendamping konsentrasinya terbelah antara ISO dan akreditasi. (10)

— Dokter Prio Nurono, Kepala Puskesmas Gombong I Kabupaten Kebumen
Wacana Suara Merdeka 28 Desember 2009