27 Desember 2009

» Home » Kompas » Kunci Keberhasilan Otonomi Daerah

Kunci Keberhasilan Otonomi Daerah

Gorontalo dan Sragen, dua nama daerah ini sepuluh tahun lalu jarang muncul ke permukaan dengan berita yang positif. Setelah era otonomi daerah, dua daerah itu seakan-akan menjadi sebuah merek dagang yang terkenal.
Gorontalo kini sudah identik dengan jagung yang berkualitas ekspor. Sejak dipimpin Fadel Muhammad (2001-2006, masa kepemimpinan pertama), provinsi itu fokus menggarap pertanian jagung. Komoditas unggulan tersebut dapat berkembang karena Fadel juga mampu menciptakan market networking untuk petani jagung.

 

Produksinya mencapai 4,76 ton per hektar atau naik dua kali lipat dari sebelum provinsi itu dipimpin Fadel. Tahun 2007, total ekspor jagung Gorontalo menembus angka 584.840 ton, antara lain ke Korea, Jepang, Malaysia, dan Filipina. Dengan prestasi itu, wajar jika Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menunjuknya sebagai Menteri Kelautan dan Perikanan pada kabinet saat ini.
Kinerja Pemerintah Kabupaten Sragen yang inovatif lebih mengagumkan lagi. Kabupaten yang terletak jauh dari ibu kota Provinsi Jawa Tengah ini melejit namanya karena pemakaian teknologi informasi untuk mengoptimalkan pelayanan birokrasi kepada penduduk Sragen yang kebanyakan tinggal di pedesaan.
Bupati Sragen Untung Wiyono, yang suka meneriakkan ”merdeka” dalam pidatonya, paling tidak meluncurkan 21 kebijakan. Delapan di antaranya diadopsi oleh pemerintah pusat.
Kedelapan kebijakan yang diadopsi pusat itu adalah pelayanan perizinan satu pintu, pemerintahan elektronik, perekrutan pegawai negeri sipil (PNS) dengan sistem kompetensi, budidaya pertanian organik, sistem informasi manajemen kependudukan, resi gudang, desa siaga sehat, dan pembiayaan mikro.
Sragen bahkan sudah memproduksi komputer rakitan dengan merek Sratek (Sragen Teknologi). Selain itu, Sragen juga membuka jasa konsultan daerah yang membutuhkan bantuan pembaruan pelayanan publik berdasarkan teknologi informasi.
Masih banyak kepala daerah yang kreatif membangun daerahnya dengan gagasan yang berpihak kepada rakyatnya. Wali Kota Yogyakarta Herry Zudianto, misalnya, yang terkenal sebagai wagiman alias wali kota gila taman yang menghijaukan kota. Ia juga membuat terobosan dalam pelayanan perizinan, perbaikan sanitasi, tata kota, dan transparansi kebijakan.
Di Bantul, Bupati Idham Samawi memunculkan kebijakan pertanian yang melindungi petani dari gejolak harga pasar. Ia memproteksi tujuh komoditas pertanian agar petani tidak dirugikan.
Dari contoh empat pemimpin daerah di atas, keberhasilan implementasi kebijakan mereka yang inovatif dan prorakyat bersifat konkret serta langsung menyentuh kebutuhan penduduk. Tak heran jika mereka—baik gubernur, bupati, maupun wali kota—memerintah untuk dua periode. Pada periode pertama, mereka dipilih oleh anggota DPRD (sesuai dengan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah) dan kembali menjabat ketika diadakan pemilihan secara langsung oleh rakyat (UU No 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah).
Keempat pemimpin itu juga mempunyai sejarah karier yang bersentuhan dengan dunia swasta sebelum terjun ke dunia politik. Fadel Muhammad, Herry Zudianto, dan Idham Samawi adalah pengusaha, sedangkan Untung Wiyono berkecimpung sebagai karyawan swasta selama 13 tahun di sejumlah perusahaan asing.
Problem birokrasi
Ketika otonomi daerah mulai diluncurkan, problem besar yang menghadang keempat pemimpin daerah itu dan tentunya juga semua pemimpin daerah yang memimpin setelah UU No 22/1999 berlaku adalah organisasi birokrasi. Beban ini masih ditambah lemahnya sumber daya manusia karena pola rekrutmen yang sarat nepotisme dan tidak profesional.
Dengan adanya UU otonomi daerah itu, jumlah PNS di kabupaten dan kota membengkak luar biasa besar. Tidak heran jika semua Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) selalu habis porsinya dimakan untuk biaya pegawai. Persentase belanja pegawai umumnya di atas 60 persen sehingga kepentingan publik menjadi terabaikan. Misalnya terjadi pada Kabupaten Bima dan Pandeglang. Sekitar 83 persen sampai 90 persen APBD kedua daerah itu dialokasikan untuk belanja rutin (gaji pegawai). Sisanya untuk belanja pembangunan.
