11 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Kontroversi Pengurangan Subsidi Pupuk

Kontroversi Pengurangan Subsidi Pupuk

Kenaikan HET pupuk yang tidak dilakukan secara bertahap sangat memberatkan petani, utamanya mereka yang berlahan sempit

PEMERINTAH memastikan akan ada kenaikan harga eceran tertinggi (HET) pupuk pada tahun 2010 (Suara Merdeka, 13/11).  Dokumen Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (RAPBN) 2010 menegaskan bahwa tujuan peningkatan HET pupuk adalah untuk memperkecil penyimpangan dalam penyaluran pupuk bersubsidi, mencegah kelangkaan pupuk saat petani membutuhkan, dan tetap memperhatikan kepentingan petani.


Subsidi pupuk menempati nominal terbesar dari subsidi pertanian pada 2009 yang besarnya Rp 21,4 triliun.  Terdiri atas subsidi pupuk Rp 18,4 triliun, subsidi benih Rp 1,3 triliun, dan kredit program Rp 1,7 triliun.  Pada 2010 pemerintah berencana memangkas subsidi pupuk  menjadi Rp 11,3 triliun.  Konsekuensi logis dari kebijakan tersebut adalah kenaikan HET pupuk yang cukup tinggi antara 80 dan 100 persen.

Banyak pendapat pro dan kontra terhadap rencana pengurangan subsidi pupuk yang akan dilakukan pemerintah itu.  Bagi yang pro, kebijakan ini umumnya mereka yang memandang bahwa subsidi itu ibarat kanker dan tidak sehat dalam APBN sebagaimana tertulis dalam buku-buku teks ekonomi konvensional Amerika Serikat.

Adapun yang kontra menganggap bahwa apa yang tertuang dalam teks ekonomi konvensional Amerika tersebut tidak selamanya benar.  Hal itu sejalan dengan pendapat ekonom Joseph E Stiglitz, penerima penghargaan Nobel Ekonomi 2001 dari Amerika Serikat.  Ketika memberikan kuliah umum di Jakarta pertengahan Desember 2005 Stiglitz pernah berucap, ìtexbook economics may be fine for teaching students, but not for advising governmentî.
Dalam perspektifnya, alasan pemihakan pemerintah terhadap suatu golongan, termasuk alokasi subsidi pupuk pada petani, adalah karena adanya kegagalan pasar (market failure). Kegagalan pasar merupakan kondisi munculnya masalah-masalah pembangunan akibat tak terpenuhinya asumsi-asumsi pembangunan.  Asumsi-asumsi tersebut antara lain adalah kesamaan dalam akses sumberdaya ekonomi dan informasi.

Berbagai Opsi

Untuk menjaga agar ketahanan pangan bangsa tetap kokoh maka kebijakan pengurangan subsidi pupuk ini harus dilakukan ekstrahati-hati.  Pengurangan subsidi yang dilakukan secara frontal sangat berpengaruh terhadap produksi pangan, utamanya padi. Keuntungan petani terancam merosot sehingga kegairahan mereka menanam padi pun menurun.  Kondisi ini akan sangat membahayakan ketahanan pangan nasional.

Menurut Sutarto Alimoeso, setidaknya ada tiga opsi yang dapat dipilih pemerintah berkaitan dengan subsidi pupuk ini. Pertama, nominal subsidi pupuk tetap Rp 11,3 triliun.  Konsekuensinya HET pupuk harus dinaikkan hingga lebih dari 100 persen.  Untuk mengimbangi kenaikan tersebut serta untuk menyesuaikan dengan inflasi, maka harga pembelian pemerintah (HPP) gabah harus dinaikkan secara signifikan. 

Jika tidak maka keuntungan petani padi akan turun 17,5-20 persen karena kontribusi pupuk terhadap usaha tani padi sekitar 20 persen.  Patokan kenaikan HPP ini dapat digunakan rumus tani yang sangat sederhana ìharga 1 kilogram gabah = 2 kilogram pupuk ureaî.  Rumus tani ini sudah dipegang teguh oleh petani padi agar usaha tani mereka tidak tekor.

