Berkaitan dengan beberapa tragedi seperti gempa bumi yang baru saja terjadi di Tanah Minang, Sumatera Barat, tak dapat dimungkiri hal itu berdampak terhadap perekonomian Indonesia, terutama di wilayah bencana. Ada rasa keadilan yang sangat mengusik. Apakah kebijakan seperti bail out triliunan rupiah yang heboh karena diduga mengandung skandal besar karena diberkan kepada Bank Century dan juga kebijakan terdahulu seperti Bantuan Likuiditas Bank indonesia (BLBI) akan juga diberlakukan kepada para debitur korban bencana alam di Sumatera Barat?
Rasa ingin tahu mengusik. Tanggung jawab seperti apa sajakah yang dipikul Bank Indonesia (BI) dalam menyikapi peristiwa bencana alam di Sumatera Barat tersebut.
Dari pengalaman, research menunjukan antara lain pengejawantahan pertanggungjawaban BI itu melalui strategi pemberian perlakuan khusus terhadap kredit bank.
Normatif, dimaksudkan perlakuan khusus terhadap kredit bank adalah, BI memberikan kesempatan bagi nasabah debitur untuk melakukan perbaikan usaha guna mendukung pemulihan perekonomian. Sesuai dengan otoritas yang dimiliki, BI kemudian menerbitkan beberapa Peraturan Bank Indonesia (PBI).
Research atas bukti pengejawantahan (manifestations) iktikad baik BI itu bisa diamati dalam: PBI No 41/11/PBI/2002 tentang Perlakuan Khusus Kredit Bank Umum Pascatragedi Bali, telah dicabut dengan PBI No 7/2/PBI/2005. Juga, PBI No 5/19/PBI/2003 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit atau Pembiayaan BPR Pascatragedi Bali. Selain itu, ada pula PBI No 7/5/PBI/2005 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Umum Pascabendana nasional di Propinsi NAD dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatra Utara, telah dicabut dengan PBI No 7/45/PBI/2005. Berikut adalah PBI No 7/17/PBI/2005 tentang Perlakuan Khusus Terhadap BPR Pascabendana alam di Provinsi NAD dan Kabupaten Nias, Provinsi Sumatera Utara. Dan satuan amatan yang terakhir adalah PBI No 8/10/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Pascabencana Alam di Provinsi DI Yogyakarta dan Daerah Sekitar di Jawa Tengah.
Dengan mempertimbangkan terjadi beberapa kali bencana alam yang melanda berbagai daerah di Indonesia yang menimbulkan dampak kerugian yang cukup signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi di daerah-daerah tertentu, dan sebagai upaya mendukung pemulihan kondisi perekonomian di daerah tersebut, BI juga mengeluarkan semacam umbrella provision, yaitu PBI No 8/15/PBI/2006 tentang Perlakuan Khusus Terhadap Kredit Bank Bagi Daerah-daerah Tertnetu di Indonesia Yang Terkena Bencana Alam.
Surat Keputusan Mengenai penentuan daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam ditetapkan dalam suatu Surat Keputusan Bank Indonesia setelah sebelumnya diperhatikan beberapa aspek antara lain: (1) luas wilayah yang terkena bencana; (2) jumlah korban jiwa; (3) jumlah kerugian materiil; dan (4) jumlah debitur yang diperkirakan terkena dampak bencana alam.
Beberapa perlakuan khusus yang diberikan antara lain terkait dengan penilaian kualitas kredit bagi bank umum plus penyediaan dana lain dari bank bagi nasabah debitur dengan plafon sampai dengan Rp 5 miliar hanya didasarkan pada ketepatan pembayaran pokok juga bunga, yang merupakan satu dari komponan penilaian kemampuan membayar.
Hal tersebut berbeda dari ketentuan dalam kondisi normal yang mengharuskan penentuan kualitas kredit dan penyediaan dana lain dengan jumlah di atas lima ratus juta rupiah dinilai berdasarkan prospek usaha, kondisi keuangan, dan kemampuan membayar. Plafon kredit bagi usaha Bank Umum ditambah penyediaan dana lain sebagaimana dimaksud di atas berlaku baik untuk debitur individual maupun debitur grup dan untuk seluruh fasilitas yang diterima dari satu Bank Umum, yang disalurkan sebelum maupun setelah (pasca) terjadi bencana.
