20 Desember 2009

» Home » Suara Merdeka » Menunggu Realisasi Museum Musik

Menunggu Realisasi Museum Musik

SETAHUN lebih saya merilis gagasan untuk menjajaki kemungkinan diselenggarakannya sebuah museum khusus, yang menjadi bagian dari Museum Jawa Tengah Ronggowarsito di Semarang.

Wacana yang dimaksud adalah kemungkinan berdirinya  museum musik yang menyimpan benda-benda peninggalan  pelaku dunia musik Indonesia. Jika betul-betul terealisasi, berarti itu satu-satunya museum khusus musik di Indonesia.


Gayung memang bersambut. Pengelola Museum Ronggowarsito pun tergugah, dan sudah merencanakan untuk segera mengagendakan pada grand design yang sedang dipersiapkan untuk pembenahan performanceship sebuah museum terbesar di Jawa Tengah.

Setidaknya, sebuah ruang khusus (displai) telah dipersiapkan untuk menyimpan semua banda peninggalan yang ada kaitannya dengan dunia musik.

”Semua persiapan sudah 50%, tinggal menunggu realisasi dan isinya,” kata Gunarso, staf pengelola Museum Ronggowarsito.

Benda peninggalan apa sajakah yang layak tersimpan di museum khusus ini? Ragam benda musik ini terkait dengan peninggalan para seniman musik baik tradisional maupun  modern yang ada dalam kurun waktu tertentu. Idealnya adalah peninggalan dari warsa 50, 60, dan 70-an.

Itu bisa berupa gramafon, alat pemutar PH (piringan hitam), PH itu sendiri (biasanya bertanda tangan musikus yang bersangkutan), kaset, kostum, alat musik, naskah partitur, majalah musik, foto, dan barang-barang lain. 

Atas bakal diselenggarakannya museum khusus ini, pengelola pun menjadi sepaham dengan misi museum itu sendiri di masa sekarang yang tidak akan lagi terkonsentrasi pada sebuah tempat yang hanya ditunjukan pada kalangan pelajar (di mana mengunjungi museum hanya menunggu perintah guru untuk sebuah tugas pelajaran), tapi bisa lebih dari itu, yakni menarik minat masyarakat umum secara luas.

Maka melalui dunia musik ini, keberadaan museum akan lebih dipandang khalayak. Ironisnya, jangankan oleh masyarakat, di kalangan anggota Dewan pun keberadaan museum ini masih sering dipandang dengan sebelah mata.

Bukti globalisasi museum itu, misalnya sejak Nopember sampai Desember 2009 telah diagenda persinggahan wisatawan asing kapal pesiar dari rute klasik Singapura - Darwin-Singapura, dan para turis manca ini tidak singgah di Jakarta atau Surabaya tapi mampir di Semarang.

Itu sebabnya Museum Ronggowarsito punya produk unggulan baru yakni koleksi stupa ukuran nyaris sama dengan yang ada di Borobudur.

Museum khusus musik, terilhami dari keberadaan memorabilia dari ikon industri hiburan musik dunia Hard Rock Cafe, yakni jaringan tempat hiburan yang tersebar di hampir seluruh kota besar negara-negara di dunia,. Di jaringan Hard Rock Cafe dipajang benda-benda musikal dari hampir semua bintang musik seluruh dunia.

Benda-benda yang menghiasi sudut dan dinding-dinding kafe itu memang tidak semuanya asli, tapi berbentuk replika, meski demikian setidaknya tetap saja mampu membangun imaji akan kebesaran musikus yang ditampilkan.

Ditampilkannya replika, karena untuk mendapatkan benda asli tokoh yang bersangkutan sangat sulit, apalagi kalau sudah melalui tahapan lelang-melelang.

Belum lama ini pihak Hard Rock Cafe New York pun tak berhasil ”menyelamatkan” kaus tangan asli almarhum Michael Jackson, karena  benda itu sudah berada di tangan kolektor.

Keberadaan seorang kolektor sendiri sebenarnya bisa menjadi kawan seiring bagi museum. Benda-benda koleksi para kolektor itu, bahkan sering dihibahkan pada museum, dengan alasan agar lebih bisa dirawat dan disimpan.

Di Ronggowarsito misalnya, persisnya di Ruang Hibah banyak tersimpan keris-keris seperti milik kolektor keris Tedjo Suminto (70 keris), Soebandrio (5), RM Budiarto (3).

Untuk sebuah permulaan, museum musik ini bisa saja hanya menyimpan benda peninggalan musikus atau seniman yang ada di Jawa Tengah.
Banyak Koleksi Hari Joko Santosa, musisi dan penggerak dunia musik di Semarang, mengaku masih menyimpan banyak naskah, PH, kaset dan majalah-majalah musik zaman dulu.

Bahkan ia mengaku dengan suka rela sering membantu para mahasiswa yang akan menyelesaikan tugas akhirnya, dengan membuat skripsi tentang dunia musik Indonesia.

Membayangkan sebuah album PH penyanyi Lilies Suryani (almarhum) dengan tanda tangan Bung Karno (waktu itu Presiden)? Atau naskah ”Bengawan Solo” milik Gesang? Juga gamelan milik almarhum Ki Narto Sabdo? Atau pula foto-foto jadul para musisi di tahun 50 atau 60-an?

Dengan sedikit keterangan (caption) mengenai hal ikhwal benda peninggalan, itu akan menjadi sebuah cerita historis masa lalu yang indah.  (10)

— Bambang Isti, pemerhati masalah musik, tinggal di Semarang
Wacana Suara Merdeka 21 Desember 2009