Peran media, terutama televisi, memang amat besar. Kasus yang menonjol belakangan ini menjadi bukti dahsyatnya kekuatan media. Timbulnya simpati publik terhadap Prita Mulyasari dan Bibit Samad Riyanto-Chandra M Hamzah adalah akibat publikasi yang begitu luas dari media.
Gerakan Sejuta Facebookers Mendukung Bibit-Chandra dan Koin untuk Prita adalah dampaknya. Begitu besarnya kekuatan media sampai-sampai timbul larangan bagi Prita dan Bibit-Chandra untuk berbicara kepada media. Dalam draf perdamaian antara Prita Mulyasari dengan RS Omni Internasional, ada poin yang menyebutkan agar Prita tak lagi “mengadu” ke publik alias berbicara kepada media.
Begitu pula dengan kasus Bibit-Chandra. Alasan penahanan keduanya disinyalir akibat mereka “rajin” menggelar konferensi pers sehingga dianggap mengganggu proses penyidikan. Begitu besar peran media sampai-sampai Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) beberapa waktu lalu ingin menata ulang siaran langsung televisi dari ruang persidangan. Alasannya, KPI khawatir, liputan stasiun televisi dari ruang sidang pengadilan dapat memengaruhi opini publik sebelum vonis dijatuhkan majelis hakim.
Wacana yang disampaikan Ketua KPI Sasa Djuarsa Senjaja tersebut terkait dengan maraknya siaran langsung jalannya persidangan sejumlah kasus yang menjadi perhatian masyarakat luas. Di antaranya kasus pembunuhan Direktur PT Putra Rajawali Banjaran Nasruddin Zulkarnaen dengan terdakwa Antasari Azhar di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dan siaran langsung dari Mahkamah Konstitusi (MK) yang memperdengarkan rekaman hasil penyadapan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kasus Bibit-Chandra.
Wacana KPI tersebut mendapat reaksi keras dari kalangan media, termasuk Dewan Pers. Niat KPI untuk menata ulang diterjemahkan sebagai pelarangan. Jika larangan tersebut diberlakukan, KPI dianggap melanggar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) dan Undang-Undang Pokok Pers. Argumen kalangan media adalah Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang menyatakan: “Untuk keperluan pemeriksaan, hakim ketua sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak.”
Artinya, sepanjang hakim menyatakan sidang terbuka untuk umum, media pun boleh menyiarkannya secara langsung dan tak alasan bagi KPI untuk melarangnya. Sebagai bagian dari insan pers, media (khususnya bagian pemberitaan) juga berpegang pada Undang-Undang (UU) Pers. Pasal 4 ayat (2) dan (3) UU No 40 Tahun 1999 tentang Pers menyatakan: (2) “Terhadap pers nasional tidak dikenai penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.” (3) “Untuk menjamin kemerdekaan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi.
Pasal 18 ayat (1) UU Pers bahkan memuat ancaman hukuman dua tahun penjara dan pidana denda Rp500 juta terhadap setiap orang yang melakukan sensor, pembredelan atau pelarangan penyiaran. Pada akhirnya KPI batal menata ulang siaran langsung persidangan. Wacana KPI tersebut (sedianya) akan dituangkan dalam rancangan perbaikan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).
Sebagai praktisi media, saya paham betul dengan keberatan kalangan media terhadap wacana tersebut. Dua undang-undang di atas adalah alasannya. Ditambah lagi Pasal 28 f UUD 1945 yang menjamin hak masyarakat untuk berkomunikasi, memperoleh dan menyampaikan informasi dari berbagai saluran yang tersedia. Namun saya memahami alasan KPI yang khawatir dengan opini publik (yang akan terbentuk).
Aturan main––bukan sensor, apalagi larangan––mungkin memang diperlukan. Sebab, prinsip media televisi adalah menyiarkan tayangan yang menarik. Hal itu bisa juga berlaku dalam penayangan proses persidangan. Di sinilah berpotensi munculnya ketidakseimbangan. Misalnya: saat penayangan kesaksian - karena dianggap menarikmedia mungkin menayangkan kesaksian yang ternyata hanya dari satu sisi (sisi yang menguntungkan atau yang merugikan terdakwa).
