Munculnya nama-nama itu dapat mengarahkan opini keliru publik, persoalan di tubuh KPK telah selesai karena presiden sudah memberi jalan keluar terbaik dengan membuat jumlah pimpinan kembali menjadi lima.
Langkah ini diawali keluarnya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) Nomor 4 Tahun 2009 tentang Perubahan atas Undang-Undang No 30/2002 tentang KPK pada 23 September. Lalu dibentuk Tim Lima, yang bertugas menyerahkan nama-nama pimpinan sementara KPK kepada Presiden.
Perppu itu sendiri sudah kontroversial karena ”hal ihwal kegentingan memaksa” yang seharusnya mendasari keluarnya perppu terlihat seperti ”hal ihwal kepentingan yang memaksa”. Sebab, presiden ”potong kompas” melalui perppu untuk memilih pimpinan sementara sebuah lembaga yang jelas tidak di bawah kendali presiden, sementara ada jalan lain yang bisa dipilih. Misal, membenahi koordinasi antarpenegak hukum, mempercepat proses pemilihan pimpinan.
Tulisan Benny K Harman (Kompas, 5/10) dapat mengaburkan peta pemberantasan korupsi sehingga kita salah jalan. Yang seharusnya dilakukan presiden bukan ”mengatasi merosotnya integritas KPK” seperti ditulis Benny. Tulisan itu dapat mengarahkan pada persepsi keliru tentang pemberantasan korupsi dan KPK dengan mengatakan, integritas KPK sudah merosot. Benarkah? Atau masalah sebenarnya ”serangan” terhadap KPK?
Harus diingat, akar masalah bukan ”jumlah” pimpinan KPK, tetapi serangan terhadap kerja KPK dalam pemberantasan korupsi. Isu jumlah pimpinan adalah akibat serangan terhadap kerja KPK. Sayang, aksi yang menyebabkan masalah jumlah ini justru tidak disasar presiden. Presiden cenderung lepas tangan, reaksinya pada masalah jumlah. Di titik ini, sebenarnya perlu dipertanyakan sejauh mana komitmen presiden terhadap pemberantasan korupsi.
Jangan lupa, kisah ini berawal dari sangkaan Polri terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto tentang penyalahgunaan wewenang. Di sini kita kesampingkan dulu dakwaan pidana pembunuhan yang dikenakan terhadap Antasari Azhar yang punya dimensi berbeda.
Sangkaan awal Polri terhadap dua pimpinan KPK itu terkait penetapan dan pencabutan larangan bepergian ke luar negeri (pencegahan) kepada Djoko Tjandra dan Anggoro Widjojo. Padahal, wewenang KPK untuk ”memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri” diatur jelas dalam UU KPK (Pasal 12 Ayat (1) huruf b).
Sangkaan ini lalu berubah. Namun, ini justru menandakan ketidaksiapan Polri dalam menangani kasus ini. Bahkan, sebagian pihak menengarai adanya masalah yang dicari-cari sehingga Kepala Badan Reserse Kriminal Polri Komisaris Jenderal Susno Duadji dilaporkan ke Inspektorat Pengawasan Umum Polri oleh pengacara KPK.
Serangan balik terhadap KPK ini juga dapat dilihat dengan mata telanjang. Sayang, ditutup tirai kepentingan politik. Misalnya dengan munculnya berita terbaru tentang pesan singkat berisi ancaman yang dikirimkan ke KPK.
Seberapa pun pihak yang tidak setuju dengan proses yang amburadul ini, kenyataannya perppu sudah keluar dan pimpinan sementara sudah ada. Tinggal harapan yang mungkin kita sematkan pada pundak para pimpinan sementara KPK itu.
Pertama, agar mereka dapat menjalankan tugas-tugas di KPK secara baik dan tetap independen tanpa harus memosisikan diri di bawah presiden, meski proses pemilihan mereka hanya diatur presiden. Tiga nama ini memang tidak asing dalam upaya memberantas korupsi di Indonesia. Namun, proses yang keliru dengan mengeluarkan perppu yang menunjuk Tim Lima tetap harus diluruskan agar tidak menjadi preseden buruk di masa datang. Ketiga pimpinan sementara ini justru yang harus membantu meluruskannya.
Kedua, agar mereka bisa mengingatkan presiden untuk memberesi kekeruhan soal pimpinan KPK dan mengingatkan, masalahnya adalah status tersangka dua pimpinan KPK tanpa adanya dasar hukum kuat. Sangkaan terhadap Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Riyanto harus segera dibereskan dan pemeriksaan terhadap Kepala Bareskrim harus dituntaskan.
Membaca peta pemberantasan korupsi yang kian semrawut ini, kita harus berharap pada kalangan masyarakat sipil agar lebih aktif mengawasi upaya pemberantasan korupsi. Sebab, sudah terlihat gelagatnya pemerintah dan politisi tidak mendukung gerakan pemberantasan korupsi di Indonesia.
Opini Kompas 7 Oktober 2009
BIVITRI SUSANTI Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia; Kandidat PhD pada University of Washington School of Law, Seattle, AS