11 Desember 2009

» Home » Solo Pos » Onthel & kebijakan transportasi massal

Onthel & kebijakan transportasi massal

Semakin lama, Kota Solo terasa semakin padat terutama pada jam-jam kerja. Wilayahnya tidak begitu luas, permukaan tanah yang umumnya relatif datar, jalan raya yang rata-rata tidak begitu panjang dan banyaknya perempatan serta dekatnya jarak antarperempatan jalan.
Kemudian beban kepadatan akibat bertambahnya bertambahnya mobil pribadi dan sepeda motor menjadi alat transportasi utama warga Solo.
Sudah selayaknya Kota Solo mulai mendesain ulang kebijakan transportasinya, melalui penyediaan transportasi massal baik berupa bus dan kereta api dalam kota (semacam trem) dan membudayakan transportasi sepeda onthel.
Saya pikir gagasan ini tidak berlebihan, apalagi faktanya lalu lintas Kota Solo semakin padat terutama di titik-titik masuk kota, kawasan jasa dan perdagangan serta jalur yang dilewati bus dan truk. Kita bisa tengok di jalan-jalan sepanjang Jl Slamet Riyadi-Jl Sudirman-Jl Urip Sumoharjo (kawasan perdagangan, jasa, pemerintahan dan wisata) hingga jalan Ir Sutami, lalu kawasan Gemblegan sampai dengan Nonongan (Jl Yos Sudarso, kawasan perdagangan dan jasa). Kemudian perempatan Gading-Jl Kapten Mulyadi hingga perempatan Ketandan (dekat Pasar Gede, kawasan perdagangan, jalan bus dan truk), dari Pasar Klewer sampai dengan perempatan Pasar Kembang (pusat pertokoan, jasa dan perdagangan), kawasan Kota Barat, kawasan Mangkunegaran dan Jl Yosodipuro (kawasan jasa dan pendidikan).
Kawasan-kawasan tersebut merupakan wilayah vital untuk kegiatan pemerintahan dan ekonomi. Apabila tidak bisa diantisipasi sejak sekarang, ke depan, akan benar-benar mengalami kemacetan yang parah seiring pesatnya pertambahan volume kendaraan pribadi baik roda dua maupun roda empat. Kemacetan biar bagaimanapun pada kurun waktu tertentu mencapai kondisi overload dan berdampak menurunnya produktivitas.
Apa yang harus dilakukan? Menurut saya, ada dua kebijakan yang bisa didesain. Pertama, penggunaan bus kota dan kereta api atau semacam trem sebagai transportasi massal dalam kota. Terkait gagasan ini, Pemkot Solo baik melalui BUMD, Perum Damri atau dengan bermitra, perlu menyediakan bus kota baik AC, non-AC dan bus ala busway Jakarta dengan jumlah yang cukup, baik untuk masyarakat umum, pelajar dan karyawan. Pengadaan bus-bus tersebut agar pengguna mobil pribadi atau motor beralih ke transportasi massal itu.
Sebenarnya gagasan pengadaan busway dengan konsep bus rapid transit (BRT) pernah disampaikan oleh Pemkot Solo. BRT ini rencananya mengambil jalur dan melayani penumpang pada jalur-jalur utama Kota Solo seperti Jl Slamet Riyadi, Jl A Yani, Jl Adi Sucipto ke arah Bandara Adi Soemarmo, Jl Urip Sumoharjo dan Jl Sudirman dengan titik-titik pemberhentian (halte) tertentu. Ke depan, keberadaan BRT tersebut perlu ditindaklanjuti dengan diikuti penataan traffic & route management.
Selain bus, Pemkot Solo juga dapat mengembangkan transportasi massal seperti kereta api dalam kota atau semacam trem. Hal ini sinkron dengan rencana revitalisasi, upaya menghidupkan kembali atau membangun jalur kereta api (trem) di pusat kota. Apabila proyek ini benar-benar dilaksanakan, akan lebih baik jalur yang dilewati lebih pendek dari jalur BRT atau dengan linkage Stasiun Purwosari-Stasiun Kota (Sangkrah)-Stasiun Jebres-Stasiun Balapan dan kembali ke Stasiun Purwosari. Kalau benar-benar diwujudkan, sebenarnya Pemkot Solo tinggal membangun jalur kereta api dari Stasiun Kota ke Stasiun Jebres.
Kedua, membudayakan penggunaan sepeda onthel sebagai alat transportasi populer, unik, dan sehat. Upaya membudayakan kembali penggunaan sepeda onthel memang tidak mudah apalagi dengan beralihnya penggunaan sepeda, Angkot dan bus ke sepeda motor. Tetapi perlu diingat, bahwa sepeda onthel pernah menjadi transportasi yang paling populer beberapa dekade lalu.


Memberdayakan onthel
Ada beberapa alternatif upaya untuk membudayakan penggunaan sepeda onthel. Yaitu perlunya kebijakan yang mengatur pembatasan jumlah kendaraan pribadi baik sepeda motor dan mobil di Kota Solo. Pembatasan dapat dilakukan dengan membatasi peredarannya melalui pembatasan distribusi (penjualan), pembatasan berdasar tahun pembuatan dan pembatasan kepemilikannya.
Pembatasan kepemilikan dapat dilakukan dengan cara satu keluarga hanya diperbolehkan memiliki satu mobil penumpang atau maksimal dua sepeda motor. Kebijakan ini memang kontroversial. Kalau dibuat lebih soft, dengan cara dimulai secara persuasif. Kebijakan ini juga dapat mendukung pengondisian penggunaan transportasi bus dan trem.
Lalu membuat jalur-jalur khusus (ditandai khusus) untuk sepeda onthel. Kemudian mengembangkan komunitas-komunitas bersepeda baik di tingkat kampung sampai dengan komunitas yang lebih eksklusif berdasarkan profesi, kegemaran, perkumpulan hobi dan sebagainya. Perlu juga diadakan event bersama antarkomunitas bersepeda di ruang publik misalnya pada hari Minggu setiap bulan.
Cara lainnya adalah membudayakan hari bersepeda pada hari tertentu misalnya Rabu dan Jumat. Bisa juga diadakan hari bebas kendaraan bermotor (semacam car free day di Jakarta) setiap hari Minggu atau dua pekan sekali di Jl Slamet Riyadi. Lalu, mengadakan lomba kreatif mendesain sepeda unik hingga memproduksi sepeda khas Solo.
Masih ada lagi program yang bisa dilakukan yaitu mengadakan regu polisi yang berpatroli dengan sepeda di kawasan-kawasan padat seperti kawasan perdagangan dan pertokoan. Program lainnya adalah mengadakan hari bersepeda khusus bagi PNS pada hari-hari tertentu, memproduksi sepeda dengan berbagai desain yang unik, klasik dan modern serta revitalisasi pasar sepeda. Terakhir, memproduksi dan mendistribusi sepeda kayuh dan mesin (kecil).
Redesain kebijakan transportasi ini tujuan akhirnya untuk mengurangi penggunaan kendaraan pribadi baik sepeda motor atau mobil sebagai sarana transportasi berangkat-pulang ke dan dari sekolah, lokasi bekerja di dalam kota dan kegiatan rutin sehari-hari, serta pembudayaan penggunaan sepeda onthel. Apabila kebijakan ini dapat dilaksanakan, dampaknya Kota Solo akan semakin nyaman dan berkualitas dari segi lingkungan. -

Oleh : Lilik Kristianto Mahasiswa Magister Administrasi Publik, peneliti Lab UCYD UNS
Opini Solo Pos 12 Desember 2009