HIDUP tidaklah selalu sempurna sesuai dengan harapan manusia, begitu pula dengan yang dirasakan para penyandang cacat fisik (kaum difabel).
Namun kita harus berupaya agar bisa menyiasati jalan hidup itu tanpa banyak menggantungkan diri kepada orang lain, apalagi mengharapkan uluran tangan.
Sudah barang tentu hidup yang baik adalah menikmati hasil jerih payah dari keringat sendiri melalui optimisme hidup yang tinggi.
Sejalan dengan hal itu, tenyata di sekeliling kita masih banyak penyandang cacat fisik (kaum difabel).
Belum semuanya mendapatkan perhatian yang cukup dari pemerintah. Baru segelintir orang yang melirik mereka dengan memberikan kepercayaan, termasuk bersedia mempekerjakannya.
Padahal de facto mereka juga ingin mendapatkan perlakuan yang sama, baik secara moral, pendidikan, maupun kesempatan memperoleh pekerjaan.
Mengingat banyaknya jumlah kaum difabel di negeri ini semestinya ada terobosan baru dari pemerintah dalam menyiasati, guna memberikan kepercayan dan semangat bagi mereka sejak dini.
Misalnya membekali mereka melalui pendidikan, sebab tidak sedikit jumlah anak difabel yang tidak bisa bersekolah dibanding yang bisa menikmati bangku pendidikan.
Pada pertengahan tahun 2008 di Yogyakarta ada 2.211 anak difabel dari 6.191 anak yang belum bersekolah. Pada tahun 2009 dari anak difabel yang sudah terdata terdapat sekitar 3.500 anak yang sudah mengenyam pendidikan di bangku sekolah, baik di SLB atau sekolah inklusi.
Namun masih ada sekitar 1.400 anak difabel yang belum menikmati pendidikan. Diperkirakan lebih banyak lagi angka yang belum terdata.
Diakui atau tidak, perjalanan pendidikan yang diperoleh kaum difabel ini mengalami penurunan, dan masalah ini menjadi tanggung jawab Departemen Pendidikan.
Kondisi yang memprihatinkan ini makin diperparah dengan minimnya anggaran untuk pendidikan mereka. Seharusnya tidak perlu ada semacam penganaktirian bila memang pendidikan adalah salah satu hak dasar yang harus dipenuhi, dilindungi, dihormati, dan dimajukan oleh negara.
Lebih Kokoh Tapi kenyataannya pemenuhan hak pendidikan, khususnya bagi kaum difabel masih harus dibangun lebih kokoh lagi.
Tentu kita tidak bermaksud memojokkan dunia pendidikan yang masih terombang-ambing dengan sistem dan kebijakan yang memihak.
Namun harus diakui dunia pendidikan masih karut marut. Pro dan kontra yang menyangkut ujian nasional (UN) juga tidak kunjung reda. Akibatnya masyarakat, termasuk kaum difabel, merasa bingung.
Pemasalahan tersebut tentu menjadi pekerjaan rumah (PR) bagi pemerintah, untuk selanjutnya perlu mengambil langkah konstruktif-edukatif.
Kaum difabel sudah semestinya mendapatkan tempat belajar guna memperoleh pendidikan demi masa depan hidupnya, masa depan yang progresif dan optimisme yang tetap terbangun pada diri mereka.
Diakui atau tidak dalam hitungan waktu yang relatif besar, jaminan masa depan hidup mereka kurang jelas dan sering kali mendapatkan perlakuan diskriminatif, baik dalam interaksi sosial, pendidikan, lebih-lebih dalam dunia pekerjaan (Imam Nawawi,2009)
Terkait dengan keberlangsungan hidup, ketika mereka telah memperoleh pendidikan, seyogianya Pemerintah mengimplementasikan dalam wujud nyata, misalnya melalui penyediaan lapangan pekerjaan.
Formasi itu dimaksudkan supaya dapat memotivasi mereka menjalani hidup. Pemerintah bisa saja membangun badan usaha yang mempekerjakan kaum difabel, atau memfasilitasi pihak ketiga yang ingin berpartisipasi.
Harus diakui banyak kaum difabel yang masih mengharapkan uluran tangan dan belas kasihan. Padahal sejatinya mereka tidak menginginkan hal itu karena mereka ingin disetarakan dengan manusia yang fisiknya normal.
Pertanyaannya adalah apakah kita masih melihat mereka dengan segala kekurangannya? Sudah saatnya kaum difabel mendapatkan perlakuan yang baik dari semua kalangan, terutama pemerintah.
Peluang pekerjaan harus dibuka lebar, minimal lebih memartabatkan mereka. Perusahaan Mandiri Craft di Jalan Parangtritis Km 7, Dukuh Cabean, Panggungharjo, Sewon, Bantul, DIY, termasuk yang memberikan apresiasi kepada kaum difabel.
Produsen mainan anak dan pembuatan produk kerajinan yang berasal dari bahan dasar kayu banyak mempekerjakan kaum difabel.
Perusahaan ini, dalam batasan-batasntertentu, memperlakukan dan menghargai para penyandang cacat fisik itu seperti layaknya manusia normal. Padahal produk perusahaan itu sudah diekspor ke negara-negara Eropa, Asia, dan Australia.
Difabel itu mendapat dukungan peralatan kerja yang bisa membuat mereka nyaman dalam bekerja. Mereka juga diikutkan dalam pelatihan-pelatihan.Pola seperti itu sudah selayaknya dicontoh perusahaan lain atau Pemerintah jika ingin lebih memartabatkan kaum difabel.
Selain kepedulian, kesadaran terhadap para difabel juga penting untuk diperhatikan sejak sekarang. Pasalnya mereka juga ingin mendapatkan perlakuan yang sama dalam berpendidikan dan memperoleh pekerjaan.
Pada peringatan hari internasional untuk penyandang cacat inilah saatnya kita merenung dan mengambil langkah untuk lebih memartabatkan kaum difabel. (10)
— Iksan Basoeky, peneliti pada Center For Studies of Religion and Culture (CSRC) Yogyakarta
Wacana Suara Merdeka 21 Desember 2009