Penetapan kualitas kredit sebagaimana tersebut di atas hanya berlaku untuk kredit bagi Bank Umum dan/atau penyediaan dana lain yang disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyak atau lokasi usaha di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam untuk jangka waktu tiga tahun sejak terjadinya bencana. Hal ini tampaknya sesuai dengan prinsip hukum umum, yaitu, keadaan memaksa mengakibatkan perikatan tidak lagi bekerja walaupun perikatannya sendiri tetap ada. Dalam hal ini, maka antara lain, pada perjanjian timbal balik, maka gugur kewajiban untuk melakukan kontraprestasi.
Keadaan Memaksa Jadi pada asasnya perikatan itu tetap ada dan yang lenyap hanyalah daya kerjanya. Bahwa perikatan tetap ada, penting pada keadaan memaksa (force majeur/overmacht atau toeval) yang bersifat sementara. Perikatan itu kembali mempunyai daya kerja jika kadaan memaksa, dalam hal ini bencana misalnya, berhenti. Mungkin yang diartikan adalah termasuk dampak dari bencana sudah selesai dan telah terjadi pemulihan yang memadai terhadap keadaan para pihak, dalam hal ini terutama debitur.
Perlakuan khusus lainnya adalah restrukturisasi kredit bagi bank umum dan BPR yang dilakukan untuk debitor yang terkena dampak bencana alam tersebut langsug dikategorikan Lancar sejak restrukturisasi sampai dengan tiga tahun setelah terjadinya bencana. Sementara dalam ketentuan yang berlau untuk kondisi normal, kualitas kredit yang direstrukturisasi harus digolongkan Kurang Lancar dan kemudian dapat menjadi kualitas Lancar apabila tak terdapat tunggakan pembayaran pokok dengan bunga dari debitur setelah tiga kali periode pembayaran terakhir untuk Bank Umum atau setelah periode enam bulan untuk BPR. Restrukturisasi kredit dalam hal ini hanya berlaku untuk kredit bagi Bank Umum dan Kredit bagi Bank Perkretitan Rakyat (BPR) yang memenuhi beberapa persyaratan.
Pertama, disalurkan kepada nasabah debitur dengan lokasi proyek atau lokasi usaha di daerah-daerah tertentu yang terkena bencana alam. Kedua, telah atau diperkirakan akan mengalami kesulitan pembayaran pokok plus bunga kredit yang disebabkan dampak dari bencana alam di daerah-daerah tertentu. Ketiga, direstrukturisasi setelah terjadinya bencana alam. Dengan perlakuan khusus ini, kredit yang dapat direstrukturisasi tidak dibatasi jumlah nominalnya.
Kekhususan lainnya yang diatur dalam peraturan ini adalah bank umum dan BPR dapat memberikan kredit plus penyediaan dana lain baru bagi debitur yang terkena dampak bencana alam, meskipun kredit awalnya telah bermasalah dengan adanya bencana. Penetapan kualitas kredit juga penyediaan dana lain baru tersebut dilakukan secara terpisah dengan kualitas kredit dan/atau penyediaan dana lain sebelumnya, dengan ketentuan sebagai berikut:
Pertama, untuk kredit ditambah penyediaan dana lain baru dengan plafon lima miliar rupiah, penetapan kualitas kredit mengacu pada ketentuan khusus ini; Kedua, untuk kredit juga penyediaan dana lain baru dengan plafon lebih dari lima miliar rupiah, penetapan kualitas kredit mengacu pada ketentuan Bank Indonesia yang berlaku.
Pemberian kredit dengan penyediaan dana baru itu dilakukan secara selektif sesuai dengan kebijakan perkreditan bank, dan dengan diberikannya tambahan kredit tersebut diharapkan usaha para debitur yang menderita kerugian karena overmacht atau bencana alam dapat berjalan kembali. Plus, terpenting, debitur mampu mengembalikan kredit pada waktunya. (35)
Wacana Suara Merdeka 7 Oktober 2009
—Jeferson Kameo SH LLM PhD, dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga