11 Desember 2009

» Home » Kompas » Prita dan Pertarungan Modal Simbolik

Prita dan Pertarungan Modal Simbolik

Banyak kalangan menduga, pemberitaan dan perhatian masyarakat terhadap kasus Prita Mulyasari dengan Rumah Sakit Omni Internasional akan tenggelam akibat ingar-bingar pemberitaan skandal Bank Century, intrik-intrik para politisi, dan gerakan masyarakat antikorupsi terkait kasus Bank Century.
Oleh Pengadilan Tinggi Banten, Prita telah dijatuhi hukuman membayar denda sebesar Rp 204 juta kepada RS Omni. Semula banyak orang telah melupakan kasus Prita. Namun, pembentukan Posko Koin Peduli Prita membuat perhatian masyarakat akan kasus Prita hidup lagi, bahkan kian besar.


Melukai keadilan
Para penggagas Posko Koin Peduli Prita itu secara otentik menemukan cara jitu menarik kembali perhatian masyarakat sekaligus membuka peluang luas bagi masyarakat untuk berpartisipasi mendukung Prita.
Memilih koin sebagai media menyalurkan bantuan memiliki nilai simbolik amat strategis. Koin, mata uang paling kecil, membuka ruang partisipasi luas dan meningkatkan keterhubungan warga dari berbagai kalangan untuk mendukung Prita.
Antusiasme warga dari berbagai kalangan (atas, menengah, hingga bawah, seperti pemulung dan tukang becak, maupun anak- anak TK dan SD untuk menyumbangkan koin untuk Prita) secara telak dan simbolik menunjukkan keberpihakan banyak kalangan terhadap Prita.
Dukungan warga yang disampaikan lewat berbagai jejaring sosial di dunia maya, seperti Facebook dan Twitter, hingga dukungan warga di jalanan menyumbangkan koin sampai hari ini terus berdatangan. Dukungan warga itu secara simbolik juga menunjukkan antipati masyarakat terhadap lembaga pengadilan dan lembaga lain yang dinilai ”arogan” dan tidak adil.
Tuduhan pencemaran nama baik karena Prita mengeluhkan pelayanan yang diberikan oleh RS Omni dan dokter yang merawatnya melalui surat elektronik kepada sejumlah rekannya dalam sebuah milis, begitu pula penggunaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi Transaksi Elektronik (ITE) untuk menjerat Prita, telah melukai rasa keadilan banyak kalangan.
Pada titik ini terlihat adanya pertarungan modal simbolik antara Prita (di mata banyak kalangan sebagai korban dan pihak yang lemah) melawan pengadilan dan RS Omni (yang di mata banyak warga mewakili lembaga yang berkuasa dan tidak adil).
Modal simbolik
Kerangka modal simbolik yang diperkenalkan sosiolog Perancis, Pierre Bourdieu (1930-2002), menarik digunakan untuk melihat lebih jauh kasus Prita melawan RS Omni.
Bourdieu mendefinisikan modal simbolik sebagai reputasi, rasa hormat, dan legitimasi yang dimiliki seseorang atau sebuah lembaga akibat akumulasi tindakan yang dilakukannya (Bourdieu, Social Space and Symbolic Power, 1989).
Sebagaimana umumnya hubungan rumah sakit dan pasien, hubungan Prita dengan RS Omni sejak awal bersifat asimetrik. RS Omni jelas memiliki modal ekonomi dan modal budaya (dalam bentuk kepakaran medis) yang jauh lebih besar ketimbang seorang pasien biasa seperti Prita.
Persoalan muncul saat Prita mengeluhkan kualitas pelayanan medis RS Omni di sebuah milis dan serta-merta ditanggapi pihak RS Omni yang kemudian diperkeruh oleh pengadilan karena menggunakan Pasal 27 Ayat 3 UU ITE yang kontroversial itu.
Banyak warga menilai, pihak pengadilan jauh lebih memihak RS Omni ketimbang Prita. Hubungan asimetrik antara Prita dengan RS Omni dan persepsi negatif banyak warga terhadap pengadilan yang tidak peka membuat Prita semakin mendapatkan dukungan.
Ungkapan ketidakpuasan
Kegigihan Prita melawan institusi yang jauh lebih besar (pengadilan dan RS Omni) membuat dukungan publik dan modal simbolik Prita semakin besar. Banyak warga biasa di Tanah Air memproyeksikan dirinya pada Prita (sebagai pihak lemah saat menghadapi kekuatan lembaga-lembaga besar) sekaligus menyampaikan ketidakpuasan mereka pada institusi besar yang berkuasa (rumah sakit dan pengadilan).
Masih sulit memperkirakan hasil akhir kasus Prita melawan RS Omni. Prita telah mendaftarkan surat kuasa kasasi atas perkara perdata yang dituduhkan kepadanya.
Namun, ada beberapa hal sosiologis yang telah amat jelas dalam kasus ini, yakni semakin besarnya modal simbolik Prita dan semakin kecilnya modal simbolik RS Omni, begitu pula modal simbolik institusi pengadilan di Tanah Air.
Dukungan banyak kalangan terhadap Prita juga menunjukkan bahwa solidaritas sosial dan modal sosial warga biasa di Indonesia masih cukup kuat dan bisa diandalkan menghadapi arogansi lembaga-lembaga besar.
Solidaritas dan modal sosial warga mendukung KPK melawan kepolisian dan Kejaksaan Agung, misalnya, cukup berperan menggemakan besarnya modal simbolik KPK (maupun Bibit Rianto dan Chandra Hamzah) yang sedikit banyak ikut berperan mendorong keluarnya surat keputusan penghentian penuntutan terhadap Bibit/Chandra.
Apakah lembaga-lembaga peradilan yang semakin kehilangan modal simbolik itu akan terus berlaku tidak peka terhadap warga biasa seperti Prita?
Waktu yang akan membuktikan.

Sudirman Nasir Dosen/Peneliti di Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Hasanuddin, Makassar; Kandidat PhD di Nossal Institute for Global Health, Universitas Melbourne, Australia
Opini Kompas 12 Desember 2009