MENYUSUL pernyataan Bambang Soesatyo (BS), anggota Pansus Hak Angket Century, bila dirinya memiliki rekaman percakapan antara Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan pemilik Bank Century Robert Tantular yang diduga berisi rekayasa bailout, Menkeu kemudian bereaksi bersama-sama dengan Departemen Keuangan (Depkeu) menempuh langkah hukum.
Menurut Kepala Biro Hukum Depkeu, pernyataan wakil rakyat itu tidak benar. ìTidak sepantasnya dia sebagai anggota tim penyidik (Pansus Hak Angket Century) menyampaikan kepada publik sebelum forum rapat pansus.’’
Menurut penilaian Depkeu, temuan bahan-bahan dalam satu penyelidikan tidaklah seyogianya langsung diungkapkan di depan publik. Depkeu menilai hal ini mendahului proses yang seharusnya dan memberikan tafsiran yang merugikan dan menyesatkan.
Konsekuensinya, menurut Kepala Biro Hukum Depkeu, mereka akan mengajukan tuntutan dengan menggunakan Pasal 310 Ayat (1) dan (2) Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) produk pemerintah kolonial yang masih dipertahankan oleh pemerintah Indonesia sampai saat ini, yakni tentang Pencemaran Nama Baik atau Pasal 335 Ayat (1) KUHP tentang Perbuatan Tidak Menyenangkan.
Di pihak yang berseberangan dengan Menkeu, anggota tim pengacara Bambang Soesatyo, mengungkapkan pihaknya memutuskan membela wakil rakyat itu karena menilai Sri Mulyani tidak memahami masalah hukum. ìPak Bambang kan punya hak imunitas (kekebalan). Apalagi, pernyataan itu dikeluarkan dalam rangka tugas kedewanan. Jadi, tidak masuk akal jika Sri Mulyani akan menggugat dengan menggunakan pasal pencemaran nama baik.î (SM,14 Desember 2009).
Literatur hukum di Inggris mencatat, perbedaan pandangan antara pihak Depkeu dan Sri Mulyani di satu sisi dengan pihak BS dan pengacaranya di sisi yang lain dapat memicu krisis konstitusional seperti dalam kasus Stockdale vs Hansard (1838) 9 A&E1). Dalam kasus itu, seorang anggota parlemen bernama Hansard digugat oleh Stockdale karena memublikasikan sebuah laporan yang dianggap menghina Stockdale.
Pengadilan memvonis bahwa publikasi laporan oleh Hansard tidak termasuk dalam ruang lingkup imunitas anggota parlemen. Pengadilan memerintahkan pembayaran ganti kerugian dan perampasan harta milik Hansard untuk menopang ganti rugi. Parlemen melakukan reaksi balasan dengan memerintahkan penangkapan hakim (the Sheriff of Middlesex) dipenjara dengan alasan penghinaan parlemen (contempt) dan pelanggaran hak imunitas parlemen. Sang hakim memohon pembebasan dengan alasan habeas corpus namun permohonannya ditolak pengadilan Inggris (the Sheriff of Middlesexís Case (1840) 11 A & E 273).
Contoh kasus lain di Inggris yang berkaitan dengan persoalan itu dan banyak dirujuk oleh berbagai literatur konstitusional negara itu adalah the Strauss Case pada tahun 1958.
George Strauss, anggota parlemen atas dasar kebebasan berbicara dan mengemukakan pendapat membuat suatu pernyataan tertulis dan mengirim surat kepada seorang menteri. Kemudian Strauss menyebarluaskan salinan surat itu kepada publik. Dalam surat tersebut Strauss membuat suatu tuduhan yang dianggap tanpa dasar kepada para pemegang saham perusahaan kelistrikan London menyangkut manipulasi tender sebuah perjanjian keperdataan.
Didisposisikan Pada waktu itu, bendaharawan negara mewakili Menteri Kelistrikan yang duduk di DPR Inggris (House of Commons). Singkat ceritera, meskipun persoalan yang dimintakan perhatian oleh Strauss dalam suratnya berada dalam kewenangan bendaharawan, atas dasar pertimbangan bahwa masalah yang dikemukakan Strauss bersifat internal, pemegang saham perusahaan listrik pemerintah, surat Strauss kemudian didisposisikan kepada para pemegang saham.
Para pemegang saham merasa tersinggung dengan isi surat Strauss kemudian mengirimkan somasi dan berujung ke pengajuan gugatan atas tuduhan pencemaran nama baik (defamation) di pengadilan.
Hanya saja, sebelum proses pengadilan yang diajukan oleh pihak lawan Strauss digelar, terlebih dahulu dilangsungkan suatu proses di komite etik parlemen yang disebut dengan the committee of privileges. Dalam proses dengar pendapat di komite etik DPR itu, Strauss membela diri dari tuduhan dan gugatan yang dilakukan oleh pemegang saham perusahaan listrik pemerintah dengan mengatakan bahwa mereka telah melakukan suatu pelanggaran terhadap imunitas anggota DPR (a breach of privileges).
Mengapa? Sebab, menurut Strauss, apa yang dilakukan, yaitu menulis surat tersebut, adalah merupakan bagian dari kebebasan konstitusional yang dimiliki, plus merupakan hak angket yang dimiliki parlemen (proceedings in parliament). Keputusan komite etik memang pada akhirnya berpihak kepada Strauss, akibatnya gugatan di pengadilan atas dasar fitnah atau pencematan nama baik (libel) ditolak oleh hakim.
Berpijak pada kasus Strauss, terlihat bahwa Inggris pun menghadapi peliknya jurusdiksi untuk menentukan salah tidaknya penggunaan hak imunitas anggota parlemen. Namun, pelajaran yang mungkin penting disimak dari kasus Strauss adalah atas dasar konvensi ketatanegaraan yang berlaku di negara itu, pengujian benar tidaknya penggunaan hak imunitas anggota parlemen memang harus dilakukan terlebih dahulu di komite etik DPR. Tidak langsung meloncat ke meja pengadilan. Meskipun, secara prinsipiil, ada kewenangan mengadili yang dilakukan oleh hakim melalui pengadilan.
Atas dasar pengalaman kasus Strauss, dalam rangka mencegah bereskalasinya ketegangan dan berubah menjadi konflik antara pemerintah dan DPR, maka jalan terbaik yang mungkin perlu dipikirkan oleh Menkeu dan Depkeu adalah membatalkan rencana menempuh proses hukum alias memejahijaukan Bambang setelah terlebih dahulu melakukan somasi.
Lebih baik dan sangat bermartabat bila Sri Mulyani dan Depkeu memaafkan wakil rakyat tersebut. Alternatif lain menyerahkan persoalan benar tidaknya pernyataan legislator itu bahwa ia memiliki rekaman yang oleh Depkeu dan Sri Mulyani dinilai mengandung delik atau unsur pidana pencemaran nama baik atau perbuatan tidak menyenangkan itu terlebih dahulu diajukan ke komite etik yang dimiliki oleh DPR. (10)
–– Jeferson Kameo SH LLM PhD, dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga
Wacana Suara Merdeka 21 Desember 2009