Hal seperti itu tentu saja dapat menimbulkan ketimpangan informasi. Seyogianya, jika suatu media sudah memutuskan untuk menayangkan siaran langsung persidangan suatu kasus, seluruh prosesnya perlu ditayangkan secara utuh. Jangan ada bagian persidangan yang tidak disiarkan. Misalnya, jika sudah menayangkan keterangan saksi yang meringankan terdakwa (saksi A de charge), media pun harus menayangkan saksi yang memberatkan terdakwa (saksi A charge), dan sebaliknya.
Penayangan secara tidak berkesinambungan dapat menyesatkan (misleading). Selain itu, perlu dipikirkan kandungan materi sidang yang kerap dianggap tidak pantas didengar dan disaksikan anak-anak. Misalnya pembacaan surat dakwaan sebuah kasus pembunuhan dengan materi dakwaan yang teramat detail (padahal ditayangkan di siang hari). Lembaga penyiaran bisa berargumen, pemirsa perlu menerapkan sensor dirumah masing-masing.
Namun, sebagai bagian dari media, saya sadar bahwa setiap media perlu memiliki tanggung jawab moril dalam menayangkan tayangannya supaya aman disaksikan (terutama pada jam-jam di mana anak-anak bisa dengan mudah mengaksesnya). Untuk aturan main siaran langsung itulah saya rasa KPI dan Dewan Pers perlu duduk bersama. Sesungguhnya yang lebih mengakibatkan terbentuknya opini publik bukanlah siaran langsung persidangan itu sendiri, melainkan beragam ulasan yang ditayangkan sesudahnya.
Belum hilang dari ingatan pemirsa, pengakuan mengejutkan mantan Kapolres Jakarta Selatan Wiliardi Wizard (salah satu terdakwa kasus pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen) ketika menjadi saksi di persidangan Antasari Azhar. Sejumlah tayangan yang membahas pengakuan tersebut mengesankan media telah terkesima oleh pengakuan Wiliardi. Akibatnya, opini publik pun semakin terbentuk dan itu terjadi bukan karena siaran langsung persidangan, melainkan karena pemberitaan secara berulang-ulang.
Akibatnya, simpati publik pun tertuju kepada Antasari. Sebagian besar publik meyakini penangkapan yang bersangkutan adalah skenario belaka. Di sinilah kearifan dan sikap kritis media diperlukan, mulai dari menyerap informasi yang ada di lapangan hingga menyampaikannya kepada publik. Karena, pemberitaan yang tidak proporsional dapat menciptakan opini publik sehingga dikhawatirkan dapat memengaruhi proses persidangan.
Bagaimanapun, media perlu diberi kebebasan untuk menyampaikan informasi. Apalagi haknya sudah dilindungi undang-undang. Namun, tentu, pada pelaksanaannya harus diiringi rasa tanggung jawab terhadap pemirsa. Jika sebuah tayangan dirasa akan berdampak negatif/menginspirasi sebuah tindak kejahatan/membahayakan (termasuk untuk anak-anak)/mengakibatkan kemarahan kelompok tertentu (dalam kasus SARA)/dapat menimbulkan ketimpangan informasi dan lain-lain, media perlu menerapkan sensor dari dalam (self-censoring) secara ketat.
Apabila semua media sudah memberlakukan self-censorship secara tepat dan mampu untuk terus bersikap kritis, tak perlu lagi ada kekhawatiran dari pihak luar terhadap dampak tayangan televisi. Namun jika belum semua media mampu melakukannya, aturan main––bukan sensor maupun larangan–– tampaknya memang masih diperlukan dan itu harus diterima insan media (termasuk saya) dengan lapang dada.(*)
Yasmin Muntaz
Praktisi Media
Opini Okezone 28 Desember 2009
27 Desember 2009
Autokritik untuk Media (Televisi)
Thank You!