11 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Mencari Penerus Yap Thiam Hien

Mencari Penerus Yap Thiam Hien

ROHANIAWAN dari Papua Pastor Yohanes Jonga, 10 Desember dianugerahi Yap Thiam Hien Award (Anugerah Yap Thiam Hien) Tahun 2009. Sebagai pejuang hak asasi manusia (HAM) di Papua, dia dinilai memiliki dedikasi, komitmen, dan kredibilitas yang luar biasa dalam pembelaan dan perlindungan HAM masyarakat di provinsi.

Memperjuangkan HAM di Papua tidaklah mudah mengingat kompleksnya latar belakang pelanggaran hak-hak kebebasan itu. Membutuhkan waktu yang lama dan harus  berkelanjutan serta luas cakupan dimensinya.


Itu sebabnya, Jonga berhasil menyisihkan puluhan nominator melalui berbagai tahapan penilaian yang  melibatkan dewan juri. Banyak tokoh nasional yang selama ini menjadi dewan juri, dari Prof Soetandyo  Wignjosoebroto, Prof Dr Azyumardi Azra, Prof Dr Harkristuti Harkrisnowo, Asmara Nababan SH, Amartiwi Saleh, DR Maria SW Sumardjono, YB.Mangunwijaya, Marjono Reksodipuro, hingga KH Abdurrachman Wachid, dan sebagainya.

Pemberian anugerah tersebut dari tahun ke tahun selalu  dilakukan  dengan penuh pertimbangan dan sudah banyak pejuang HAM dari berbagai kalangan yang mendapat penghargaan itu: penghargaan yang mengabadikan nama Yap Thiam Hien Award (alm) sosok pejuang HAM, hukum, kebenaran, dan keadilan di Indonesia.

Yang  menjadi patokan utama untuk dapat  ikut dinilai atau dipertimbangkan sebagai calon penerima  adalah, sang calon haruslah punya prestasi sebagai seorang  pejuang di bidang hukum, kemanusiaan, HAM, kebenaran, dan  keadilan yang dirasakan telah ikut  menjadi penerus perjuangan Yap Thiam Hien. 

Yap  Thiam Hien  atau Mr Dr Yap Thiam Hien sendiri sangat identik dengan perjuangan untuk  dapat  tegaknya hukum dan  keadilan serta dihormatinya HAM. Sekalipun ia telah meninggal 24  April 1989 di Brussel Belgia, namanya tetap harum  karena banyak yang dapat diteladani darinya.
John,  begitu panggilan M Yap yang berpostur  kecil tetapi gesit, memiliki cakrawala  luas,  lantang  dalam menuntut kebenaran dan keadilan.

Cucu dari seorang  kepala  kelompok China itu lahir di Kutaraja, Banda Aceh, pada 25 Mei 1913.  Sejak  kecil dia yang  berasal dari keluarga feodal,  terbiasa  hidup dengan didikan keras namun penuh kedisiplinan. Dia dihadapkan pada persoalan budaya diskriminasi dan  arogansi. Hal itu  mendorongnya untuk berontak terhadap arogansi.

Setelah lulus europesche large school (ELS) pada  tahun 1926, Mulo (setingkat SLTP) di tahun 1929 dan melanjutkan di AMS (setingkat SLTA) jurusan sastra barat Yogyakarta, ia menjadi  guru  di  Jakarta. Tahun 1947, dia melanjutkan sekolah  di Universitas Leiden Belanda. Tepat  100  tahun berdirinya Vrije Universitet Leyden, 11 Januari 1980, dia dianugerahi gelar doktor honoris di bidang ilmu hukum.

Meski  hidup di tengah-tengah  budaya dan  belajar feodal serta liberalisme kaum kolonial,  dia bukannya  feodal dan liberal melainkan semakin  mantap dalam memperkokoh eksistensi dirinya sebagai bagian integral dari masyarakat.  Khususnya masyarakat  bangsa Indonesia. Nasionalismenya patut diteladani.

Dia memang WNI keturunan tapi sangat mencintai bangsa dan negara Indonesia serta antikorupsi, kolusi,  konspirasi dan nepotisme (KKN). Inilah teladannya, di samping sebagai pejuangg HAM. Berbeda dari kebanyakan para negarawan, aparat, dan politikus yang mengaku mencintai bangsa dan negara ini tetapi merusaknya dengan pembudayaan praktik KKN dalam kehidupannya sehari-hari.