Proliferasi birokrasi tersebut dikarenakan banyaknya pegawai negeri pusat yang dulunya di bawah kantor wilayah, setelah dilikuidasi semua pegawai dijejalkan masuk ke daerah (provinsi, kota, dan kabupaten). Dengan jumlah yang terlalu banyak, organisasi birokrasi menjadi tidak efisien.
Selain tidak efisien, sejumlah pakar mengatakan, birokrasi di Indonesia juga tidak efektif, tidak obyektif, menjadi pemarah ketika berhadapan dengan kontrol dan kritik, serta tidak mengabdi pada kepentingan umum. Birokrasi tidak lagi menjadi alat rakyat, tetapi menjadi instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat otoritatif dan represif.
Dari fenomena tersebut, menurut Hans Dieter Evers, proses birokrasi di Indonesia berkembang menjadi model birokrasi ala Parkinson dan ala Orwel. Birokrasi ala Parkinson adalah proses pertumbuhan jumlah personel dan pemekaran struktur secara tidak terkendali. Adapun birokrasi ala Orwel adalah pola birokratisasi sebagai perluasan kekuasaan pemerintah dengan maksud mengontrol kegiatan ekonomi, politik, dan sosial dengan peraturan, regulasi, dan bila perlu melalui paksaan.
Dalam kondisi birokrasi yang dijangkiti penyakit parkinsonian dan orwelian, sejumlah daerah ternyata mampu lepas dari kungkungan tradisi birokrasi lama. Provinsi Gorontalo, Kabupaten Sragen, Kota Yogyakarta, dan Kabupaten Bantul, sebagai contoh best practices, mampu menelurkan kebijakan yang inovatif karena pemerintahannya yang berorientasi pada publik. Yang lebih penting, mereka menerapkan manajemen perusahaan (swasta) dalam mengelola pemerintahan. Inilah yang kemudian dikenal sebagai good governance, tata pemerintahan yang baik.
Kini sudah saatnya pemerintah daerah mengikuti gagasan David Osborn dan Ted Gaebler tentang reinventing government yang pada prinsipnya menyuntikkan semangat wirausaha ke dalam sektor publik. Beberapa poin perspektif baru pemerintahan yang dikemukakan dua pakar itu, pemerintah berorientasi kepada pelanggan, yaitu memenuhi kebutuhan pelanggan, bukan birokrasi. Selain memerhatikan aspirasi lembaga perwakilan, pemerintah juga harus memerhatikan pelanggan yang sebenarnya, yaitu masyarakat dan pelaku bisnis.
Pemerintah wirausaha adalah pemerintah yang mampu memberikan pendapatan dan tidak sekadar membelanjakan. Pemerintah dapat mengembangkan beberapa pusat pendapatan dengan menjual jasa, barang, informasi, penyertaan modal, dan lainnya.
Fadel mengungkapkan, membangun daerah dalam perspektif manajemen kewirausahaan bukan sekadar menciptakan pusat pertumbuhan ekonomi, tetapi yang lebih mengedepan adalah melakukan inovasi yang berkesinambungan sehingga dicapai best practice dalam penyelenggaraan pemerintahan. Aspek penting yang sering kurang mendapat perhatian adalah melakukan penataan manajemen pemerintahan daerah.
”Kelembagaan pemerintah daerah merupakan bagian yang menjadi perhatian utama dalam inovasi. Organisasi pemerintah Provinsi Gorontalo ditata ulang berdasarkan prinsip efektivitas, efisiensi, dan penajaman fungsi perangkat daerah agar unit-unit pemerintah daerah mampu berkinerja baik serta menghasilkan pelayanan publik yang sesuai dengan harapan masyarakat,” katanya.
Perubahan paradigmatik kepegawaian oleh sejumlah kepala daerah yang inovatif tersebut tentu juga menemui banyak hambatan. Akan tetapi, tantangan itu bisa diatasi karena kebijakan tersebut juga memberi reward yang transparan kepada pegawai atas keberhasilan mereka.
Gorontalo memberikan tunjangan kinerja pegawai (performance pays), Sragen membagi fee jasa konsultan proyek pengembangan teknologi informasi kepada pegawai dan sebagian lagi masuk ke pos pendapatan asli daerah.
Kreatif dan jeli menangkap peluang bukan hanya milik pengusaha swasta. Kepala daerah beserta jajarannya harus mampu melakukan hal itu. Jika tidak, tingkah laku dan kebijakan mereka pasti akan menyengsarakan rakyat. Menaikkan retribusi dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dengan seenaknya untuk menaikkan pendapatan asli daerah merupakan contoh kebijakan yang sama sekali tidak kreatif dan antirakyat. Sebaiknya, hal-hal seperti itu diakhiri sejalan dengan perubahan yang terjadi dalam masyarakat.

Oleh BAMBANG SIGAP SUMANTRI
Opini Kompas 28 Desember 2009