Kedua, nominal HET pupuk dan HPP gabah tetap seperti sekarang ini.  Opsi ini merupakan opsi terbaik yang dapat dilakukan pemerintah. Namun opsi ini membawa konsekuensi membengkaknya subsidi yang harus disediakan pemerintah dalam APBN 2010 yaitu sekitar Rp 23,3 triliun.

Volume pupuk bersubsidi 2010 akan naik dibanding 2009 karena terjadi  perluasan areal dan peningkatan produktivitas. Total volume pupuk pada tahun 2009 sebesar 9,53 juta ton,  terdiri atas urea 5,5 juta ton, fospat 1 juta ton, NPK 1,5 juta ton, ZA 930 ribu ton, dan pupuk organik 600 ribu ton.  Tahun 2010 nanti volume pupuk bersubsidi diperkirakan mencapai 11,06 juta ton, terdiri atasurea 6 juta ton, super fospat 1 juta ton, ZA 950 ribu ton, NPK 2,2 juta ton, dan pupuk organik 910 ribu ton.

Opsi ketiga, HET pupuk dinaikkan secara bertahap. Tawaran kebijakan ini harus dibarengi dengan kampanye penggunaan pupuk berimbang (majemuk) NPK dan pupuk organik secara nasional dan berkesinambungan.  Misalnya HET pupuk tunggal naik 30 persen, pupuk majemuk NPK naik 10 persen.  Keuntungan penggunaan NPK, kandungan N,P,K berbeda-beda untuk tiap komoditas.  Kebutuhan untuk padi berbeda dari perkebunan sehingga tidak terjadi kebocoran NPK tanaman pangan ke perkebunan.

Agar keuntungan petani padi tidak merosot maka opsi ini perlu diimbangi dengan kenaikan HPP gabah sekitar 10 persen. Untuk itu dana subsidi menjadi Rp 19,9 triliun.  Bila opsi ini dijalankan maka pada 2013 subsidi pupuk tinggal 20 persen dari harga internasional dan subsidi mencapai Rp 11 triliun.  Saat ini subsidi pupuk sebesar 60 persen dari harga pasaran umum.

Kenaikan HET pupuk yang tidak dilakukan secara bertahap sangat memberatkan petani, utamanya mereka yang berlahan sempit.  Keuntungan minimal yang seharusnya mereka terima adalah sama dengan upah minimum regional (UMR) yakni Rp 9,6 juta/ha/tahun.  Hal itu bisa dicapai jika produktivitas lahan mereka mencapai 6 ton/ha. Saat ini pendapatan petani padi sekitar Rp 6 juta/ha/tahun.  Agar keuntungannya sama dengan UMR, maka petani dianjurkan memakai benih unggul dan melaksanakan teknologi pengelolaan tanaman terpadu (PTT).

Satu hal yang dalam waktu dekat ini harus diwaspadai oleh seluruh pemangku kepentingan, utamanya Komisi Pengawas Pupuk dan Pestisida (KP-3) di berbagai tingkatan, adalah kemungkinan terulangnya kelangkaan pupuk menjelang pergantian tahun.   Pengalaman telah secara arif memberikan pelajaran bagi kita setiap pemerintah mengumumkan kebijakan kenaikan HET pupuk, maka kebijakan ini selalu direspons negatif  oleh sebagian masyarakat. Aktifitas penimbunan dan perburuan rente (rent seeking activities) tumbuh subur.

Kata kunci dari semua itu adalah pengawasan dan penegakan hukum yang ketat terhadap pecundang yang sengaja menangguk keuntungan dari kebijakan ini.  Anggota KP-3 harus bekerja ekstrakeras untuk mengawasi distribusi pupuk bersubsidi hingga barang tersebut sampai di tangan petani.  Di sinilah integritas mereka sedang diuji. (10)

— Toto Subandriyo, Kepala Kantor Ketahanan Pangan dan Anggota KP-3 Kabupaten Tegal
Wacana Suara Merdeka 12 Desember 2009