Menurut Yap, nasionalisme tak tergantung pada nama, tetapi  pada sikap dan tindakan nyata yang  positif  untuk bangsa dan negara, sekaligus mampu membaur dengan baik bersama masyarakat yang majemuk.Dia berhasil dan membuktikan lewat bingkai hukum yang kuat agar  hukum  dapat jadi pancaran dari nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat.

Tata Nilai

Dengan prinsip tersebut, dia menegaskan bila  hukum harus dibuat dan ditegakkan dengan memperhatikan tata  nilai dan  aspirasi  masyarakat. Dari situ hukum  diharapkan  dapat menciptakan  suasana  harmonis sekaligus  menggalang adanya kerja sama, persatuan, dan kesatuan yang baik.

Banyak  usaha pengabdiannya di  bidang  hukum dan kemanusiaan, mulai dari menjadi pengacara hingga membentuk berbagai organisasi yang bergerak di bidang kegiatan sosial dan menjadi  anggota Konstituante.  Perjuangan  tersebut terus berlanjut dengan  mendirikan Lembaga Bantuan Hukum  (LBH) bersama Adnan Buyung Nasution untuk membantu rakyat kecil yang tetap eksis sampai sekarang.

Perjuangannya tidak hanya di dalam negeri tetapi  juga di  luar negeri. Pada tahun 1968 dia menjadi anggota Komite Eksekutif International  Commission  of Jurist, organisasi internasional yang berjuang untuk memberi bantuan hukum dan membela masyarakat.

Lembaga Pembelaan Hak-Hak Asasi Manusia (LPHAM) juga didirikannya bersama H.J.C Princen sebagai  sebuah LSM yang selalu mengingatkan bahwa, HAM yang merupakan sesuatu yang  mendasar dan penting bagi manusia. Sejak lahir manusia  memiliki  hak asasi dan hak tersebut senantiasa melekat pada diri manusia.

Hak-hak  tersebut harus didukung tanggung jawab  agar tidak membawa kerugian bagi diri sendiri ataupun orang lain. Karenanya, HAM  tidaklah patut bila hanya  dibicarakan tanpa  diterapkan dan  dihormati  dengan  baik.  Persoalan-persoalan  di dalamnya harus mendapat perhatian dari masyarakat  dan semua pihak, sekaligus dipecahkan bersama secara baik. 

 Pemberian  bantuan  hukum tersebut  memang  diutamakan kepada masyarakat kecil, karena mereka memiliki  kemungkinan yang  besar  untuk  senantiasa  menjadi korban  kesewenang-wenangan  dan ketidakadilan. Segala risiko  ditanggungnya. Mulai dicap pengikut partai terlarang, ditahan, didakwa dan juga dituduh terlibat dalam peristiwa Malari di Jakarta.

Semua itu merupakan risiko sebagai macan pengadilan, begitu  sebutan untuk dirinya, yang  harus  memajukan  emosi dengan sudut pandang yang realis melalui ungkapan dan  vokal bila berhadapan  dengan  kesewenang-wenangan. Semua itu divariasi  dengan humor dan kegairahan serta kegigihanyang luar biasa sehingga menarik perhatian semua pihak.

Usaha  tersebut menempatkan  dirinya sebagai  sosok  pejuang  yang berani dan  pantang menyerah. Dia tidak  pandang bulu dan siap membela kebenaran dan keadilan yang memang harus diciptakan.  Didukung  kejujuran,  wawasan yang  luas  dan  tingkat kesopanan yang tinggi dalam bergaul, ia mampu  menjadikan naluri kebenaran memimpin pola pikir dan jalan kehidupannya sehingga tidak terperosok pada hal-hal yang tidak benar.

Kalaupun  namanya  kemudian diabadikan sebagai  sebuah nama penghargaan, yaitu YTHA, hal itu  semata-mata  adalah untuk membuktikan bahwa perjuangannya  tidaklah sia-sia, dan  patut diteruskan. Yang  berhak  menerima adalah  mereka yang melakukan pejuangan secara tulus  ikhlas dan  konsisten,  yaitu  untuk  tegaknya kebenaran, keadilan, hukum, dan HAM. Termasuk Pastor Jonga sang  pejuang  kemanusiaan yang memang layak mendapatkan. (10)

— M Issamsudin, peminat masalah hukum, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 12 Desember 2009